Jerat Korupsi dalam Tubuh Bapeten (Tulisan-I)

Intervensi Kekuasaan dalam Korupsi Alat Pemindai Nuklir

Jum'at, 17/01/2020 22:49 WIB
Surat hasil penyelidikan kasus dugaan korupsi di Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) (Foto:Repro)

Surat hasil penyelidikan kasus dugaan korupsi di Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) (Foto:Repro)

Jakarta, law-justice.co - Korupsi tidak hanya terjadi di lembaga dan badan strategis. Kenyataannya korupsi bisa terjadi juga di dalam tubuh Badan Pengawasan Tenaga Nuklir (Bapeten). Lembaga itu dirundung masalah korupsi pengadaan alat pemindai radiasi nuklir. Namun sayangnya, pengungkapan kasus korupsi di tubuh Bapeten ini mangkrak dengan alasan tidak ada kerugian negara.

Padahal, dalam Surat Pemberitahuan Hasil Penyelidikan (SPHP) No.446/11/2018 tanggal 15 Februari 2018, ada pengembalian kerugian negara dari perusahaan pemenang tender PT Asri Panca Teknik yang diklaim langsung masuk ke rekening kas negara. Namun pengembalian kerugian ini diduga tidak langsung ke kas negara, hal itu terlihat dari penolakan dokumen bukti setor yang diminta oleh pelapor dalam kasus ini.

Tak hanya pengelembungan keuangan negara yang dilakukan oleh terduga pelaku dalam ambil untung dari proyek ini. Pengadaan alat ini juga diduga sebagai pemborosan, karena alat ini tidak bermanfaat.

Bekas Kepala Bidang Pengkajian Bidang Industri Bapeten Togap Marpaung yang juga menjadi pelapor dalam kasus pengadaan barang di Bapeten mengatakan, korupsi yang terjadi lembaga Bapeten untuk pengadaan barang diduga ada indikasi kerugian negara pada pengadaan barang paket 1, 2 dan 3 dengan nilai sekitar 3.5 miliar rupiah. Penghitungan itu berdasarkan hasil penghitungan auditor investigasi BPKP.

Berdasarkan dokumen yang diterima Law-Justice.co, paket 1,2 dan 3 itu terdiri dari Pengadaan DCVD dengan nilai proyek sekitar 2.279.200.000 yang dimenangkan PT Panca Asri Teknik melalui pelelangan umum. Sedangkan paket 2 berisi pengadaan alat security pendukung pengawasan yang dimenangkan oleh PT Ferlita Greece Abadi dengan nilai 1.408.000.000 melalui metode pelelangan sederhana. Sedangkan paket ketiga berisi pengadaan peralatan laboratorium radiasi yang dimenangkan oleh PT Panca Asri Teknik melalui pelelangan umum dengan nilai Rp 17.662.150.000.


Dokumen pengembalian kerugian negara dari PT. Asri Panca Teknik dan PT Ferlita Greece Abadi terkait paket pengadaan barang 1,2,3 di Bapeten (Foto :Repro BPK/Law-Justice)

Menurut Togap, ada 7 paket proyek pengadaan barang dan jasa yang bermasalah pada di lembaga Bapeten tahun anggaran 2013. Kata dia, hasil audit dari BPK dan BPKP untuk paket 1 hingga 3 terdapat kerugian negara dari pengadaan alat pemindai radiasi nuklir tersebut.

Proyek bancakan ini bermula dari program pemerintah mempersiapkan Indonesia Centre of Excellent for Nuclear Security and Emergency Preparedness (IConNSEP). Dalam proyek itu ada 7 paket pengadaan barang dan jasa yang diinisiasi oleh Bapeten. Namun, menurut Togap, apa urgensinya pengadaan barang dan jasa sebanyak itu sehingga menghabiskan anggaran puluhan miliar rupiah, "Pengadaan paket 1 hingga 3 merupakan pemborosan, barang tidak bisa bermanfaat. Dalam Surat Pemberithauan Hasil Penyelidikan (SPHP) tertulis poin B barang sesuai dan berfungsi sebagaimana mestinya. Itu suatu kelemahan dan tidak bermanfaat," kata Togap menyambangi redaksi Law-Justice.co

Atas dasar itulah Togap Marpaung melaporkan kasus ini ke Bareskrim Mabes Polri pada 16 September 2014 lalu dengan nomor pelaporan Li/19/X/2014/Tipidkor. Namun, 9 bulan berselang Bareskrim Polri melimpahkan kasus ini kepada Polda Metro Jaya dengan surat pelimpahan tertanggal 31 Juli 2015. Selang beberapa tahun, Direktorat Reskrimsus Polda Metro Jaya mengeluarkan Surat Pemberitahuan Hasil Penyelidikan (SPHP) No.446/11/2018 tanggal 15 Februari 2018.

Isi surat itu menyatakan, terhadap pengadaan alat DCVD, pengadaan peralatan laboratorium radiasi dan pengadaan peralatan security ditemukan perbuatan melawan hukum dalam proses lelang akan tetapi tidak ditemukan kemahalan harga (mark up), spefisikasi barang sesuai dan berfungsi sebagaimana mestinya. Serta kerugian negara berdasarkan penghitungan auditor investigasi telah dikembalikan kepada negara. Sehingga terhadap paket pengadaan tersebut tidak dapat ditingkatkan ke penyidikan.


Dokumen pengadaan barang dan jasa di Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) (Foto:Repro BPK/Law-Justice)

Menurut Togap, Surat Pemberitahuan Hasil Penyelidikan (SPHP) itu isinya saling bertolak belakang. Kata dia, dalam pengadaan paket DCVD ditemukan perbuatan melawan hukum dan ada kerugian negara. Namun, pidananya dianggap gugur dan tidak bisa ditindak. Hal itu menurut dia bertentangan dengan UU Tipikor No.20 tahun 2001.
"Aneh SPHP, tertulis ada perbuatan melawan hukum dan berdasarkan hasil audit ada kerugian negara. Namun tindak pidana korupsinya menjadi gugur setelah ada pengembalian kerugian negara," kata alumni Fakultas MIPA Universitas Indonesia.

Gugurnya kasus ini ke tingkat penyidikan diduga ada kongkalikong antara pejabat Bapeten, Kepolisian dan juga pemenang tender. Hal itu menurut Togap terlihat dari dokumen tertanggal 4 Agustus 2017 dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) dengan nomor 2955/HK 00/SET/VIII/2017 yang berisi kesediaan penyedia jasa melakukan pengembalian kepada negara jika memang terdapat kerugian negara. Surat itu ditandatangani oleh Sekretaris Utama Bapeten Hendriyanto Hadi Tjahyono.

Ada pengembalian kerugian negara juga tercatat dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan No.61A/LHP/XVI/05/2018 yang berisi pengembalian belanja modal TAYL atas pengadaan tahun 2013 dari PT Asri Panca Teknik atas pengadaan alat Digital Cerenkov Viewing Device (DCVD) melalui SSBP dengan NTPN C6E708FDUU6EK7F tanggal 31 Agustus 2017 dengan nilai Rp 302.462.500 dan pengembalian atas pengadaan peralatan laboratorium melalui SSBP dengan NTPN C15101ETNMPLMDGO tanggal 21 November 2017 dengan nilai Rp 600.000.000 (Enam Ratus Juta Rupiah) serta pengembalian dari PT Ferlita Greece Abadi atas pengadaan peralatan security dengan nilari Rp 258.859.025. Total keseluruhan lebih dari 1 miliar rupiah.

Ada Intervensi Kekuasaan

Menguapnya kasus korupsi pengadaan paket 1,2 dan 3 di Polda Metro Jaya menimbulkan pertanyaan besar. Beberapa bukti yang diajukan seperti bukti hasil audit investigasi dari BPKP tidak juga berbunyi di tangan penyidik Polda Metro Jaya. Menurut Togap, kasus ini menguap diduga ada intervensi kekuasaan. Menurut sumber yang diungkapkan oleh Togap, penghentian kasus ini mendapatkan perintah langsung dari pejabat polri yang enggan disebutkan namanya, "Ada perintah dihentikan dari atas" ujar Togap.

Dalam Surat Pemberitahuan Hasil Penyelidikan (SPHP) terdapat 4 poin terkait pengaduan barang dan jasa yang menggunakan anggaran tahun 2013. Poin pertama terhadap paket 1,2 dan 3 dan sedangkan poin 2,3 dan 4 berisi pengadaan barang paket 4 dan 5. Untuk paket 4 hingga 5 tim penyidik Tipikor Bareskrim Mabes Polri menunggu surat hasil audit investigasi dari BPKP Jakarta yang baru saja rampung dan dikirimkan penyidik untuk diteliti.


Dokumen hasil penyelidikan kasus korupsi Bapeten di Polda Metro Jaya (Foto:Repro/Togap Marpaung/Law-Justice.co)

"Hasil dari BPKP sudah dikirim ke Bareskrim pada Kamis, 9 Januari 2020.Nomor surat SR/07/D5/02/2020," jelas Togap. Dia menambahkan, hasil itu sudah diteruskan ke Polda Metro Jaya untuk ditindaklanjuti, "Kita kawal saja, kita tagih janjinya. Mereka bilang kalau sudah ada hasil audit bisa ditingkatkan ke penyidikan. Kita tunggu saja,"ungkapnya.

Perjalanan kasus ini menurut dia penuh liku, kepolisian yang awalnya bersemangat mengusut dugaan korupsi menjadi tak bertaji. Menurut Togap, kasus ini sudah terang benderang berdasarkan bukti-bukti hasil investigasi yang dapat dipertanggungjawabkan seperti BPKP Jakarta dan BPK. 

Namun, Togap Marpaung sebagai pelapor berpendapat bahwa meskipun para pihak yang dianggap terlibat telah mengembalikan kerugian negara namun baginya kasus pidana korupsi tetap berjalan. Ia juga mengatakan bahwa Kapolri sudah pernah mengatakan meskipun pengembalian kerugian negara terjadi, kasus korupsi harus tetap diusut.

"Dalam beberapa kesempatan Kapolri mengatakan pengembalian kerugian negara itu adalah MOU antara Mendagri dengan Pemprov daerah. Tidak berlaku dengan kasus lainnya", kata Togap.

Menanggapi hal itu, Jurnalis Law-Justice, Bona Ricki Siahaan mencoba menghubungi salah satu penyidik Dirkrimsus Kompol Markos Sihombing yang juga sebagai kanit Subdit V. Meskipun Law-Justice.co telah berhasil menghubungi Markos namun dirinya enggan menjelaskan secara detail.

"Silahkan untuk kasus tersebut (Korupsi Pengadaan Alat Pemindaian Nuklir) bisa hubungi Humas. Kirim surat saja nanti kami jawab melalui Humas," ujar Markos.

Begitu juga Togap Marpaung si pelapor yang mengklaim bahwa kasus tersebut telah terjadi pelanggaran pidana korupsi mengatakan bahwa laporan dari hasil BPKP terhadap kasus tersebut telah terbit. Menurut sumber Togap Marpaung bahwa hasil dari BPKP tersebut terdapat kerugian negara miliaran rupiah dari pengadaan beberapa alat.

"Sayang saya tidak bisa melihat secara langsung hasil BPKP. Dan kebetulan saya cek di Polda, surat tersebut juga belum diterima oleh Polda Metro Jaya khususnya Direktorat Kriminal Khusus untuk hasil paket 4-5," ujarnya.

Pengadaan Barang Sarat Rekayasa

Indonesian Corruption Watch (ICW) sempat melakukan investigasi tentang dugaan korupsi pengadaan alat radiasi XRF Spectrometry di Bapeten pada tahun 2017. Dari hasil investigasi tersebut, total kerugian negara yang ditimbulkan sebesar Rp 1,1 miliar. Menurut ICW, setidaknya ada tiga unsur melawan hukum dalam proyek tahun anggaran 2013 tersebut. Pertama, ada persaingan yang tidak sehat dalam proses lelang pengadaan barang, yang mana dalam hal ini dimenangkan oleh PT Asri Panca Teknik (ATK).

“Ada penawaran yang dikeluarkan oleh supplier barang pada tanggal 6 November 2012 diindikasikan bahwa spesifikasi barang telah bocor sebelum lelang dilakukan dan cenderung mengarahkan ke produsen tertentu yang berakibat pada persaingan tidak sehat,” kata peneliti ICW Wana Alamsyah kepada Law-justice.co, Jumat (17/1/2020).

Pelanggaran kedua, ICW menduga bahwa Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang disusun oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Bapeten telah terjadi penggelembungan atau mark-up sekitar 45 persen. Angka tersebut diperoleh setelah ICW menyelidiki harga asli XRF Spectrometry di negara asalnya, yakni Belanda, hanya sekitar Rp 1,59 miliar sudah termasuk dengan biaya lain-lain. “Namun supplier barang menawarkan dengan harga sekitar Rp 2,75 miliar,” ujar Wana.

Kejanggalan ketiga dalam proyek ini adalah tidak adanya daftar kuantitas harga dan barang dari Kelompok Kerja (Pokja) Unit Layanan Pengadaan (ULP). Pokja ULP adalah pihak yang berwenang untuk membuat dokumen pengadaan. Daftar kuantitas harga dan barang diperlukan untuk melakukan koreksi aritmatik. Wana menjelaskan, koreksi aritmatik berguna untuk melihat harga satuan timpang. Jika harga satuan timpang per barang lebih dari 110 persen, maka harga yang digunakan adalah harga yang tertera dalam HPS.

“ICW menemukan bahwa harga XRF Spectrometry termasuk dalam kategori harga timpang karena harga yang dibayarkan oleh PPK sebesar 112 persen,” ucapnya.
Kasus dugaan korupsi alat radiasi XRF Spectrometry ini sudah ditangani oleh Polda Metro Jaya sejak tahun 2016, namun hingga kini masih mangkrak. ICW sempat meminta Bareskrim Polri untuk melakukan supervisi atas penyelidikan yang lamban.

Dokumen kesanggupan mengganti kerugian negara (Foto:repro Bapeten)

“Waktu itu katanya Polisi masih melakukan analisis. Tapi sampai sekarang kami belum dapat kabar dari Bareskrim Polri. Apakah kasus ini tetap lanjut atau sudah SP 3, saya juga belum tahu pasti,” kata Wana.

ICW menduga, mandeknya kasus ini berkaitan dengan adanya Surat Telegram Rahasia (STR) yang memungkinkan penghentian penyelidikan karena sudah ada pengembalian kerugian negara dari para pelaku. Wana menegaskan, hal tersebut bertentangan dengan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor),“Kami khawatir STR dijadikan dasar untuk menghentikan perkara ini karena kerugian negaranya telah dikembalikan, padahal ada indikasi pidana korupsi. Mekanisme pengembalian kerugian negara ketika ada tindak pidana korupsi, diatur dalam pasal 4 UU Tipikor. Pengembalian kerugian negara tidak menghapus unsur pidananya” tegas Wana.

Karena itu, ICW mendesak kepolisian kembali membuka kasus ini kepada publik. Wana mengatakan, dugaan korupsi pengadaan alat radiasi XRF Spectometry di Bapetan sangat layak dinaikkan statusnya ke penyidikan. Ada beberapa pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban, yaitu PPK, Pokja ULP Bapeten, dan Direktur supplier barang.

“Dalam konteks tata kelola pemerintahan, ketika muncul indikasi korupsi, artinya ada yang keliru atau inspektoratnya tidak berjalan dengan baik. Atau mungkin hasil pengawasan dari inspektorat tidak ditindaklanjuti oleh pimpinan lembaga negara tersebut,” tutur Wana.

Togap juga menempuh langkah lain, seperti beraudiensi dengan Ombudsman Republik Indonesia, Komisi Kepolisian Nasional, dan bahkan telah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo. Gayung bersambut, permohonan Togap dan kawan-kawan disambut oleh Jokowi melalui surat yang dikirimkan oleh Kementerian Sekretaris Negara.

Dalam surat tersebut, Jokowi meminta kepada aparat penegak hukum yang menangani kasus tersebut untuk memprosesnya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Serangan Balik untuk Whistle Blower

Menjadi pelapor korupsi di lembaga badan pengawas tenaga nuklir (Bapeten) bukan berarti tanpa ancaman. Togap Marpaung bahkan mendapatkan perlindungan dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) selama 6 bulan dan diperpanjang hingga 6 bulan ke depan. Togap mendapatkan pemenuhan hak prosedural berdasarkan surat keputusan LPSK Nomor : R-2695//1.DIV3.1/LPSK/10/2015.

Akibatnya, Togap Marpaung yang awalnya menjabat sebagai pejabat fungsional pengawas radiasi diturunkan satu tingkat dari IVc ke IVb. Dia pun menjadi "incaran" di Bapeten karena dinilai tidak patuh dengan perintah atasan. Keputusan itu terjadi pada 22 Desember 2016. Bapeten berdalih sanksi diberikan karena dinilai telah melanggar disiplin sesuai dengan PP No.53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS.

Buntut dari kasus mala administratif dan tidak lulus uji kompetensi fungsional pengawas radiasi empat kali dalam 4 tahun, yang menimpa Togap Marpaung, di Bapeten (Badan Pengawas Tenaga Nuklir), memasuki babak hukum pidana karena terindikasi ada tindak pidana pemalsuan surat seperti yang diatur dalam Pasal 263 KUHP.

Togap telah melaporkan kasus tersebut ke Polda Metro Jaya, Nomor: TBL/970/II/2019/Dit.Reskrimum, tanggal 15 Februari 2019, yang dilimpahkan ke Polres Metro Jakarta Pusat Nomor: B/4629/III/RES 7.4/2019/Dit. Reskrimum, tanggal 14 Maret 2019.

Togap Marpaung menggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, perkara Nomor 138/G/2018/PTUN-JKT, tanggal 6 Juni 2018 yang putusannya adalah: “PTUN tidak berwenang secara absolut untuk memeriksa dan mengadili perkara quo;. Majelis hakim menyatakan “gugatan Penggugat tidak diterima"


Pelapor kasus pengadaan barang dan jasa di Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) Togap Marpaung/Foto:Pribadi

Putusan majelis hakim tersebut terasa janggal dan aneh bagi Togap Marpaung. Maka, terpaksa Togap mengambil langkah hukum dengan melaporkan Khoirul Huda, yang diduga memalsukan nilai yang dibuat olehnya dan Hendriyanto, selaku Ketua Tim Uji Kompetensi, yang menggunakan surat tersebut ke pihak kepolisian.

Karena Togap Marpaung telah memiliki bukti hanya 3 orang penguji, Azhar, Ishak dan Amil Mardha. Bukti tersebut justru diperoleh dari Terlapor, pada saat proses gugatan perkara terkait tidak lulus uji kompetensi di PTUN Jakarta, tanggal 21 Agustus 2018.

Putusan PTUN tersebut merupakan bukti absolut yang tidak terbantahkan karena disampaikan saksi fakta dibawah sumpah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Ada lagi keterangan saksi fakta, yang menyatakan hanya 3 orang penguji sesuai dengan bukti dari Terlapor tersebut. Keterangan saksi fakta pada tanggal 5 September 2018, dan menjadi bagian dari putusan perkara No. 138/G/2018/PTUN-JKT, tanggal 2 Oktober 2018. Putusan PTUN tersebut merupakan bukti absolut yang tidak terbantahkan karena disampaikan Saksi Fakta dibawah sumpah di PTUN Jakarta.

Tetapi anehnya, pada tanggal 18 September 2018, Terlapor, menyampaikan bukti di PTUN bahwa 4 orang penilai, dan anehnya, nilai dari Khoirul Huda, untuk 4 kuadran, jeblok semuanya. Akibatnya nilai uji kompetensi Togap, menjadi tidak lulus. Menurut Togap, sebenarnya Khoirul Huda, perannya hanya memandu jalannya uji kompetensi, supaya terlaksana secara efektif sesuai ketentuan.

Sesuai Peraturan Kepala Bapeten, No.10 Tahun 2016, terkait dengan uji kompetensi sangat jelas diatur syarat menjadi penguji, tugas penguji dan penilai. Pihak Terlapor tetap bersikeras dengan buktinya, bahwa Khoirul Huda adalah penguji yang berarti membantah buktinya sendiri di PTUN.

Amil Mardha, sebagai penguji juga tidak sah, karena melanggar Pasal 7 Peraturan Kepala Bapeten Nomor 10 Tahun 2016. Bila Khoirul Huda, dianggap penguji, tetapi faktanya menurut Togap, ada aturan yang sangat prinsip dilanggar.

“Bagaimana dia wajib memberi nilai tanpa wajib bertanya? Saya tahu aturan sudah jelas dan pasti, ada 4 metode uji yang salah-satunya ada wawancara (tanya jawab), yang persentase nilainya termasuk paling besar. Dua penguji yang sah, memberi nilai baik dan satu nilai cukup baik. Sementara, Khoirul Huda, memberi nilai jelek sehingga alasan dia tidak bertanya tidak hanya melanggar aturan tapi juga tidak logis,” ujar Togap kepada Law-Justice.co, Senin (13/1/2020).

Senin pekan depan, Togap Marpaung akan memberikan keterangan di Komisi Kepolisian Nasional. Dia mengadukan lambannya penyelidikan dan penyidikan kasus yang dilaporkannya.

Kontribusi Laporan : Bona Ricki Siahaan, Januardi Husin

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar