AS Hapus Indonesia Sebagai Negara Berkembang, Apa Akibatnya?

Minggu, 23/02/2020 06:41 WIB
Ilustrasi Negara Maju dan Berkembang (Ist)

Ilustrasi Negara Maju dan Berkembang (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Indonesia dicoret dari daftar negara berkembang oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) dan dinilai sebagai bagian negara maju. Kebijakan tersebut dikeluarkan oleh AS pada tanggal 10 Februari 2020 kemarin. Dampak kebijakan tersebut akan berpengaruh bagi perlakuan berbeda dan spesial dalam hal perdagangan.

Pencoretan tersebut akan berpengaruh pada batasan minimum (de minimis tresholds) untuk marjin subsidi agar penyelidikan bea masuk anti subsidi (BMAS) selesai. Batasan minimum tersebut semakin kecil.

"Marjin subsidi agar suatu penyelidikan anti-subsidi dapat dihentikan berkurang menjadi sama dengan 1% dan bukan sama dengan 2%," ujar Direktur Pengamanan Perdagangan, Kementerian Perdagangan, Pradnyawati saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (21/2).

Meski begitu Indonesia perlu untuk berhati-hati terkait hal tersebut. Pasalnya AS merupakan negara yang paling sering menggunakan instrumen anti-subsidi di dunia.

Berdasarkan data statistik WTO periode 1995 hingga Juni 2019, AS merupakan pengguna instrumen anti-subsidi terbesar di dunia dengan total 254 inisiasi. Dalam kurun waktu tersebut dimana 11 di antaranya ditujukan terhadap produk ekspor Indonesia. "Dengan total 11 inisiasi tersebut, AS menjadi negara yang paling sering menginisiasi penyelidikan anti-subsidi terhadap produk asal Indonesia," terang Pradnyawati.

Pengklasifikasian Indonesia sebagai negara maju sampai saat ini hanya diperuntukkan bagi penyelidikan anti-subsidi. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa hal tersebut juga akan diaplikasikan dalam cakupan yang lebih luas seperti penyelidikan anti-dumping dan safeguard.

Indonesia menyampaikan tanggapan terkait pencabutan tersebut. Keputusan United States Trade Representative (USTR) dinilai tidak berdasar.  Pasalnya standar anggota G20 tidak bisa diklasifikasikan sebagai negara maju mengingat organisasi itu terdiri dari negara maju dan negara berkembang. Pendapatan per kapita Indonesia juga masih di bawah US$ 12.375. berdasarkan angka tersebut Indonesia masih dikategorikan sebagai lower-middle income economy.

Menambahkan hal tersebut, Direktur Perundingan Bilateral Kemdag Ni Made Ayu Marthini bilang pencoretan Indonesia dari negara berkembang tidak akan berpengaruh pada peninjauan Generalized System of Preferences (GSP). "Tidak (pengaruh), ini beda yang ini untuk kategori trade remedy bukan GSP," jelas Ni Made.

Sebagai informasi, saat ini perundingan terkait keberlanjutan fasilitas GSP sudah masuk tahap akhir. Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga menargetkan peninjauan akan rampung bulan ini. (Kontan)

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar