Pertumbuhan Ekonomi Mentok di 5%, Jokowi Effect Kemana?

Jum'at, 07/02/2020 14:02 WIB
Presiden Joko Widodo (sketsanews)

Presiden Joko Widodo (sketsanews)

Jakarta, law-justice.co - Sepanjang tahun 2019, Pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat mencapai 5,02%. Angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya 5,17%.

Sejumlah cara yang dilakukan oleh pemerintah mulai dari stimulus hingga tim ekonomi yang baru, disebut tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Lalu ke mana perginya Jokowi Effect ini?

Wakil Direktur INDEF Eko Listiyanto mengungkapkan, melambatnya pertumbuhan ekonomi kuartal IV membuat ekonomi Indonesia 2019 hanya tumbuh 5,02% alias lebih rendah dari target APBN 2019 sebesar 5,3%.

Menurut Eko berbagai momentum yang menyertai aktivitas ekonomi kuartal IV 2019 baik Natal, libur akhir tahun maupun hari belanja online nasional tak mampu mengakselerasi perekonomian. Termasuk penunjukan menteri-menteri baru Presiden Jokowi di jilid kedua.

"Munculnya wajah baru di tim ekonomi Kabinet Indonesia Maju yang dilantik pada 23 Oktober 2019 tidak mampu mengungkit optimisme perekonomian sehingga realisasi masih jauh dari harapan," kata Eko dalam konferensi pers di INDEF Club, Jakarta, Kamis (6/2/2020).

Dia mengungkapkan kondisi lambatnya pertumbuhan ekonomi ini juga terjadi karena hilangnya kuartal harapan. Maksudnya, secara siklus kuartal IV merupakan periode yang mampu memberi harapan untuk akselerasi perekonomian.

Hal ini karena adanya hari besar keagamaan dan libur akhir tahun. Misalnya tercermin pada pertumbuhan ekonomi kuartal I pada dua tahun terakhir seperti 2017 ekonomi tumbuh 5,19% dan 2018 tumbuh 5,18%.

"Bahkan dalam 20 tahun terakhir pertumbuhan ekonomi kuartal IV hampir selalu di atas 5% year on year hanya 5 kali kuartal IV yang tumbuh di bawah 5% yakni 2001, 2002, 2003, 2016 dan 2019," jelas dia.

Melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional kuartal IV 2019 menggambarkan makin beratnya persoalan ekonomi yang dihadapi Indonesia. Kabinet baru belum mampu menggebrak optimisme perekonomian.

"Justru optimisme pebisnis kian meredup seiring turunnya Indeks Tendensi Bisnis di Desember 2019 (104,82) setelah sebelumnya di September 2019 sebesar 105,33 dan Juni 2019 sebesar 108,81," jelas dia.

Belum Cukup

Wakil Direktur INDEF Eko Listiyanto mengungkapkan lambatnya pertumbuhan ekonomi ini terjadi karena lemahnya fundamental perekonomian nasional.

Menurut dia, struktur pertumbuhan ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang secara terus menerus, sehingga ekonomi sangat rapuh. Belum lagi inflasi pangan terus menekan daya beli rumah tangga.

Dia menjelaskan gejolak global bukanlah biang kerok dari perlambatan ekonomi Indonesia. Selama ini keterbukaan ekonomi nasional terhadap ekonomi global relatif terbatas (small open economy).

Kemudian, porsi ekspor barang dan jasa saat ini tidak lebih dari 20% dari PDB. Sementara itu foreign direct investment baru setiap tahunnya tidak cukup tinggi, hanya 2,65% terhadap PDB pada 2018.

"Porsi PMA baru setiap tahunnya pada pembentukan modal tetap bruto domestik tidak lebih dari 10%," ujar Eko dalam konferensi pers di INDEF Club, Jakarta, Kamis (6/2/2020).

Dia menjelaskan, data-data tersebut dapat menyimpulkan bahwa kekuatan ekonomi Indonesia justru berada di sisi domestik, sehingga tidak ada alasan untuk tumbuh rendah selama komponen domestik bisa dipacu.

Menurut dia, sebelumnya pemerintah menggadang-gadang menjadi perekonomian terbesar pada 2045. Melihat realisasi pertumbuhan yang tidak bergerak dari 5%.

"Prospek perekonomian terbesar di dunia tinggal angan-angan belaka, untuk sampai ke perekonomian terbesar ke 4 di dunia, perlu pertumbuhan di atas 6% per tahun," imbuh dia.

Untuk konsumsi rumah tangga melambat karena konsumsi kelas atas juga mengalami perlambatan. Dalam 5 tahun terakhir apabila dilihat pertumbuhan kuartal 1 dan 3 year on year, maka kelompok kaya ini rata-rata pertumbuhannya hanya 3,57% padahal porsi dalam total pengeluaran mencapai 45,36%. (detik.com).

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar