Ketika Tenaga Honorer Dihapus dan Jokowi Pilih `Robot` Jadi PNS

Minggu, 26/01/2020 10:22 WIB
Guru Honorer Berharap diangkat menjadi calon Aparatur Sipil Negara kepada Presiden Joko Widodo. (Detik)

Guru Honorer Berharap diangkat menjadi calon Aparatur Sipil Negara kepada Presiden Joko Widodo. (Detik)

Jakarta, law-justice.co - Kementerian PAN-RB, Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Komisi II DPR RI kompak untuk memastikan tidak ada lagi status pegawai yang bekerja di instansi pemerintah selain PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Demikian dikutip dalam kesimpulan rapat yang diadakan di ruang rapat Komisi II, gedung DPR RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, seperti dikutip Selasa (21/1/2020).

"Dengan demikian ke depannya secara bertahap tidak ada lagi jenis pegawai tetap, pegawai tidak tetap, tenaga honorer, dan lainnya," jelas kesimpulan rapat seperti melansir CNBCIndonesia.com.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Arif Wibowo menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) hanya mengenal dua jenis status kepegawaian secara nasional, yaitu PNS dan PPPK.

Meskipun pelaksanaannya bertahap, tapi harus dipastikan tidak ada lagi status pegawai di luar dari yang telah diatur oleh undang-undang.

"Sementara saat ini (faktanya) masih ada. Bahkan di daerah-daerah masih mengangkat pegawai kontrak. Dan yang mengenaskan, mereka dibayar, masuk dalam kategori barang dan jasa, bukan lagi SDM. Yang seperti ini tidak kompatibel dengan undang-undang yang sudah berlaku," papar Arif.

Politisi Fraksi PDI Perjuangan itu menyatakan, kebijakan kepegawaian tidak boleh diberlakukan secara diskriminatif.

Dalam kesempatan tersebut, Arif mempertanyakan kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk memastikan sistem kepegawaian nasional bisa berjalan sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 2014, di mana jenis kepegawaian yang ada hanyalah PNS dan PPPK.

Terkait tenaga honorer, Arif menyampaikan, berdasarkan informasi yang diterimanya, masih ada rekrutmen pegawai yang jenisnya di luar dari yang sudah diatur oleh undang-undang.

"Masih ada rekrutmen jenis-jenis kepegawaian tertentu yang tidak sesuai dengan undang-undang, utamanya di daerah-daerah," ucap Arif.

Menanggapi pertanyaan tersebut, pihak pemerintah mengakui bahwa dengan dikeluarkannya undang-undang ASN, memang hanya ada dua status pegawai pemerintah yaitu PNS dan PPPK.

Keduanya adalah pegawai pemerintah. Fleksibilitas untuk dua jenis pegawai ini memang berada di PPPK, karena bisa di atas usia yang dibutuhkan oleh organisasi.

Di mana sesuai dengan keahliannya, diharapkan bisa mempercepat capaian atau raihan organisasi.

Kondisi Tenaga Honorer, Ngenes!

Lantas, sebenarnya bagaimana sih kondisi tenaga honorer yang sebenarnya?

Saat ini, tenaga honorer yang teridentifikasi di lingkungan pemerintah pusat maupun daerah misalnya guru dan tenaga administrasi. Namun, penghasilan yang mereka terima pun tidak bisa disamakan seperti PNS atau PPPK.

Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas Badan Kepegawaian Negara (BKN) Paryono mengemukakan bahwa tidak ada istilah tenaga honorer seperti yang telah tercantum dalam Undang-Undang (UU) 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Dalam payung hukum tersebut, hanya ada istilah PNS dan PPPK.

Apabila PNS dan PPPK sudah mendapatkan kepastian dari sisi, lain cerita dengan tenaga honorer yang mendapatkan perlakuan berbeda dari tiap instansi terutama dari sisi penghasilan.

"Manajemen PPPK ini sudah diatur dalam PP 49/2018. Ini beda banget dengan honorer," kata Paryono melalui pesan singkatnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (22/1/2020).

Salah seorang tenaga honorer di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang tidak ingin disebutkan identitasnya tak memungkiri bahwa tenaga honorer memang tidak memiliki status yang jelas.

"Kalau PNS dan PPPK itu sudah jelas. PNS itu dapat pensiun, PPPK enggak. Kalau kita, itu cuma gaji aja," kata dia saat berbincang dengan CNBC Indonesia.

Tak hanya persoalan kejelasan status, ia menyebut penghasilan yang diterimanya sebagai tenaga honorer pun tidak seberapa. Apalagi, jika dibandingkan dengan pengalaman maupun tingkat pendidikan setara sarjana.

"Saya cuma dapat gaji Rp 3,9 juta per bulan. Gak ada fasilitas atau insentif lainnya. Apalagi tukin [tunjangan kinerja]," jelasnya.

Tak hanya itu, beberapa waktu lalu bahkan terungkap ada guru honorer yang mendapatkan penghasilan Rp 300.000 per tiga bulan.

Artinya, para tenaga honorer hanya mendapatkan Rp 100.000 per bulan.

Hal tersebut terungkap kala Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyampaikan kuliah umum pada acara Musyawarah Nasional ke-5 Ikatan Keluarga Alumni UII pada 14 Desember 2019 lalu.

Dalam kesempatan tersebut, peserta menanyakan langsung ke Nadiem soal gaji guru honorer yang hanya Rp 300.000 per 3 bulan.

"Banyak keluhan dari guru-guru terutama honorer, mereka cuma dapat gaji Rp 300 ribu per tiga bulan, bagaimana kita menuntut mereka memberikan yang terbaik buat murid, kesejahteraan guru harus diperhatikan," tanya salah seorang peserta dalam musyawarah tersebut.

Apa jawaban Nadiem?

"Itu kewenangan dari pemerintah daerah, dan dari pusat harus dirumuskan oleh beberapa kementerian jadi mohon kesabaran," tegas Nadiem dalam sebuah video resmi Kemendikbud.

"Sudah jelas guru kita tak bisa merdeka kalau tidak sejahtera, tapi ada kompleksitas, karena itu diangkat Kepala Sekolah. Sekolah punya pemda, dan ada dua jenjang, Pemerintah daerah yang mengangkat PNS guru di daerah dan guru honorer diangkat sekolah. Bayangkan ribetnya."

Sebagai informasi, dalam risalah rapat antara DPR, KemenPANRB dan BKN, semua sepakat untuk memastikan tidak ada lagi status pegawai yang bekerja di instansi pemerintah selain PNS dan PPPK, sebagaimana diatur dalam pasal 6 UU 5/2014 tentang ASN.

Lantas, bagaimana nasib para tenaga honorer?

Paryono pun mendorong para tenaga honorer untuk masuk dalam klasifikasi PPPK atau mengikuti pendaftaran seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).

Menurutnya, dengan begitu tenaga honorer bisa mendapatkan kejelasan.

"Penyelesaiannya, ya honorer kita dorong untuk masuk ke PPPK atau kalau masih memenuhi syarat bisa daftar CPNS," kata Paryono.

Jokowi Ganti PNS dengan Robot

Selain soal status honorer PNS, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga berencana mengganti PNS dengan robot kecerdasan buatan (artificial intelligence).

Jokowi berencana menggantikan eselon III dan eselon IV kementerian yang menghambat birokrasi dengan robot AI.

"Ini bukan barang yang sulit. Barang yang mudah dan memudahkan kita untuk memutuskan sebagai pimpinan di daerah maupun nasional," ujar Jokowi di depan seluruh kementerian/lembaga saat memberikan pengarahan dalam pembukaan Musrenbangnas RPJMN 2020-2024 pada Desember 2019 lalu.

Jokowi menegaskan ini merupakan upaya pemerintah untuk melakukan penyederhanaan birokrasi agar cepat dalam merespons perubahan dunia. Eks Wali Kota Solo itu tak ingin, masalah ini semakin mengakar.

"Kita sudah kapal besar. Birokrasi kita kapal besar sehingga perlu penyederhanaan birokrasi. Perlu birokrasi yang ramping dan fleksibel. Sehingga cepat merespons setiap perubahan yang ada," katanya.

"Ada perubahan dunia apa, responsnya cepat. Jangan sampai karena kapal besar, kita mau belokkan saja kesulitan, lama. Tinggal semua negara kita kalau seperti ini," lanjut Jokowi.

Kehadiran kecerdasan buatan dalam struktur pemerintahan akan membuat pelayanan birokrasi semakin simpel.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu pun memastikan, siapapun yang akan terkena pemangkasan tidak akan mengalami pengurangan pendapatan.

"Nanti dengan big data yang kita miliki, jaringan yang kita miliki, memutuskan akan cepet sekali kalau kita pakai AI. Tidak bertele-tele, tidak muter-muter," tegasnya.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar