Alami Krisis, Pengusaha Minta Tunda Pencairan THR

Selasa, 07/04/2020 22:12 WIB
Ilustrasi Tunjangan Hari Raya (Foto:Fajar.co.id)

Ilustrasi Tunjangan Hari Raya (Foto:Fajar.co.id)

Jakarta, law-justice.co - Polemik Tunjangan Hari Raya (THR) kerap menjadi persoalan di antara sebagian kalangan pengusaha. Pemerintah sendiri sudah memberikan ruang agar ketentuan wajib itu bisa direlaksasi dengan cicilan bila pengusaha tak mampu.

Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Mardani H Maming mengatakan, bahwa saat ini para pengusaha dan pelaku industri sedang mengatur strategi bagaimana tetap mempertahankan kesejahteraan karyawannya di tengah hambatan bisnis akibat wabah Covid-19.

Kenyataannya, pengusaha sudah pusing untuk bayar gaji, apalagi bayar THR.

"Untuk THR, kami dari pengusaha untuk minta dipending dulu. Karena tidak elok dibahas pada kondisi sekarang. Bukan tidak dikasih ya, tapi dipending bahwa jangankan bicara THR. Seletah membahas melalui video confrence dengan HIPMI di seluruh daerah, untuk membayar gaji saja sekarang sedang kesulitan," tegas Maming di Jakarta, Selasa (7/4).

Ia menjelaskan, kondisi saat ini terbilang buruk. Jangankan meraih keuntungan, untuk bertahan di industri saja membutuhkan upaya yang lebih.

HIPMI juga tengah mengkaji bagaimana caranya agar industri tidak sampai melalukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Selain itu, para pengusaha menilai pemberian THR menjadi beban tahun ini. Pihaknya meminta kepada Kementerian Ketenagakerjaan agar tidak membahas THR terlebih dahulu.

"Kita berpikir mau bayar dari mana kalau sekarang terus bahas THR, ini bisa PHK karena beban kami sangat berat. Banyak sektor usaha yang sama sekali tidak beroperasi lagi. Kami mohon kebijakan dari Kementerian Ketenagakerjaan bisa mengeluarkan juga kebijakan yang win-win solution kepada pengusaha," ujarnya.

Terkait pemberian THR, lanjut Maming, dapat ditunda terlebih dahulu hingga perusahaan dapat kembali stabil. Banyak sektor usaha yang saat ini tidak beroperasi sama sekali.

"Mungkin ada jalan keluar juga bagaimana peraturan yang diaplilkasikan adalah perusahaan dan karyawan bisa berdiskusi secara internal dan negosiasi antara pengusaha dan karyawan itu sendiri. Intinya dikembalikan lagi kepada pengusaha dan pegawai masing-masing untuk mencari jalan tengah. Insyallah kita akan cari wayout dan solusi bersama," ucapnya.

Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menjelaskan bila ada pengusaha yang belum mampu bisa membicarakan dengan pekerja, misalnya melakukan pembayaran secara bertahap atau dicicil,

"THR merupakan bagian dari pendapatan non upah. THR wajib diberikan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh, tujuh hari sebelum Hari Raya Keagamaan," kata Menaker Ida.

Ida mengingatkan, pengusaha yang terlambat membayar THR dikenai denda sebesar 5 persen dari total THR keagamaan yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban Pengusaha untuk membayar.

"Pengenaan denda tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk tetap membayar THR keagamaan kepada Pekerja/Buruh. Pengusaha yang tidak membayar THR dikenakan sanksi administrasi," ujarnya.

Ia menyebutkan bila pengusaha kesulitan membayar THR, maka dapat ditempuh mekanisme dialog antara pengusaha dan pekerja/buruh untuk menyepakati pembayaran THR tersebut. Misalnya, apabila perusahaan tidak mampu membayar THR sekaligus, maka pembayaran THR dapat dilakukan secara bertahap.

Kedua, apabila perusahaan tidak mampu membayar THR pada waktu yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, maka pembayaran THR dapat ditangguhkan pembayarannya pada jangka waktu tertentu yang disepakati.

"Apabila jangka waktu penahapan atau penundaan yang disepakati telah berakhir, namun perusahaan tidak membayar THR, maka atas dasar hasil pemeriksaan Pengawas dan rekomendasi yang diberikan, perusahaan dikenakan sanksi administrasi sesuai peraturan perundang-undangan," katanya. (CNBC Indonesia)

(Tim Liputan News\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar