H. Desmond J. Mahesa, SH.MH, Wakil Ketua Komisi III DPR RI :

Mengurai Belantara Penegakan Hukum Pidana Pemilu di Indonesia

Selasa, 17/12/2019 06:51 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR, Desmond Junaidi Mahesa di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR, Desmond Junaidi Mahesa di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. (Ist)

Jakarta, law-justice.co - 1. PENDAHULUAN

Salah satu syarat pokok suatu negara disebut negara demokrasi adalah adanya sistem pemilihan umum yang jujur dan adil (free and fair elections) [1]. Dalam hal ini sudah barang tentu bangsa dan rakyat Indonesia menghendaki adanya Pemilu yang jujur dan adil tersebut bagi pergantian kekuasaan, baik kekuasaan lembaga eksekutif maupun kekuasaan lembaga legislatif.

Tanpa Pemilu yang bersih, jujur, dan adil kehidupan berdemokrasi, keadilan sosial, dan penegakan hukum akan terdistorsi semakin jauh dari cita-cita bangsa Indonesia. Hal ini sejalan dengan amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 beserta pasal-pasalnya. "Vox populi vox dei `" yang artinya suara rakyat adalah suara Tuhan. Adagium tersebut menyatakan pentingnya suara rakyat untuk di lindungi dan dijaga kemurniannya.

Bahwa kedaulatan berada di tanggan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, karenanya Pemilu sebagai perwujudan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan dalam suatu sistem demokrasi langsung tentunya harus sesuai dengan prinsip dan konsep pemilu. Karena itu pula penyelenggaraan Pemilu  haruslah berpatokan pada 4 (empat) unsur konsep Pemilu yaitu : (1) sebagai sarana kedaulatan rakyat, (2) dilaksanakan secara LUBERdan JURDIL, (3) dilaksanakan dalam Negara Kesatuan RI, dan (4) berlandaskan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.

Jika empat hal tersebut diatas tidak dilaksanakan dengan baik maka bisa muncul permasalahan. Sejauh ini banyak negara besar di dunia yang pada akhirnya mengalami kekacauan dan perang saudara yang berkepanjangan akibat gagal mengelola demokrasi dan Pemilunya. Bangsa Indonesia pernah mengalami hal tersebut pada era Presiden Soeharto yang berujung pada kerusuhan massal 1998. Banyak korban jiwa dan kerusakan fisik dalam kerusuhan tersebut. Pada era Presiden Soeharto pada tahun 1966 sampai dengan 1998, demokrasi dan Pemilu hanya dijadikan alat dan kedok dalam melanggengkan kekuasaannya.

Pasca gerakan reformasi 1998, komitmen bangsa Indonesia terhadap demokrasi dan hukum semakin tegas. Penyempurnaan Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Hal-ha1 mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengalami perubahan menjadi lebih baik, efektif, dan efisien.

Sungguhpun demikian tragedi pelaksanaan pemilu yang  memakan korban jiwa dan harta tetap saja terulang untuk yang kesekian kalinya. Terakhir adalah meninggalnya ratusan petugas pemungutan suara pada pemilu 2019 yang baru saja usai pelaksanannya.  Belum lagi korban jiwa akibat bentrok antara massa dengan aparat keamanan di gedung Mahkamah Konstitusi yang memakan korban jiwa sekurang kurangnya 8 orang meninggal dunia dan masih banyak yang hilang tidak tentu rimbanya.

Adanya kekacauan pasca pemilu yang memakan korban jiwa dan harta disinyalir karena pemilu dianggap telah terlaksana namun sarat dengan ketidakadilan dan ketidakjujuran. Oleh karena itu sangat wajar kalau  rakyat menuntut pelaksanaan demokrasi dan Pemilu secara jujur dan adil agar pemilu tidak hanya dijadikan sebagai alat atau retorika bagi pemilik kekuasaan politik dan pemilik modal dalarn mempertahankan kekuasaannya.

Jadi meskipun dalam peraturan perundang-undangan telah dijamin pelaksanaan pemilu dan pilkada secara jujur dan adil, tetapi faktanya bahwa masih banyak praktek-praktek pelanggaran dan sengketa hukum dalam pemilu. Setiap kali pemilu dilaksanakan selalu saja muncul isu tentang lemahnya penegakan hukum pemilu. Isu ini berangkat dari kenyataan betapa banyak pelanggaran administrasi dan tindak pidana pemilu yang tidak ditangani sampai tuntas. 

Banyaknya kasus pelanggaran administrasi pemilu dan tindak pidana pemilu, serta banyaknya kasus keberatan atas keputusan penyelenggara pemilu; di satu sisi, mendorong munculnya protes-protes yang bisa berujung kekerasan, di sisi lain, juga mengurangi legitimasi hasil pemilu itu sendiri.

Sejauh ini berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu memang selalu terjadi permasalahan yang  muncul  seperti  adanya pelanggaran kode etik penyelenggara  pemilu, sengketa pemilu, pelanggaran administrasi pemilu, tindak pidana pemilu, perselisihan hasil pemilu serta sengketa tata usaha negara pemilu. Dari ragam permasalahan penyelenggaraan pemilu tersebut salah satu yang menonjol adalah berkaitan dengan penegakan hukum tindak pidana pemilu.

Berkaitan dengan penegakan hukum tindak pidana pemilu, Direktur Eksekutif ILR Firmansyah Arifin mengungkapkan terdapat 348 kasus pidana pemilihan umum pada Pemilihan Umum 2019 yang telah berkekuatan hukum tetap."Kalau kita bandingkan dengan (pemilihan umum) 2014, ada semacam kenaikan yang cukup signifikan, hampir 60 persen. Tepatnya 58,3 persen dari data yang kita miliki. Kalau 2014 itu 203 kasus, sekarang 348. Naik secara signifikan," kata Firmansyah.[2]

Firmansyah menambahkan pelanggaran pidana pada Pemilihan Umum 2019 itu terjadi di 34 provinsi. Paling banyak terdapat di Sulawesi Selatan (40 kasus), disusul Sulawesi tengah dan Sumatera Utara (sama-sama 24 kasus), Nusa Tenggara Barat (21 kasus), serta Gorontalo, Maluku, dan Maluku Utara (masing-masing 19 kasus).

Sebagian besar pelanggaran pidana pemilu itu terkait dengan pemilihan legislatif, hanya 13 kasus tindak pidana pemilu terkait pemilihan presiden.Dari 348 kasus pidana pada Pemilihan Umum 2019, 168 perkara pidana pemilu terjadi di tahap kampanye. Kemudian 74 kasus berlangsung saat pemungutan dan penghitungan suara, 69 perkara di tahap rekapitulasi penghitungan suara, 22 pidana pemilu terjadi di masa tenang, dan 15 ketika proses pencalonan.[3]

Sementara itu Indonesia Legal Roundtable (ILR) mempublikasi hasil riset mengenai penegakan hukum pidana pemilu pada Pemilu 2019. Salah satu temuannya yakni, bahwa dari 348 kasus pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum inkracht, hanya 13 kasus yang terkait Pemilihan Presiden (Pilpres). Sisanya, 335 kasus terkait dengan Pemilihan Legislatif (Pileg). Jumlah kasus pidana pemilu tersebut meningkat dari 2014 dengan 203 kasus Pilpres dan Pileg. [4]

Fenomena sebagaimana dikemukakan diatas menarik perhatian kita untuk mengkaji lebih jauh bagaimana sesungguhnya problematika  penegakan  hukum tindak pidana Pemilu di Indonesia dan bagaimana pula upaya untuk mengatasi problematika penegakan hukum tindak pidana Pemilu tersebut

2. PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMILU

Penegakan hukum dalam konteks system peradilan pidana yang sering disebut sebagai “upaya penal”, merupakan jenis penegakan hukum yang sifatnya represif, sedangkan penegakan hukum dalam konteks preventif lebih melalui jalur “non penal”[5]. Bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat represif sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih menitik beratkan pada sifat preventif sebelum kejahatan terjadi.

Karena tindakan represif pada hakekatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas, mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat akan pencegahan untuk terjadinya kejahatan.

Penegakan hukum Tindak pidana yang sering juga disebut sebagai delik (delict) merupakan perbuatan pidana yang di dalamnya terdapat unsur kejahatan maupun unsur pelanggaran, yang harus dipertanggungjawabkan oleh orang yang melakukan perbuatan yang melanggar nilai ketertiban masyarakat tersebut.

Penegakan hukum dapat pula menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran perkara pidana pemilihan umum (pemilu) atau penyimpangan terhadap peraturan perundangundangan pemilu melalui proses pidana yang melibatkan peran dari pada aparat penegak hukum Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan (LP) dan atau Advokat/Pengacara.

Mekanisme peradilan pidana terhadap perkara pidana pemilu tersebut yang merupakan sistem peradilan pidana meliputi aktifitas yang bertahap, dimulai dari penyelidikan yang dilakukan kepolisian atas rekomendasi bawaslu, kemudian ditingkatkan menjadi penyidikan oleh penyidik kepolisian.

Kemudian dilakukan penuntutan oleh kejaksaan, pemeriksaan di pengadilan oleh majelis hakim pengadilan negeri dan pelaksanaan putusan hakim yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan, dan biasanya ada yang didampingi oleh penasihat hukum advokat/pengacara, sehingga peradilan pidana dapat diartikan sebagai suatu proses bekerjanya beberapa lembaga penegak hukum.

Adapun pengertian tindak pidana pemilu dalam  kepustakaan sebagaimana dikemukakan oleh Djoko Prakoso[6], tindak pidana pemilu adalah setiap orang atau badan hukum ataupun organisasi yang dengan sengaja melanggar hukum, mengacaukan, menghalang-halangi atau mengganggu jalannya pemilihan umum yang diselenggarakan menurut undang-undang. 

Defenisi yang dikemukakan oleh Djoko Prakoso ini amat sederhana, karena jika diperhatikan beberapa ketentuan pidana  dalam Undang-undang Pemilu saat ini perbuatan mengacaukan, menghalang-halangi atau mengganggu jalannya pemilihan umum hanya merupakan sebagian dari tindak pidana pemilu.

Ruang lingkup tindak pidana pemilu memang amat luas cakupannya, meliputi  semua tindak pidana yang terjadi pada proses penyelenggaraan pemilu, termasuk tindak pidana biasa pada saat kampanye atau penyelenggaraan keuangan yang terjadi dalam tender pembelian perlengkapan pemilu. Maka Topo Santoso[7] memberikan defenisi tindak pidana pemilu dalam tiga bentuk meliputi:

  1. Semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur di dalam Undang-undang Pemilu.
  2. Semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur di dalam maupun di luar Undang-undang Pemilu (misalnya dalam Undang-undang Partai Politik ataupun di dalam KUHP).
  3. Semua tindak pidana yang terjadi pada saat pemilu (termasuk pelanggaran lalu lintas, penganiayaan, kekerasan, perusakan dan sebagainya.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ada tiga kemungkinan pengertian dan cakupan dari tindak pidana pemilu: pertama, semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur dalam undang-undang pemilu; kedua,semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur baik di dalam maupun di luar undang-undang pemilu (misalnya Undang-Undang Partai Politik dan KUHP); ketiga, semua tindak pidana yang terjadi pada saat pemilu (termasuk pelanggaran la1u lintas, penganiayaan).

Tetapi yang dipakai sebenarnya adalah pengertian yang pertama, karena merupakan pengertian yang paling tegas danpaling fokus yaitu hanya tindak pidana yang diatur di dalam UU Pemilu saja, sebab pengertian yang kedua dan ketiga masing terlalu luas.

Berdasarkan pengertian yang pertama maka tindak pidana Pemilu menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan dan Pemilihan Umum (“Perma 1/2018”) dinyatakan bahwa : “tindak pidana adalah pelanggaran dan/atau kejahatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum”..[8]

Adapun mengenai jenis-jenis tindak pidana pemilu diatur dalam Bab II tentang Ketentuan Pidana Pemilu Pasal 488 s.d. Pasal 554 UU 7/2017 tentang Pemilu, beberapa di antaranya yaitu:[9]

  1. Memberikan keterangan tidak benar dalam pengisian data diri daftar pemilih; Pasal 488 : “Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain terutang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar Pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta.”
  2. Kepala desa yang melakukan tindakan menguntungkan atau merugikan perserta pemilu; Pasal 490 : “Setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta.”
  3. Orang yang mengacaukan, menghalangi atau mengganggu jalannya kampanye pemilu; Pasal 491: “Setiap orang yang mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya Kampanye Pemilu dipidanadengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta”
  4. Orang yang melakukan kampanye pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan KPU; Pasal 492 : “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Kampanye Pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (“KPU”), KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk setiap Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta”.
  5. Pelaksana kampanye pemilu yang melakukan pelanggaran larangan kampanye;Pasal 493 : “Setiap pelaksana dan/atau tim Kampanye Pemilu yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta”.
  6. Memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye pemilu; Pasal 496 : “Peserta Pemilu yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 334 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3) serta Pasal 335 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta”. Selain itu pasal Pasal 497, menyatakan bahwa: “Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta”.
  7. Menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya; Pasal 510 : “Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta”.
  8. Menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang ditentukan;Pasal 514 : “Ketua KPU yang dengan sengaja menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 240 juta.
  9. Memberikan suaranya lebih dari satu kali. Pasal 516 : “Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu Tempat Pemungutan Suara (“TPS”)/Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri (“TPSLN”) atau lebih, dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling banyak Rp 18 juta.

Dengan demikian perbuatan-perbuatan yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana pemilu diatur dalam Pasal 488 s.d. Pasal 554 UU 7/2017, beberapa di antaranya adalah sebagaimana disebutkan di atas seperti pelaksana kampanye pemilu yang melakukan pelanggaran larangan kampanye, melakukan kampanye di luar jadwal yang ditetapkan oleh KPU, memberikan keterangan yang tidak benar terkait daftar pemilih, dan lain-lain

Mengingat cukup banyak sekali jenis pelangaran yang dapat terjadi dalam penyelenggaraan pemilu, maka untuk lebih muda mempelajarinya, maka Dedi Mulyadi telah membagi tiga kategori jenis pelanggaran meliputi:[10]

  1. Pelanggaran administratif. Dalam UU pemilu yang dimaksud pelanggaran adminitratif adalah pelanggaran terhadap ketentuan UU Pemilu yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana pemilu dan ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU, dengan demikian maka semua jenis pelanggaran, kecuali yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana, termasuk dalam kategori pelanggaran administrasi. Misanya tidak memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu, menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk berkampanye, tidak melaporkan danaawal kampanye, pemantau pemilu melanggar kewajiban dan larangan.
  2. Tindak pidana pemilu, merupakan tindakan yang dalam Undang-undang Pemilu diancam dengan sanksi pidana. Sebagai contoh tindak pidana pemilu adalah sengaja menghilangkan hak pilih orang lain, menghalangi orang lain memberikan hak suara dan mengubah hasil suara.
  3. Perselisihan hasil pemilihan umum, adalah perselisihan  antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan jumlah perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Perselisihan tentang hasil suara sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan penghitungan  perolehan hasil  suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi peserta pemilu.

Dari berbagai kasus pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilu, berkaca pada pemilu yang telah dilaksanakan selama ini maka  modus operandi tindak pidana pemilu dapat dikemukakan sebagai berikut:[11] 

  1. Menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, modusnya melalui beberapa cara diantaranya:
  • Salah satu cara dengan sengaja tidak mendaftarkan dalam Daftar Pemilih Sementara (DPS), Daftar Pemilih Tetap (DPT), dan Daftar Pemilih Tambahan (DPTB), walau telah memenuhi syarat sebagi pemilih yaitu berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah pernah kawin, mempunyai hak untuk memilih tetapi karena tidak terdaftar atau tidak didaftarkan dengan motivasi tertentu sebagai hak pilih pada saat pendaftaran pemilih sehingga pada waktu pelaksanaan pemiluh nama orang tersebut tidak ada dalam daftar pemilih.
  • Dengan sengaja mencoret nama orang yang mempunyai hak pillih dengan alasan karena sudah meninggal atau sudah pindah alamat dan seterusnya padahal orangnya masih hidup dan ada ditempat domisilinya.
  • Dengan sengaja tidak menerbitkan Kartu Tanda Penduduk baru bagi para penduduk yang telah habis masa berlaku Kartu Tanda Penduduknya dengan berbagai alasan, sehingga mengakibatkan penduduk tetap yang tidak mempunyai KTP dianggap sebagai penduduk liardan tidak diberatkan hak pilihnya.
  • Dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih (DPS, DPT, DPTB).
  • Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan Umum tersebut.
  1. Pemalsuan dokumen/ surat dan menggunakan dokumen/ surat palsu modusnya melalui beberapa cara diantaranya sebagi berikut:
  • Dengan sengaja membuat surat atau dokumen dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang memakai surat atau dokumen tersebut khususnya dalam pendaftaran sebagai syarat administrasi bakal calon anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD) juga dipergunakan sebagai dasar untuk mendapatkan hak pilih dari rakyat dalam pemilihan umum legislatif.
  • Khususnya bagi pemilihan anggota DPD melalui modus pengumpulan foto copy KTP dalam pembagian sembako, sembako murah atau pembagian beras Raskin baik yang dilakukan oleh tim suksesnya langsung maupun yang dilakukan oleh RT maupun RW setempat.
  • Bahkan  dibeberapa daerah maka foto copy sebagai syarat bukti dukungan terhadap calon anggota DPD diambil dari koperasi-koperasi yang seluruh anggota tidak tahu bahwa KTP-nya dijadikan sebagai syarat dukungan pencalonan anggota DPD.
  1. Politik uang (moneypolitic) yang dilakukan oleh peserta pemilu anggota legislatif, dengan modus-modus sebagai berikut:  Dengan sengaja menjanjikan atau memberikan  uang atau materi  lainnya untuk memperolah dukungan bagi pencalonan pemilu legislatif, biasanya dengan cara membagi-bagikan sembako, uang dan barang pada saat kampanye, hari tenang, menjelang pencotrengan/ pencoblosan (serangan fajar) kepada penduduk yang dsertai dengan  permintaan untuk mendukungnya pada pelaksanaan Pemilihan Umum.

      a. Peserta pemilu mendapatkan sumbangan dana dari pihak ketiga dengan modus sipemberi sumbangan disamakan alamatnya dan perusahaannya, bahkan ada                perusahaan yang fiktif dan alamat yang fiktif sehingga sangat susah untuk dilacak keakuratannya.

      b. Dengan sengaja  memobilisasi penduduk dari tempat tinggalnya menuju keTempat Pemungutan Suara khususnya kalau tempat tinggal dengan Tempat                          Pemungutan Suara berjauhan maka diperlukan tumpangan kendaraan, para calon anggota legislatif baik secara langsung maupun melalui tim suksesnya                      yang ada di daerah mencoba memanfaatkan kondisi ini dengan memberi tumpangan gratis kepada pemilih dengan maksud ingin mendapatkan simpati dan                  dukungan dari para pemilih.

      c. Dengan memanfaatkan para tokoh masyarakat baik agama, budaya,  dengan iming-iming atau memberikan janji akan mendapatkan imbalan berupa proyek,                bantuan (sarana dan prasarana), bahkan jabatan tertentu agar mendapatkan dukungan  dari masyarakat padasaat pencoblosan suara dalam pemilu legislatif.

      d. dengan sengaja membagi-bagikan uang pada saat menjelang pemungutan suara dengan dalil sebagai pengganti  penghasilan yang seharusnya di dapat jika                  pada hari itu pemilih bekerja ditempat lain, dengan maksud untuk mendapatkan dukungan dari para pemilih dalam pelaksanaan pencoblosan tersebut.

      e. dengan sengaja membagi-bagikan kepada para pemilih  berupa barang: korek api, semen, cat, kalender dan lain-lain yang bertuliskan pilihan yang harus                      diambil oleh penerima barang tersebut dengan tujuan ingin mendapatkan dukungan pada saat Pemilihan Umum tersebut.

  1. Pelanggaran kampanye, kampanye terselubung, kampanye di luar jadwal dengan modus sebagai berikut:
  • Dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal waktu yang ditentukan oleh KPU, KPU Provisni, KPU Kabupaten/ Kota misalnya pada masa tenang masih dilaksanakan kampanye baik secara terang-terangan  atau terbuka maupun secara terselubung misalnya melalui cara pengajian, diskusi dan pertemuan-pertemuan yang isinya adalah kampanye.
  • Pemasangan atau  penyebaran bahan  kampanye kepada umum pada saat masa tenang bisanya dilakukan setelah Panwas melakukan upaya pembersihan  seluruh atribut kampanye pada masa tenang, maka para tim kampanye menyebarkan atribut kampanye kembali dengan maksud agar pada saat pelaksanaan pemilihan atribut kampanye mampu mengingatkan kembali masyarakat akan pilihan khususnya calon yang diusungnya.
  • Pertemuan tatap muka pada masa sebelum masa kampanye baik setelah masa kampanye biasanya banyak dilaksanakan  dengan argumentasi konsolidasi baik hanya pertemuan biasa dalam artian silaturrahmi yang ada di dalam materinya disisipkan kamapanye terselubung.
  • Pelanggaran kampanye yang dapat terjadi salah satunya berupa pelanggaran lalu lintas misalnya peserta kampanye tidak memakai helm pada saat berkonvoi (beramai-ramai) menuju tempat kampanye atau pulang dari tempat kamapnye baik kampanye terbuka maupun kampanye tertutup.
  • Pelanggaran rute kampanye yang dilakukan oleh peseta kampanye pada saat pelaksanaan kampanye baik pada saat berangkat, maupun pulang kampanye dengan tidak mengindahkan rute jalan  yang telah ditetapkan oleh KPU sehingga pada`akhirnya  mengganggu ketertiban, dapat mengakibatkan pelanggaran lalu lintas bahkan yang paling fatal bertemunya dua peserta kampanye yang berbeda sehingga berpotensi mengakibatkan bentrokan antara peserta kampanye.

Pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu diantaranya anggota KPUD pada saat penghitungan suara di KPUD, dengan modus diantaranya dalam penghitungan suara akhir di KPUD potensi untuk melakukan kecurangan atau keberpihakan kepada salah satu peserta pemilu menjadi tren yang marak terjadi.

Misalnya pada saat penghitungan suara di tingkat KPUD maka dari sekian banyak partaiyang mendapatkan suara ada partai-partai kecil  yang tidak ada calegnya tetapi mendapatkan suara atau dengan bahasa lain suara tak bertuan, maka suara tak bertuan ini menjadi potensi disalahgunakan oleh anggota KPUD dengan modus dijual kepada calon yang perolehan suaranya kurang.

Dalam perkara ini agak sulit  untuk ditemukan mengingat tidak ada yang dirugikan dari para kontestan atau calon anggota legislatif karena suara yang dijual oleh anggota KPU merupakan suara tak bertuan, disamping itu perhatian orang akan tertumpu pada jumlah suaranya masing-masing atau dukungannya tersebut mengingat para calon yang lain tidak merasa dirugikan karena suaranya tetap.

Pelanggaran yang dilakukan oleh para pejabat Negara yang harusnya netral atau tidak berpihak, dengan modus sebagai berikut:

  1. Pejabat Negara tertentu turut mengatur dan memfasilitasi pertemuan antara masyarakat dengan peserta kampanye atau tim kampanye dengan maksud agar masyarakat melihat keberadaan pejabat tersebut dapat mempengaruhi pilihan masyarakat.
  2. Peserta pemilu yang merupakan mantan pejabat mempunyai potensi untuk mempergunakan fasilitas Negara, misalnya dalam berkampanye mempergunakan mobil dinas atau fasilitas Negara lainnya yang mengakibatkan kerugian terhadap Negara dengan berpotensi pada kecemburuan dari peserta pemilu yang lain.
  3. Pejabat Negara secara langsung atau tidak langsung memperkenalkan peserta pemilu tertentu kepada masyarakat atau khalayak umum dengan harapan agar masyarakat terpengaruh dalam menentukan pilihannya.

Diantara sekian masalah yang menyulut kepermukaan menjadi bahagian dari pelanggaran tindak pidana pemilu, paling tinggi kasus pelanggaran tindak pidana pemilu, biasanya terjadi pada saat penyelenggaraan kampanye pemilu oleh anggota legislatif. Pada tahap ini karena melibatkan bukan hanya calon anggota legislatif namun melibatkan juga peserta kampanye sehingga tindak pidana kekerasan terhadap peserta kampanye lain seringkali terjadi.

Terkait dengan tindak pidana pemilu ini, Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1/2018 mengatur bahwa pengadilan negeri dan pengadilan tinggi berwenang memeriksa, mengadili dan memutus:

(1).       Tindak pidana pemilihan yang timbul karena laporan dugaan tindak pidana pemilihan yang diteruskan oleh Badan Pengawas Pemilu (“Bawaslu”), Bawaslu Provinsi, Panitia Pengawas (“Panwas”) Kabupaten/Kota kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia paling lama 1 x 24 jam (satu kali dua puluh empat jam), sejak Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota dan/atau Panitia Pengawas Pemilu (“Panwaslu”) Kecamatan menyatakan bahwa perbuatan atau tindakan yang diduga merupakan tindak pidana pemilihan;

(2).       Tindak pidana pemilu yang timbul karena laporan dugaan tindak pidana pemilu yang diteruskan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota dan/atau Panwaslu Kecamatan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia paling lama 1 x 24 jam (satu kali dua puluh empat jam), sejak Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota dan/atau Panwaslu Kecamatan menyatakan bahwa perbuatan atau tindakan yang diduga merupakan tindak pidana pemilu.

Pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana Pemilu menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam UU 7/2017.[12]

Dalam hal putusan pengadilan negeri diajukan banding, permohonan banding diajukan paling lama 3 (tiga) hari setelah putusan dibacakan. Pengadilan tinggi memeriksa dan memutus perkara banding paling lama 7 (tujuh) hari setelah permohonan banding diterima. Putusan pengadilan tinggi yang memeriksa dan memutus perkara banding dalam tindak pidana pemilu merupakan putusan terakhir dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.[13]

Terkait dengan Kewenangan Mahkamah Konstitusi, dinyatakan dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar tentang Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) dan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi kemudian diubah lagi dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang (“UU MK”)

Didalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 mengatur mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi (“MK”), yakni berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

  • pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  • sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  • pembubaran partai politik;
  • perselisihan tentang hasil pemilihan umum;

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).[14]

Selain itu, MK juga wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.[15]

Dari penjelasan tersebut dapat kita lihat bahwa terkait dengan pemilu, memang benar MK hanya berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk perkara perselisihan tentang hasil Pemilu.

Dengan demikian jelas kiranya bahwa dalam proses penegakan hukum Pemilu yang meliputi berbagai aspek hukum yaitu tata Negara, administrasi Negara, pidana dan  perdata menyebabkan penanganannyapun melibatkan beberapa lembaga peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Peradilan umum.

Hal ini menyebabkan dapat terjadi putusan satu lembaga peradilan bertentangan dengan putusan lembaga peradilan lain atau dapat terjadi juga putusan suatu lembaga peradilan  misalnya putusan MK tentang penggelembungan suara yang melibatkan penyelenggara Pemilu yang jelas juga merupakan tindak pidana pemilu tidak terproses secara pidana.

Dari gambaran tersebut memperlihatkan  betapa rumitnya penegakan hukum dalam proses pemilu. Dilain sisi lembaga pengawas Pemilu yaitu Bawaslu dan jajarannya tidak lebih dari tukang pos yang tugasnya dalam penegakan hukum pemilu  meneruskan kasus yang mengandung unsur pidana ke polisi dan pelanggaran administrasi ke KPU. Hal ini menambah rumit penegakan hukum dalam Pemilu.

3. MENGURAI PERSOALAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMILU BERDASARKAN TEORI SISTEM HUKUM LAWRENCE M. FRIEDMAN

Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum. Sistem hukum yang hendak dibangun harus mampu menyediakan landasan dan menjadi petunjuk dalam mengawal dan mengarahkan perubahan menuju masyarakat yang dicita-citakan. Sistem hukum sesungguhnya dibangun oleh tiga komponen, yaitu :struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukurn (legal culture). [16]

Ketiga komponen sistem hukum tersebut diatas sesungguhnya bersifat komplementer dan berada dalam suatu hubungan fungsional. Untuk menegakkan supremasi hukum, ketiga komponen sistem hukum tersebut harus dikembangkan secara simultan dan integral. Menurut Friedman, pertama-tama sistem hukum mempunyai struktur, sistem hukum terus berubah, namun bagian-bagian sistem hukum itu berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya. Artinya terdapat pola jangka panjang yang berkesinambungan yaitu aspek sistem yang berada di sini kemarin atau bahkan pada abad yang terakhir, akan berada di situ dalam jangka panjang. Inilah yang disebut struktur sistem hukum.

3.1. Struktur Hukum

Struktur dalam  sistem hukum adalah kerangka, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Menurut Soerjono Soekanto [17]dikatakan bahwa konponen ini menunjuk adanya kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum. Lembaga ini antara lain adalah Lembaga Kepolisian, Lembaga Kejaksaan, Lembaga Pengadilan dan Lembaga Kepengacaraan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa komponen yang bersifat struktural ini memungkinkan masyarakat untuk mengharapkan bagaimana suatu system hukum itu seharusnya bekerja.

Dalam konteks Pemilu struktur adalah aparat penegak hukum ditambahkan Bawaslu dan Panwaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota. Struktur hukum dalarn penegakan hukum tindak pidana Pemilu bisa dikatakan tidak pernah dalam kondisi optimal. Hal ini dikarenakan dalam proses penegakan hukum tindak pidana Pemilu menambahkan Pengawas Pemilu sebagai pintu gerbang proses penanganan pelanggaran pemilu seperti tercantum dalam Undang-Undang Penyelenggara Pemilu. Selanjutnya proses penegakan hukumnya sama seperti pada kasus pidana lainnya, hanya ada batasan waktu yang sangat ketat.

Berdasarkan Teori Lawrence M. Friedman tentang sistem hukum, khususnya tentang sub sistem struktur Pemilu serentak di Indonesia dapat ditarik beberapa hal terkait dengan permasalahan pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana pemilu ,antara lain:

a. Keterlambatan Pembentukan Struktur Pengawas Pemilu

Banyak dugaan pelanggaran pidana pemilu serentak di Indonesia tidak tertangani dengan baik, baik pada tingkat kabupaten/kota atau provinsi. Dari hasil pengamatan sejauh ini tidak ada pelanggaran tindak pidana Pemilu pada tahapan Pemutakhiran data pemilih. Hal ini bisa jadi disebabkan karena pada tahapan pemutakhiran data pemilih, struktur lembaga Pengawas Pemilu di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota belum terbentuk.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini terjadi yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan hal-hal yang menghambat proses penegakan hukum dugaan tindak pidana Pemilu dijajaran penyelenggara Pemilu. Dalam hal ini yaitu Lembaga Pengawas Pemilu.

Kalau kita telusuri sejarahnya, tonggak sejarah pelaksanaan Pemilu pertama kali di tahun 1955, dimana saat itu sama sekali belum mengenal adanya Lembaga Pengawas Pemilu. Keberadaan Lembaga ini baru ada pada Pemilu di tahun 1982, yang dilatari oleh protes yang dilakukan oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) atas banyaknya pelanggaran dan manipulasi/kecurangan yang dilakukan oleh para petugas Pemilu di tahun 1971 dan 1977 yang terjadi secara masif.

Protes ini akhirnya direspon oleh Pemerintah dan DPR yang pada kala itu didominasi Partai Golkar dan ABRI, yang melahirkan gagasan untuk meningkatkan kualitas Pemilu di tahun 1982 dengan memperbaiki Undang-undang. Pemerintah setuju untuk menempatkan wakil peserta Pemilu kedalam kepanitiaan Pemilu, selanjutnya Pemerintah mengintroduksi adanya Lembaga baru yang akan terlibat dalam urusan Pemilu mendampingi Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Lembaga atau Badan baru ini bernama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum ( Panwaslak Pemilu) yang bertugas mengawasi pelaksanaan Pemilu.

Selanjutnya pada era reformasi tuntutan pembentukan lembaga penyelenggara Pemilu yang Mandiri dan Independen semakin menguat, maka dengan itu dibentuklah Komisi Pemilihan umum (KPU) sesuai dengan amanat UUD 1945, untuk meminimalisasi campur tangan "Penguasa" dalam pelaksanaan Pemilu.

Sedangkan untuk  Lembaga Pengawas Pemilu juga berubah dari Panwaslak Pemilu menjadi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), hal yang mendasar terkait dengan Lembaga pengawas Pemilu dilakukan melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 yang dimana dalam pengawasan Pemilu dibentuk lembaga Adhoc  terlepas dari Struktur KPU, mulai lembaga pengawas tingkat pusat hingga tingkat Kecamatan.

Kemudian Lembaga pengawas Pemilu ini dikuatkan melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu dengan dibentuknya lembaga tetap yang dinamakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan setelah melalui proses Judical Review di Mahkamah Konstitusi  yang dilakukan oleh Bawaslu terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 dimana putusan akhir menetapkan rekrutmen pengawas Pemilu sepenuhnya menjadi kewenangan Bawaslu untuk mengawasi pelaksanaan tahapan penyelenggaraan Pemilu, menerima Pengaduan, menangani kasus-kasus pelanggaran Administrasi, pidana Pemilu , dan pelanggaran kode etik.

Selanjutnya dengan terbitnya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, secara kelembagaan pengawas Pemilu kembali dikuatkan dengan dibentuknya lembaga tetap pengawas Pemilu di tingkat Provinsi dengan nama Bawaslu Provinsi, selain itu juga adanya penguatan dukungan unit kesekretariatan ditambah dengan kewenangan untuk menangani Sengketa Pemilu.

Adapun struktur Lembaga Pengawas Pemilu terdiri dari Bawaslu Pusat, dan Bawaslu Provinsi bersifat tetap. Sedangkan dari tingkat Kabupaten/kota sampai dengan tingkat kelurahan bersifat ad-hoc. Problematika terjadi manakala pembentukan Pengawas Pemilu di tingkat kabupaten/kota ke bawah yang selalu terlambat dari pemilu ke pemilu.

Tahapan Pemilu sudah berjalan beberapa tahapan sedangkan Lembaga Pengawas Pemilu di tingkat kabupat/ Kota ke bawah belum terbentuk. Padahal Lembaga pengawas Pemilu merupakan pintu masuk pertama proses penegakan hukum dugaan tindak pidana Pemilu.

b. Pembentukan Struktur Pengawas Pemilu di Tingkat Kabupaten/Kota bersifat Ad-Hoc

Di seluruh Indonesia saat ini ada 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota atau tepatnya 413 kabupaten dan 98 kota. Dari 514 kabupaten/ kota Pengawas Pemilunya dari Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota sampai dengan Pengawas Pemilu Lapangan di tingkat kelurahan bersifat Ad-Hoc.

Seperti dibahas diatas bahwa Pengawas Pemilu di tingkat kabupaten/ kota dibentuk terlambat dari ketentuan undang-undang yaitu,Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, Pengawas Pemilu Luar Negeri dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahapan pertama penyelenggaraan Pemilu dimulai dan berakhir paling lambat 2 (dua) bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu selesai.

Beban tanggung jawab pengawasan tersebut akan ditanggung oleh Panwaslu Daerah setempat, yang notabene terbentuk secara ad hoc dan bisa juga dikatakan belum mempunyai jam terbang yang cukup. Padahal pada saat yang sama Panwaslu Kabupaten/ Kota harus  melakukan:

  1. Tugas pengawasan tahapan Pemilu
  2. Membentuk struktur Pengawas Pemilu dibawahnya
  3. Membentuk jajaran Sekretariat
  4. Membentuk Kantor Sekretariat
  5. Membangun kerjasama dengan instansi terkait

Banyaknya beban tugas dan tanggung jawab yang harus dilakukan menyebabkan tidak efektifnya tugas pegawasan dan penegakan dugaan tindak pidana Pemilu. Hal ini dapat dilihat dari data-data dugaan pelanggaran tindak pidana Pemilu yang bisa dikatakan cukup minim.

c. Belum optimalnya Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu)

Tujuan dibentuknya Sentra Gakkumdu adalah untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilu yaitu antara Bawaslu, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Akan tetapi dalam prakteknya di sebagian besar Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota Sentra Penegakan Hukum Terpadu belum berjalan secara optimal sebagaimana diharapkan.

Terkait dengan hal ini sebenarnya disadari betul tentang adanya adagium hukum “Noich suchen die juristen ein definition zu ihrem beghrif von recht” yang jika kita belajar filsafat bahwa yang namanya penyatuan argumen bagi kaum terdidik adalah pembangkangan terhadap intelektualitas itu sendiri, karena bagi kaum terdidik meskipun kefahaman tentang suatu persoalan sama, tetapi argumen kesamaan itu pasti variatif itu kata Descartes sang filsuf yang terkenal dengan “cogito ergo sum”.[18]

Tapi tentunya hal  ini menjadi tantangan tersendiri setidaknya dalam konteks penegakkan hukum pemilu, unsure sentra gakkumdu (Bawaslu, jaksa dan Polisi) dapat bertemu pada satu titik yaitu kesamaan visi penegakkan hukum pemilu itu sendiri meskipun satu tidak mesti mengikut yang lain dan meskipun dalam bingkai argumentasi hukum yang variatif.

Muncul pertanyaan “mengapa subjek?” sementara sementara masing-masing mewakili lembaga, jawabannya adalah karena bukan lembaga yang berdebat tetapi subjek dan jika mainset lembaga yang diwakili oleh subjek atau individu itu telah “punya kesimpulan” dari awal sebelum pembahasan maka dalil atau argument hukum apapun untuk meyakinkan dan menemukan kesefahaman adalah sebuat kenisbian mekipun tak mustahil dan faktanya itulah yang sering menjadi kendala dalam pembahasan Tim sentra Gakkumdu disemua level.

Sebagai contoh perdebatan dalam sentra gakkumdu misalnya terkait dengan “kualitas alat bukti” (Instrumenta delicti), varian ini sungguh sangat subjektif masing-masing lembaga penegakan hukum pemilu tersebut karena berangkat dari standart penilian yang berbeda dan regulasi hukum pemilu itu sendiri yang melepas bebas penafsiran tentang kualitas alat bukti tersebut.

Beberapa hal yang menjadi penyebab belum efektifnya Sentra Penegakan Hukum Terpadu antara lain :

  1. Perbedaan persepsi tentang wewenang dan tanggung jawab antara Pengawas Pemilu, Kepolisian, dan Kejaksaan.
  2. Belum adanya mekanisme penyelesaian pelanggaran dugaan tindak pidana Pemilu yang efektif.
  3. Kurangnya pemahaman dari sisi aparat penegak hukumnya.
  4. Kurang seriusnya aparat penegak hukum karena adanya alasan politik
  5. Ketidaksinkronan pengaturan dalam regulasi khususnya mengenai mekanisme dan prosedur penegakan hukum.

d. Kurang Profesionalnya Aparat Penegak Hukum

Tidak terpenuhinya syarat formil dan materiil suatu laporan tindak pidana Pemilu, yang mengakibatkan Pengawas Permilu kesulitan untuk menindaklanjuti suatu 1aporan.Mengenai syarat materiil salah satunya mencari saksi-saksi, hal itu sangat sulit dilakukan oleh pengawas Pemilu karena pengawas Pemilu tidak memiliki upaya paksa tuntuk memanggil saksi-saksi sehingga hasil kajiannya terkadang tidak lengkap.

Sedangkan untuk tahapan proses selanjutnya yakni tahapan penyidikan oleh kepolisian, kepolisian meminta data berkas perkara dari pengawas Pemilu harus lengkap, padahal wewenang Pengawas Pemilu sangat terbatas. Dalam hal ini Pengawas Pemilu sebagai pintu pembuka proses penegakan hukum tindak pelanggaran Pemilu, selanjutnya memilah menjadi 3 jenis pelanggaran yaitu pelanggaran pidana, pelanggaran administrasi, dan pelanggaran kode etik. Selanjutnya cukup meneruskan kepada instansi yang berwenang dengan bukti permulaan yang cukup.

Semestinya pemahaman seperti itu sudah cukup, tetapi sering hal tersebut diperumit dengan saling lempar batasan wewenang antara Pengawas Pemilu dengan pihak kepolisian dan kejaksaan. Hal ini  menimbulkan dugaan apakah ada konflik kepentingan dalam proses ini , atau adanya ketidaksiapan aparat penegak hukum dikarenakan kapasitas dan kapabilitas.

e. Lemahnya Pemahaman Hakim Terhadap Tindak Pidana Pemilu

Secara umum delik pidana dalam hukum Pemilu berbeda dengan hukum acara pidana (KUHAP). Sebab, masih terdapat potensi masalah pada penegakan hukum atas tindak pidana Pemilu yaitu berkaitan dengan adanya masa daluarsa, sifat hukuman kumulatif dan tidak adanya hukuman minimal. Dalam hal ini hakim sebagai ujung tombak yang  menangani tindak pidana Pemilu menjadi sangat penting peranannya.

Namun sejauh ini  para hakim disinyalir tidak terlalu paham dengan materi terkait pidana Pemilu dan peraturan perundang-undangan terbaru. Sehingga terjadi inkonsistensi putusan perkara Pemilu dimana ada kasus serupa, tapi putusannya berbeda.

Sebenarnya lemahnya pemahaman hakim pada penegakan hukum pemilu tidak saja terkait dengan unsur pidana saja tetapi juga pada  proses penanganan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) legislatif 2019 di MK beberapa waktu yang lalu. Dimana hal itu menunjukkan  contoh paling nyata bobroknya penegakan hukum Pemilu. Untuk menghindasri subtyektifitas, hal ini bisa dikonfirmasi ke sulurh Tim Advokasi Partai Politik yang mengikuti proses tersebut.

Berbagai kesalahan manajemen dan administrasi mendasar terjadi dan mengakibatkan hilangnya hak masyarakat untuk mencari keadilan. Ada perkara yang sudah dicabut oleh Pemohon tetapi masih dilanjutkan pemeriksaannya, ada perkara yang dihadiri oleh Pemohon dan kuasa hukumnya tetapi ditolak karena MK menganggap baik Pemohon maupun kuasa hukumnya tidak hadir, Yang paling banyak adalah inbkonsistensi sikap MK terhadap beberapa perkara yang konstruksi hukumnya sama. Persoalannya bukan hanya soal Hakim Konstitusi, tetapi lebih kepada institusi Mahkamah Konstitusi yang tidak mampu mengorganisir administrasi perkara yang begitu banyak .

3.2 Substansi Hukum

Substansi dalam sistem hukum diartikan sebagai aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalarn sistem itu. Substansi diartikan pula sebagai produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu, termasuk keputusan yang mereka keluarkan maupun yang akan disusun. Dalam unsur kedua ini, Friedman menekankan pada hukum yang hidup (living law) bukan hanya dalarn hukum tertulis (law books)."

Dalam konteks Pemilu yang termasuk dalam sub substansi adalah Pancasila, UUD 1945, perangkat Undang-Undang yang berkaitan dengan Pemilu yaitu Undang-Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang Pemilu Legislatif, Undang-Undang Penyelenggara Pemilu, Undang-Undang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Partai Politik, serta peraturan lainnya yang terkait dengan soal Pemilu.

Substansi hukum dapat dikatakan sebagai salah satu faktor yang memberikm kontribusi terhdap banyaknya kasus tindak pidana pemilu. Banyak kasus tindak pidana Pemilu  terjadi karena lemahnya sub sistem hukum substansi. Lemahnya sub sistem hukum substansi bisa karena disengaja ataupun tidak disengaja. Sub sistem hukum substansi lemah karena sengaja dilemahkan untuk kepentingan politik tertentu.

Cara sederhana, menjadikan norma hukum yang tidak jelas atau kabur. Substansi hukum yang tidak jelas bukan hanya mudah untuk melakukan tindak pidana Pemilu, tetapi juga memberikan kesempatan yang luas untuk aparat penegak hukum untuk mempermainkan atau merekayasanya sesuai dengan kepentingannya masing-masing.

Bagi penegak hukum yang bekerja demi kepentingan penegakan hukum, aturan yang tidak jelas dapat digunakan untuk menjerat pelaku tindak pidana Pemilu yang memanfaatkan aturan hukum yang tidak jelas itu. Sementara bagi penegak hukum yang ingin meraih keuntungan finansial, substansi hukum yang demikian akan diperdagangkan dengan mereka yang tersangkut kasus tindak pidana Pemilu.

Substansi hukum (legal substance) dapat dikatakan sebagai salah satu faktor yang memberi kontribusi besar terhadap banyaknya tindak pidana Pemilu  di Indonesia. Hal itu terjadi karena substansi hukum direkayasa untuk memudahkan melakukan tindak pidana Pemilu. Tidak hanya itu, substansi hukum juga dirancang sedemikian rupa sehingga memudahkan mereka yang tersangkut dugaan tindak pidana pemilu untuk mengelak dari jerat hukum. Modusnya cukup sederhana yaitu dengan membuat norma hukum yang tidak jelas atau kabur, sebagai contohnya soal difinisi kampanye yang harus terpenuhi unsus-unsurnya secara kumulatif.

Dari penjelasan itu, dapat disimpulkan banyaknya tindak pidana pemilu terjadi karena salah satunya disebabkan oleh kelemahan sub sistem hukum substansi. Kelemahan itu dimanfaatkan secara bersama-sama oleh pelaku tindak pidana Pemilu  dan penegak hukum untuk membangun relasi simbiosis mutualisme. Karena itu, amat jarang pelaku tindak pidana Pemilu  terungkap untuk di proses penegakan hukurnnya dan dijatuhi pidana secara optimal dan maksimal.

Beberapa masalah yang berkaitan dengan substansi hukum dalam rangka penegakan hukum terhadap dugaan pelanggaran pidana Pemilu antara lain:

a. Batasan Waktu Bagi Panwaslu dan Aparat Penegak Hukum Dalam Melakukan Penanganan Tindaklanjut Pelanggaran

Didalam penanganan Tindak Pidana Pemilu ada ketentuan yang sangat rigit tentang waktu penanganan pelanggaran dugaan tindak pidana Pernilu. Pada tahap proses penanganan dugaan pidana Pemilu di Pengawas Pemilu paling larnbat 7 (tujuh) hari sejak diketahui  atau ditemukannya pelanggaran Pemilu. Selanjutnya Pengawas Pemilu jajarannya memiliki waktu selama 3 (tiga) hari untuk melakukan kajian atas laporan atau temuan terjadinya pelanggaran.

Pada prakteknya batasan waktu ini menghambat proses penegakan hukum dugaan tindak Pidana Pemilu karena kurangnya waktu. Pada pemilu serentak 2019 yang lalu Badan Pengawas Pemilu ( Bawaslu) menemukan lebih dari 7.000 kasus dan laporan pelanggaran sepanjang masa Pemilu 2019. Total pelanggaran tersebut diterima Bawaslu hingga 1 April 2019 lalu.

Anggota Bawaslu RI Ratna Dewi Pettalolo mengatakan bahwa dari total tersebut, sebanyak 548 temuan merupakan pelanggaran pidana Pemilu. "Dari 548 pelanggaran pidana yang ditangani Bawaslu, 66 sudah sampai pada pemeriksaan di pengadilan dan sudah ada putusan inkracht," kata Dewi saat dihubungi Kompas.com, Selasa (9/4/2019.[19]

Tidak semua kasus pelanggaran Pemilu bisa diteruskan oleh Pengawas Pemilu dengan alasan tidak memenuhi syarat formal dan syarat material untuk dilanjutkan ke tahap selanjutnya diantaranya masalah limit waktu penyelesaiannya yang sangat singkat yakni hanya dalam hitungan hari.

Waktu yang amat terbatas ini mengharuskan Tim Advokasi selalu siaga dalam mencari informasi terjadinya pelanggaran, mengumpulkan bukti-bukti dan saksi – saksi, membuat laporan dan mengawal laporan tersebut. Pengalaman Pilgub DKI Jakarta, ACTA bahkan sengaja menyewa sekretariat khusus  di dekat gedung Bawaslu DKI Jakarta di Kawasan Tianjung Priok dan menempatkan sejumlah advokat untuk piket bergiliran disana dan siap kapan saja membuat laporan ke Bawaslu begitu ada info terjadinya pelanggaran.

b. Lemahnya Ketentuan Peraturan Perundang-undangan tentang Money Politik

Money politic (politik uang) merupakan uang maupun barang yang diberikan untuk menyoggok atau memengaruhi keputusan masyarakat agar memilih partai atau perorangan tersebut dalam pemilu, padahal praktekmoney politic merupakan praktek yang sangat bertentangan dengan nilai demokrasi.Lemahnya Undang-Undang dalam memberikan sanksi tegas terhadap pelaku money politic membuat praktek money politic ini menjamur luas di masyarakat.

Maraknya praktek money politic ini disebabkan pula karena lemahnya Undang-Undang dalam mengantisipasi terjadinya praktek tersebut. Padahal praktek money politic ini telah hadir dari zaman orde baru tetapi sampai saat ini masih banyak hambatan untuk menciptakan sistem pemilu yang benar-benar anti money politic.

Praktek money politic ini sungguh misterius karena sulitnya mencari data untuk membuktikan sumber praktek tersebut,namun ironisnya praktek money politic ini sudah menjadi kebiasaan dan rahasia umum di masyarakat. Real-nya Sistem demokrasi pemilu di Indonesia masih harus banyak perbaikan, jauh berbeda dibandingkan sistem pemilu demokrasi di Amerika yang sudah matang.

Hambatan terbesar dalam pelaksanaan pemilu demokrasi di Indonesia yaitu masih tertanamnya budaya paternalistik di kalangan elit politik. Elit-elit politik tersebut menggunakan kekuasaan dan uang untuk melakukan pembodohan dan kebohongan terhadap masyarakat dalam mencapai kemenangan politik.

Undang-Undang (UU) Pemilu yang berlaku sekarang dinilai masih memiliki kelemahan dalam menjerat perilaku money politics bila dibandingkan dengan UU Pilkada.Aturan pilkada 2018 menyebutkan bahwa pemberi dan penerima bila terbukti melakukan money politics dikenakan sanksi pidana. Biaya transpor peserta kampanye pun harus dalam bentuk voucer tidak boleh dalam bentuk uang.

Hal itu berbeda dari UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam UU Pemilu tersebut, untuk kasus money politics, Pasal 284 menyebutkan, "Dalam hal terbukti pelaksana dan tim kampanye pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung atau tidak langsung untuk tidak menggunakan hak pilihnya,"

“Menggunakan hak pilihnya dengan memilih peserta pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, memilih Pasangan Calon tertentu, memilih Partai Politik Peserta pemilu tertentu dan/atau memilih calon anggota DPD tertentu, sesuai dengan Pasal 286 hanya dijatuhkan sanksi administrasi."

Di samping itu, UU Pemilu ini membolehkan pemberian biaya uang makan/minum, biaya uang/transport, biaya/uang pengadaan bahan kampanye kepada peserta kampanye pada pertemuan terbatas dan tatap muka peserta pemilu. Hal ini berdasarkan pada lampiran Pasal 286 UU Pemilu tidak termasuk pada kategori materi lainnya.

Ketentuan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017  terlihat sangat longgar mengatur tentang money politik baik terkait  soal waktu, tempat maupun materinya (locus,tempus dan materi). Hal ini dapat  dilihat dari 67 pasal ketentuan pasal pidan pemilu yang diatur dari pasal 488-554 pada Buku Kelima Bab I dan II, dimana ketentuan money politik bahkan dibuat “sedikit runyam” jika tidak bisa dikatakan sulit dinalar oleh logika hukum.

Misalnya adanya klaster perbuatan politik uang tersebut kedalam 3 (tiga) fase yaitu fase kampanye pemilu (yang subjek Hukumnya hanya peserta, penyelenggara dan Tim kampanye), fase masa tenang (yang juga subjek Hukumnya hanya peserta, penyelenggara dan Tim kampanye yang terdaftar di KPU) serta hari ‘H’ pemungutan Suara (yang subjek hukumnya baru rigit mengatur siapa saja atau setiap orang).

Pembagian tiga fase tersebut terlihat sangat timpang jika ditilik dan disandingkan dengan UU pemilihan atau rezim UU pilkada, menghindarinya sangat mudah yaitu cukup dengan tidak “menyerang” di hari H agar terhindar dari penjeratan unsure “siapa saja”, pasca itu cukup perilaku politik uang dijalankan oleh orang yang sama sekali tidak terlibat dalam 3 kategori diatas (peserta, pelaksana atau Tim kampanye) dengan jurus seperti itu praktis money politik “susah untuk penjeratannya, kecuali terjadi dengan cara Tangkap tangan atau saling tangkap antar warga atau peserta, pelaksana dan/Tim kampanye; tetapi jurus ini sangat bergantung pada 2 variable yaitu sakit hati yang akut dari sesama peserta, pelaksana dan/Tim kampanye dan kemapanan intelektual masyarakat setempat tentang demokrasi yang IDEAL;

Selanjutnya, pada aturan bahan kampanye tercantum pada Peraturan KPU 23 Tahun 2018 Pasal 30, nilai setiap bahan kampanye apabila dikonversikan dalam bentuk uang nilainya paling tinggi Rp60.000. Padahal, ketika Pilkada 2018, nilai bahan kampanye apabila dikonversikan paling tinggi Rp25.000. Sejauh ini belum adanya peraturan yang jelas mengenai uang transport dan pengganti uang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini sangat berpotensi untuk melegalisasi politik uang.

c. Peraturan Tekhnis Yang Belum Tekhnis

Peraturan tekhnis adalah peraturan yang dibuat untuk menterjemahkan peraturan yang lebih tinggi yang pengaturannya biasanya masih bersifat umum untuk dijelaskan lebih tekhnis dalam pelaksanaan atau penerapan peraturan tersebut. Dalam konteks penegakan hukum pemilu peraturan tekhnis dari UU pemilu (pemilihan dan pemilihan Umum) diatur dengan peraturan Bawaslu atau disingkat PERBAWASLU.

Sementara untuk tekhnis pelaksanaan pemilu diatur dengan peraturan Komisi Pemilihan Umum atau disingkat PERKPU dan tekhnis penegakkan Kode etik diatur dengan Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (PerDKPP), namun pada bagian ini penuis khusus membahas tentang peraturan Badan pengawas pemilihan Umum atau PERBAWASLU.

Masalah ketiadaan peraturan tekhnis terutama terkait dengan  hukum acaranya, sebut saja pada mekanisme Peraturan Bawaslu No. 14 tahun 2017 tentang penanganan pelanggaran satu pintu (pidana, etik dan pelanggaran hukum lainnya) pasca pembahasan II (setelah penyerahan berkas perkara dan TSK). Misalnya pada ketentuan pasal 19 ayat 1 Perbawaslu aquo itu tidak rigit mengatur tentang batas waktu Jaksa Penuntut Umum untuk “segera” mengajukan berkas perkara dan Terdakwa tersebut ke Pengadilan.

Maknanya agar proses pidana pemilihan yang dilakukan oleh subjek hukum apalagi jika yang bersangkutan adalah paslon (pasangan calon Bupati Atau wakil bupati) segera berkepastian hukum. Hal ini dimaksudkan  agar jika memungkinkan akibat perbuatannya Bawaslu dan KPU yang punya kekuatan eksekutorial berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde) segera melaksanakan putusan tersebut (misalnya putusan dinyatakan bersalah melanggar ketentuan UU pemilihan. Konsekuensinya KPU dapat segera menindaklanjuti dengan mencoret atau membatalkan paslon tersebut.

Jika hal ini dilakukan bisa bermakna efek jera pada siapapun yang bermain-main dengan pelanggaran hukum pemilu). Namun  nyatanya prosesnya tidak diatur tegas (prosesnya lamban) maka bisa saja pengajuan ke pengadilan oleh Jaksa dan putusan pengadilan oleh majelis pemeriksa “menyesuaikan” pasca diketahuinya siapa pemenang kontestasi pemilihan tersebut.

Hal ini tentu bisa menimbulkan situasi hukum baru jika yang ditetapkan bersalah dan dihukum pidana penjara adalah pemenang pada pemilihan tersebut. Meskipun kita yakin eksekusi akan tetap bisa terjadi namun pada tahapan dikualifikasi terhadap pemenang tersebut kemungkinannya sangat kecil karena secara normative tidak diatur.

Pertama dalam peraturan bawaslu Nomor 9 tahun 2018 tentang sentra gakkumdu terlihat dalam pembahasan II dihadapan Tim Sentra gakkumdu Bawaslu harus sudah lengkap membuktikan tentang unsure-unsur pasal serta kualitas alat bukti layaknya pembuktian di meja pengadilan meskipun level penanganan dibawaslu judulnya masih setara penyelidikan di kepolisian yang salah satu kelemahnnya tidak punya upaya paksa;

Kedua tekhnis Penempatan Tim sentra Gakkumdu dalam satu atap sangat kondisional tergantung wilayah dan diskresi pimpinan masing-masing lembaga dalam sentra gakkumdu itu sendiri, memang ini tidak menjadi kendala dilapangan namun jika pada konteks kondisional tersebut membuat salah satu unsure Tim sentra Gakumdu bekerja One Man show dan menunggu hasil yang paripurna dipembahasan II tanpa dari awal bersama-sama maka kesempurnaan hasil Lidik yang non Pro Justitia tersebut hampir dipastikan mustahil, kecuali penyidik mau bebesar hati menerima berkas dalam pembahsan II tersebut kemudian mejadikannya pro justitia untuk dilengkapi kekurangannya dalam proses penyidikan;

Ketiga, peraturan tekhnis yang sedikit menambah kepercayaan diri Tim sentra gakkumdu mungkin diseluruh tanah air adalah lahirnya Perbawaslu 31 Tahun 2019 Tentang perubahan atas Perbawaslu 9 tahun 2018 tentang Sentra Gakkumdu hadir dimenit-menit injuri time tahapan pemilu yaitu efektif berlaku pada akhir maret dan awal april  dimana tahapannya menjelang masa tenang dan hari H.

Padahal jika peraturan itu hadir dari awal tahapan mungkin akan banyak pelaku pidana pemilu dapat yang dijerat dengan proses yang menggunakan hukum acara Perbawaslu 31 tahun 2019 tersebut, misalnya dalam pembahasan II pada perbawaslu a quo cukup menggunakan frasa terdapat dugaan pelanggaran Pidana maknanya adalah proses yang dilakukan diawal oleh Bawaslu Wajib diteruskan dalam lidik kepeolisian dengan segala kewenganannya (misalnya Upaya paksa) meskipun juga tidak berarti bahwa Bawaslu dapat secara serampangan mendorong kasus pada pembahasan II tanpa melibatkan Unsur Tim sentra Gakkumdu darui awal diterimanya laporan atau temuan dugaan Pelanggaran pidana Pemilihan Umum.

3.3 Budaya Hukum Masyarakat

Unsur ketiga dalam sistem hukum adalah budaya hukum, yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, meliputi kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapan. Dengan kata lain bagian dari budaya umum itulah yang menyangkut sistem hukum. Budaya hukum meliputi pula suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan.

Tanpa budaya hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya, Friedman mengibaratkan ini seperti ikan mati yang terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di laut. Setiap masyarakat, setiap negara, setiap komunitas mempunyai budaya hukum. Selalu ada sikap dan pendapat mengenai hukum. Tentu itu tidak berarti bahwa setiap orang dalam komunitas memberikan pemikiran yang sama. [20]

Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum. Cara lain menggambarkan tiga unsur hukum itu dengan mengibaratkan struktur hukum seperti mesin. Substansi adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu. Budaya hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu digunakan.[21]

Masyarakat Indonesia sendiri belum terlalu paham dan patuh dengan proses penegakan hukum yang ada. Pelaksanaan penegakan hukum terhadap tindak pidana Pemilu di Indonesia belum optimal dan adil. Ada keengganan masyarakat untuk melaporkan dugaan tindak pidana Pemilu di Indonesia. Masyarakat cenderung mentolerir dan mendiamkan saja terjadinya tindak pidana Pemilu  dengan alasan merasa enggan berurusan dengan proses hukum yang rumit dan panjang.

Dibeberapa daerah masyarakat menganggap tindak pidana Pemilu  bukan merupakan sebuah tindak pidana Pemilu contohnya money -politics. Sebagian masyarakat menganggap money politics adalah sesuatu yang lumrah dan biasa dalam setiap pelaksanaan Pemilu. Kita sering mendengar bahwa money politic sudah menjadi semacam budaya yang ada di masyarakat. Masyarakat cenderung mentolerir atau justru juga mengharapkan adanya money politic. Hal ini tentu akan sangat menyulitkan bagi proses penegakan hukumnya.

Terkait dengan money politik dan keterlibatan masyarakat ini masalah yang muncul adalah siapa yang mau menjadi saksi? Karena biasanya politik uang itu diberikan oleh orang-orang terdekat, dan orang-orang tertentu yang punya hubungan kekerabatan, organisasi, atau kesukuan. Jadi kalau mereka mau lapor mereka segan.

Sebenarnya, untuk mengatasi hal ini Bawaslu telah memiliki mekanisme agar masyarakat yang sungkan melapor tersebut untuk disembunyikan identitasnya. Sehingga Bawaslu akan memprosesnya sebagai temuan, bukan laporan.Sayangnya, kendala lain pun muncul. Bawaslu masih membutuhkan saksi penguat dan bukti pendukung yang kerap lebih sulit ditelusuri.Jadi yang perlu kita semua tingkatkan, yaitu keberanian pada pelapor. Bagaimana caranya masyarakat lebih berani melaporkan praktik politik uang. [22]

Ada juga budaya masyarakat yang cenderung tidak mau melaporkan dugaan pelanggaran tindak pidana Pemilu  karena takut akan intimidasi dan tindak kekerasan oleh oknum partai politik atau tim sukses. Beberapa kasus pelapor dugaan tindak pidana Pemilu tidak mendapatkan perlindungan yang cukup terhadap intimidasi dan tindak kekerasan oleh oknum  partai politik/ kandidat.

Sebagian masyarakat tidak mau melaporkan dugaan tindak pidana Pemilu karena tidak mau berurusan dengan proses hukum yang panjang dan rumit. Mereka tidak mau repot menghabiskan waktu, tenaga, biaya, dan pikiran untuk mengikuti proses hukum tindak pidana Pemilu. Bahkan beresiko terhadap dirinya sendiri.

Selama ini, diduga sebagian pelapor tindak pidana Pemilu  bersedia melaporkan tindak pidana tersebut, karena ada kepentingan tertentu yaitu kepentingan persaingan partai politik atau persaingan antar caleg/ kandidat. Dalam beberapa kasus hal tersebut memang terbukti berlatar belakang persaingan. Hal tersebut dengan tujuan menjatuhkan partai politik dan caleg tertentu serta memenangkan partai dan caleg/ kandidat yang didukungnya.

Tindak pidana Pemilu  dari tiap periode menjadi sebuah perilaku hukum yang negatif dan dilakukan terus menerus di masyarakat. Untuk mengubah budaya hukum tersebut, kita harus memahami nilai-nilai, tradisi, kebiasaan, sikap dan aspek hidup masyarakat. Dibutuhkan keseriusan dari semua stakeholder untuk mengajak dan mendidik masyarakat dalam mencegah dan menegakkan hukum terhadap tindak pidana Pemilu di Indonesia.

Selain itu, calon pelapor yang notabene masyarakat sipil merasa enggan berurusan dengan proses hukum yang rumit dan panjang.  Alasan ini banyak ditemui dilapangan. Masyarakat cenderung mendiamkan saja terhadap terjadinya pelanggaran tindak pidana Pemilu.Ada juga alasan calon pelapor terhadap dugaan pelanggaran tindak pidana Pemilu karena takut akan intimidasi dan tindak kekerasan oleh oknum partai politik atau tim sukses caleg.

Selanjutnya berdasarkan beberapa kasus yang ada pelapor tidak mendapatkan perlindungan yang cukup terhadap intimidasi dan tindak kekerasan oleh oknum partai politik atau tim sukses caleg/kandidat. Hal ini terjadi di beberapa daerah pada masing-masing Pemilu tidak adanya saksi karena orang yang mengetahui kejadian tidak berani bersaksi akibat adanya intimidasi, sementara pengawas Pemilu tidak memiliki kewenangan untuk melindungi saksi.

Ketiadaan saksi ini menjadi hambatan besar dalam penegakan hukum, pada hal dugaan tindak pidana pemilu baru bisa ditindaklanjuti minimal jika ada 2 (dua) orang saksi. Ketidaksediaan warga untuk menjadi saksi atas terjadinya tindak pidana tersebut antara lain disamping faktanya pada umumnya partisipasi rakyat masih sangat rendah.

4. ANALISA PERSOALAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMILU BERDASARKAN TEORI SISTEM HUKUM LAWRENCE M. FRIEDMAN

4.1. Keterlambatan Pembentukan Struktur Pengawas Pemilu

Di antara aspek yang paling penting dalam persiapan pengawasan pemilu adalah pembentukan kelembagaan pengawas Pemilu di semua tingkatannya. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu adalah regulasi yang memperkuat struktur dan fungsi Penyelenggara Pemilu tanpa terkecuali Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sebagai lembaga yang dibentuk untuk mengawasi jalannya suksesi kepemimpinanmelalui Pemilihan Umum yang demokratis.

Bawaslu menjadi ikon tersendiri bagi Indonesia sebab selain Ekuador, Negara lain tidak memiliki lembaga seperti itu. Negara lain yang menganut sistem pengawasan, tidak dilakukan oleh lembaga terpisah, melainkan lembaga pelaksana pemilu juga diberikan power quasiyudisial sehingga dapat memutus pelanggaran pemilu.

Penguatan struktur kelembagaan Bawaslu sejalan dengan fungsi yang disematkan. Secara fungsional, Bawaslu berfungsi melakukan pengawasan di setiap tahapan pemilu. Fungsi yang strategis dan signifikan yang dimiliki adalah fungsi pencegahan dan penindakan pelanggaran. Bawaslu sampai pada tingkat Kabupaten/Kota bertugas melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran pemilu dan sengketa proses pemilu.

Eksistensi Pengawas Pemilu menjadi motor penggerak utama dalam mencegah dan menindak segala bentuk pelanggaran pemilu, bahkan Bawaslu memiliki kewenangan untuk melakukan adjudikasi, sehingga menjadi hak privilege bagi Bawaslu untuk menjadi eksekutorial terhadap pelanggaran administrasi pemilu dan sengketa proses pemilu.

Data yang dirilis oleh Bawaslu RI, tertanggal 5 Maret 2019, update 1 April 2019 eksistensi Bawaslu sebagai pengawas pemilu Bawaslu telah memproses temuan dan laporan yang berjumlah 6.280 yang terdiri dari pelanggaran pidana sebanyak 548 kasus, pelanggaran administrasi sebanyak 4.759. Pelanggaran lainnya sebanyak 656 kasus seperti pelanggaran ASN dan pelanggaran kepala daerah, sedang dalam proses penanganan sebanyak 105 kasus dan sudah dinyatakan bukan pelanggaran sebanyak 474 kasus, dan 107 pelanggaran kode etik.[23]

Meskipun telah berhasil memproses temuan dan laporan pelanggaran pemilu, namun di beberapa daerah banyak terjadi keterlambatan dalam melakukan perekrutan anggota pengawas pemilu, sehingga dalam hal pemutakhiran data pemilih oleh Komisi Pemilihan Umum tidak terpantau dan terawasi dengan baik. Padahal pemutahiran data pemilih merupakan hal yang sangat penting untuk diawasi. Untuk itu ke depan seyogyanya pembentukan struktur pengawas pemilu ini segera dilakukan untuk mengantisipasi adanya pelanggaran tindak pidana pemilu sejak dini.

4.2. Pembentukan Struktur Pengawas Pemilu di Tingkat Kabupaten/Kota bersifat Ad-Hoc

Lembaga pengawas pemilu perlu dibuat permanen. Hal itu penting untuk mewujudkan pemilu yang bersih dan adil. Keberadaan Panwaslu yang bersifat sementara membuat penanganan kasus-kasus pelanggaran dalam pemilu menjadi kabur.Keberadaan pengawas pemilu pun harus memperlihatkan keberadaan yang bersifat tetap, yakni konsistensi lima tahunan tanpa jeda. Penggunaan istilah panitia juga dianggap sudah tidak tepat. Penggunaan istilah lembaga atau sejenisnya dinilai lebih tepat untuk memperlihatkan ketetapan badan ini.

Keberadaan Panwaslu yang bersifat sementara selama ini telah berakibat pada muculnya pelanggaran-pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh peserta tanpa takut pada sanksi pemilu. Pelanggaran pemilu secara khusus juga terjadi bila kemungkinan sanksi yang akan diterapkan baru akan dapat dilaksanakan setelah pemilu usai.

Sejauh ini posisi pengawas pemilu sangat lemah. Struktur keberadaan pengawas pemilu tidak mengenal induk. Karenanya, keberadaan lembaga pengawas pemilu yang bersifat tetap dalam periode lima tahun akan dapat menjadi payung bagi pengawas pemilu.Pengawas nasional berwenang untuk memilih dan menetapkan pengawas di pilkada.

Dengan begitu, kemandirian mereka menjadi lebih kuat dan keberadaan mereka lebih bermakna dan lebih mandiri. Pengalaman pengawas pemilu yang tidak mandiri dan kuat pada akhirnya hanya bersentuhan pada pelanggaran-pelanggaran kecil. Sementara pelanggaran berat dan besar luput karena dasar advokasi lembaga ini lemah.

Sejauh ini Pengawas Pemilu ditingkat Kabupaten/ Kota yang bersifat ad hoc dinilai lembah posisinya. sebagai lembaga Ad hoc yang dibentuk sebelum tahapan pertama Pemilu dimulai dan dibubarkan setelah calon yang terpilih dalam Pemilu/Pilkada dilantik, maka ia dianggap mempunyai kekuatan apa apa.

Dengan terbitnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang salah satunya menguatkan kelembagaan pengawas pemilu patut disambut baik. Sebagaimana kita ketahui UU No. 7/2017  mengharuskan Pembentukan Bawaslu Kabupaten/Kota Permanen paling lambat setahun sejak tanggal disahkan Undang-undang ini pada 16 Agustus 2017, ditambah dengan kewenangan baru untuk menindak serta memutuskan pelanggaran dan proses sengketa Pemilu .

Berdasarkan mandate UU tersebut maka melalui Perbawaslu Nomor 19 tahun 2017 beserta perubahannya Perbawaslu Nomor 10 Tahun 2018, Bawaslu RI telah `menugaskan` kepada Bawsalu Provinsi  untuk mengusulkan dan  membentuk Tim Seleksi Anggota Bawaslu Kabupaten/Kota dimasing-masing wilayah kerjanya yang terbagi lagi dari beberapa region serta ditetapkan dengan Keputusan Bawaslu Provinsi masing-masing.

Tim Seleksi inilah yang nantinya melakukan penjaringan secara terbuka lalu memilih serta menetapkan Calon Komisioner Bawaslu Kabupaten/Kota  melalui beberapa tahapan rangkaian mulai pengumuman pendaftaran, penelitian berkas administrasi, tes tertulis, tes psikologi, dan tes wawancara. Selanjutnya dari seluruh rangkaian diatas akan menghasilkan 2 (dua) kali dari jumlah anggota yang dibutuhkan  untuk diserahkan nama-namanya ke Bawaslu Provinsi yang selanjutnya akan di Uji kelayakan dan kepatutan, lalu Bawaslu Provinsi mengirim nama-nama calon berdasarkan Peringkat sesuai hasil uji kelayakan dan kepatutan ke Bawaslu RI untuk ditetapkan sebagai  Komisioner Bawaslu Kabupaten/Kota Permanen periode 2018 - 2023.

Yang perlu kita pahami bersama bahwa adanya aturan untuk anggota Panwas Kabupaten/Kota petahana untuk pilkada serentak 2018 yang di bentuk berdasarkan Undang-undang 15 Tahun 2011 dapat ditetapkan sebagai Bawaslu Kabupaten/Kota sepanjang memenuhi syarat , dengan pertimbangan efisiensi karena dianggap anggota panwas kabupaten/kota petahana sudah lulus untuk tes tertulis serta tes wawancara Tim seleksi pada perekrutan tahun 2017

Dengan acuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 adanya perubahan syarat minimal usia 30 (tiga puluh tahun) serta harus melalui Psikologi Tes, maka mereka ini tinggal melalui tahapan administrasi dan tes psikologi selanjutnya apabila dinyatakan lulus akan langsung mengikuti Uji kelayakan dan kepatutan oleh Bawaslu Provinsi masing-masing yang akan lebih berupa evaluasi terhadap kinerja selama mereka bertugas , hal inilah yang membedakan dari calon baru.

Diharapkan Komisioner Bawaslu Kabupaten/Kota permanen periode 2018 - 2023, nantinya tidak hanya akan menjadi Badan penyeimbang KPU di daerah tetapi juga akan juga menjalankan kewenangan baru baik berupa rekomendasi ataupun putusan yang mengikat KPU kabupaten/Kota demi penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada yang lebih baik lagi bagi kehidupan berdemokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kita berharap banyak pada Bawaslu RI dan Bawaslu Provinsi serta Tim Seleksi calon anggota Bawaslu Kabupaten/Kota agar selalu bekerja secara transparan, akuntabel, serta memperhatikan tanggapan dan masukan masyarakat agar proses rekrutmen ini betul-betul melahirkan individu-individu yang bersih serta mempunyai Karakter diri yang kuat, berkompetensi.

Dengan adanya pembentukan kelembagaan pengawas pemilu yang bersifat permanen, dengan sendirinya keterlambatan pembentukan struktur pengawas pemilu menjadi bukan masalah lagi.

4.3. Upaya Mengoptimalkan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu)

Fungsi Sentra Gakkumdu adalah sebagai forum koordinasi dalam proses penanganan setiap pelanggaran tindak pidana pemilu, pelaksanaan pola tindak pidana pemilu itu sendiri, pusat data, peningkatan kompetensi, monitoring evaluasi. Sementara mengenai pola penanganan tidak pidana pemilu telah dirinci dalam Standar Operasional dan Prosedur (SOP) tentang Tindak Pidana Pemilu pada Sentra Gakkumdu. Hal itu diharapkan dapat menciptakan sistem pemilihan umum yang baik dan efektif.

Menurut SOP Sentra Gakkumdu, penanganan tindak pidana pemilu dilaksanakan melalui 3 (tiga) tahap yaitu: a) Penerimaan, pengkajian dan penyampaian laporan/temuan dugaan tindak pidana pemilu kepada Pengawas Pemilu; dalam tahap ini Pengawas Pemilu berwenang menerima laporan/temuan dugaan pelanggaran pemilu yang diduga mengandung unsurtindak pidana pemilu, selanjutnya dugaan pelanggaran itu dituangkan dalam Formulir Pengaduan.

Setelah menerima laporan/temuan adanya dugaan tindak pidana pemilu, Pengawas Pemilu segera berkoordinasi dengan Sentra Gakkumdu dan menyampaikan laporan/temuan tersebut kepada Sentra Gakkumdu dalam jangka waktu paling lama 24 Jam sejak diterimanya laporan/temuan. b) Tindak lanjut Sentra Gakkumdu terhadap laporan/temuan dugaan tindak pidana pemilu; dalam tahap ini dilakukan pembahasan oleh Sentra Gakkumdu dengan dipimpin oleh anggota Sentra Gakkumdu yang berasal dari unsur Pengawas Pemilu. c) Tindak lanjut Pengawas Pemilu terhadap rekomendasi Sentra Gakkumdu.

Dalam tahap ini disusun rekomendasi Sentra Gakkumdu, yang menentukan apakah suatu laporan/temuan merupakan dugaan tindak pidana pemilu atau bukan, atau apakah laporan/temuan tersebut perlu dilengkapi dengan syarat formil/syarat materiil.

Mekanisme penanganan dengan sinergi antar lembaga demikian ini diharapkan dapat secara efektif dan efisien menjawab berbagai kendala penanganan tindak pidana pemilu yang selama ini dikhawatirkan terjadi. terutama kekhawatiran tentang ketidaksepahaman penerapan peraturan antara pengawas pemilu dengan Kepolisian dan Kejaksaan. Di samping itu, SOP ini diharapkan akan mudah untuk menjadi panduan kerja bagi petugas Sentra Gakkumdu di seluruh tingkatan.

Meskipun sinergisme diharapkan bisa terbangun namun nyatanya dilapangan sering terjadi perbedaan pandangan dan persepsi diantara aparat penegak hukum yang tergabung dalam Gakkumdu.  Sebagai contoh perdebatan dalam sentra gakkumdu misalnya terkait dengan “kualitas alat bukti” (Instrumenta delicti), varian ini sungguh sangat subjektif masing-masing lembaga penegakan hukum pemilu tersebut karena berangkat dari standart penilian yang berbeda dan regulasi hukum pemilu itu sendiri yang melepas bebas penafsiran tentang kualitas alat bukti tersebut.

Sesungguhnya terkait dengan soal perbedaan persepsi antar lembaga penegakkan hukum Pemilu dalam tim sentra Gakkumdu dapat diselesaikan dengan Doktrin Pemilu, Value Integrity, dan kesadaran Kolektif;

Kita menyadari ada Adagium yang tumbuh pada pemilih tak terkecuali penyelenggara tentang Tiada pemilu tanpa kesalahan sama dengan tiada manusia tanpa khilaf, adagium ini  dalam penegakkan hukum pemilu sesungguhnya adalah proposisi yang invalid, sebaiknya doktrin pemilu haruslah “kesadaran terstruktur akan menghasilkan kualitas terstruktur”.

Doktrin itu penting karena jka dia berhasil merasuk kedalam alam bawah sadar setiap individu maka gerak laju sikap dan tindak individu tersebut akan selalu bertumpu pada doktrin awal, sebagaimana agama yang doctrinal bahwa tuhan itu ada dan selalu mengawasi maka setiap saat kita takut melakukan dosa lalu menjaga perilaku dengan menjauhi perintah dan larangannya. Meski tak secara langsung bertemu Tuhan (itu doctrinal), dalam konteks perang, suku mongol yang paling ditakuti dunia itu menanamkan dontrinnya terlebih dahulu kepada pasukan dan kaumnya sebelum bergerak.

Jika doktrinnya belum masuk, jika doktrinnya tidak efektif maka tak ada penyerangan saat itu.  Bangsa Yahudi pun demikian dengan doktrin suku terbaik didunia menjadikan mereka memang betul-betul terus melesat menguasai dunia karena doktrin itu, singkatnya doktrin adalah sugesti dia dapat menjadi landasan pacu, landasan status quo pun dapat menjadi landasan kemerosotan.

Lihat saja money politik karena doktrinnya adalah selama kantong masih diatas, “cost politik mahal” atau “tak ada makan siang gratis” maka manivestasinya adalah hampir tak ada pemilu tanpa cerita politik uang dan hampir semua kasus money politik tanpa tangkap tangan dalilnya seperti buang angin, ada aroma tapi tak ada Wujud alias Ghoib!

Doktrin pemilu harus berubah. Kalimat seperti Selama Kantong Masih Diatas, “Cost Politik Mahal” Atau Tak Ada Makan Siang Gratis mesti tak boleh lagi terucap dalam ruang publik pemilu karena itu Doktrin alam bawah sadar kita secara tak sadar, sekolah pemilu harus segera hadir dalam tubuh penyelenggara wabil khsusus “sekolah sentra gakkumdu” yang didalamnya ada doktrin seperti doktrin pemilu yang efektif sesuai dengan kebutuhan Jaman.

Tak usah jauh menoleh doktrin-doktrin paripurna yang membuat bulu kuduk kita merinding penuh makna misalnya doktrin baret merah Kopasus yang penulis salut “CEPAT, TEPAT, SENYAP” yang digambarkan sebagai sukses dalam diam tanpa cela, harapan kita pun demikian dengan pemilu dan pemilihan kedepan dapat kita wujudkan dengan sukses dalam diam tanpa cela dan riak kegaduhan.

Sementara dari sisi Value Integritas dan kesadaran Kolektif pada hakikatnya manusia tinggal kembali kepada fitrahnya yang punya sisi baik dan sisi buruk, akallah yang hadir sebagai penengah, pengarah pikiran untuk memilih diantara keduanya, jika kita memilih baik maka disitulah “makna atau nilai” muncul dalam kehidupan kita, dan jika kita terus menerus menjaga nilai kebaikan tersebut maka itulah integritas, manusia Indonesia adalah manusia berkepercayaan, suatu keniscayaan ada ruang dihatinya yang bisa dieksplor untuk atas nama Integritas itu sementara konsistensi integritas individu-individu manusia Indonesia adalah arah menuju kesadaran kolektif.

4.4. Kurang Profesionalnya Aparat Penegak Hukum

Pelaksanaan penegakan hukum pidana pemilu selain tergantung pada kesadaran hukum masyarakat juga sangat banyak ditentukan oleh aparat penegak hukum (pengawas pemilu, kepolisian, kejaksaan, hakim dan pengacara). Sudah sering terjadi beberapa peraturan hukum pemilu tidak dapat terlaksana dengan baik oleh karena ada beberapa oknum penegak hukum yang tidak melaksanakan suatu ketentuan hukum sebagai mana mestinya.

Hal tersebut disebabkan pelaksanaan oleh penegak hukum itu sendiri yang tidak sesuai dan merupakan contoh buruk dan dapat menurunkan citra .Selain itu teladan baik dan integritas dan moralitas aparat penegak hukum mutlak harus baik, karena mereka sangat rentan dan terbuka peluang bagi praktik suap dan penyelahgunaan wewenang. Uang dapat mempengaruhi proses penyidikan, proses penuntutan dan putusan yang dijatuhkan.

Dalam struktur kenegaraan modern, maka tugas penegak hukum itu dijalankan oleh komponen yudikatif dan dilaksanakan oleh birokrasi, sehingga sering disebut juga birokrasi penegakan hukum. Eksekutif dengan birokrasinya merupakan bagian dari bagian dari mata rantai untuk mewujudkan rencana yang tercantum dalam (peraturan) hukum. Kebebasan peradilan merupakan essensilia daripada suatu negara hukum saat ini sudah terwujud dimana kekuasaan Kehakiman adalah merdeka yang bebas dari pengaruh unsur eksekutif, legislatif .serta kebebasan peradilan ikut menentukan kehidupan bernegara dan tegak tidaknya prinsip Rule of Law.

Lemahnya penegakan hukum pidana pemilu juga disebabkan oleh kinerja aparat penegak hukum lainnya seperti  Pengawas Pemilu,Hakim, Kepolisian, Jaksa, dan Advokat yang belum menunjukan sikap yangprofesional dan integritas moral yang tinggi. Kondisi sarana dan prasarana hukum yang sangat diperlukan oleh aparat penegak hukum juga masih jauh dari memadai sehingga sangat mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum pidana pemilu untuk berperan secara optimal dan sesuai dengan rasa keadilan di dalam masyarakat.

Sebagai upaya untuk meningkatkan pemberdayaan terhadap lembaga penegak hukum langkah langkah yang perlu dilakukan yaitu:

  1. Peningkatan kualitas dan kemampuan aparatpenegak hukum yang lebih profesioanal, berintegritas, berkepribadian, dan bermoral tinggi.
  2. Perlu dilakukan perbaikan–perbaikan system perekrutan dan promosi aparat penegak hukum yang menangani tindak pidana pemilu, pendidikan dan pelatihan, serta mekanisme pengawasan yang lebih memberikan peran serta yang besar kepada masyarakat terhadap perilaku aparat penegak hukum.
  3. Mengupayakan peningkatan kesejahteraan aparat penegak hukum yang sesuai

4.5. Lemahnya Pemahaman Hakim Terhadap Tindak Pidana Pemilu

Hakim merupakan bagian dari aparat penegak hukum dalam penegakan hukum tindak pidana pemilu. Namun tentang hakim ini perlu mendapatkan perhatian tersendiri karena perannya sangat sentral dalam pusaran penegakan hukum tindak pidana pemilu.

Dalam hal ini hakim harus mempunyai pemahaman yang tepat terhadap tindak pidana Pemilu. Apalagi dalam UU Pemilu terdapat puluhan pasal yang memuat ketentuan pidana. Oleh karenanya, para hakim harus ekstra hati-hati dalam memberikan  putuskan atas perkara pidana Pemilu. Sebab, jika salah memahami tindak pidana Pemilu dan berdampak pada putusan yang dihasilkan maka berpotensi besar menimbulkan keributan di masyarakat. Parpol itu punya massa yang banyak, jadi hakim harus sangat hati-hati memutus perkara pidana Pemilu.

Sekurang kurangnya ada tujuh parameter yang perlu diperhatikan hakim dalam melihat penyelenggaraan Pemilu yang adil dan berintegritas[24]. Terwujudnya hal itu tak lepas dari peran hakim yang memutus perkara yang berkaitan dengan Pemilu.

Pertama, kesetaraan warga negara. Misalnya, apakah semua warga negara yang punya hak pilih sudah terdaftar secara akurat di daftar pemilih tetap (DPT). Kemudian, pembagian kursi di DPR untuk setiap daerah sudah memenuhi kesetaraan keterwakilan atau belum. UU Pemilu dinilai hanya memuat tindak pidana yang berkaitan dengan hak pilih, tapi belum menyentuh pada kesetaraan. Seperti pasal 281 UU Pemilu memberikan sanksi pidana kepada majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada pekerjanya untuk memberikan suara pada hari pemungutan suara.

Kedua, untuk mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas  membutuhkan rule of law dan kepastian hukum. Apalagi sistem Pemilu 2014 membuka peluang antar calon legislatif (caleg) yang berasal dari partai politik (parpol) dan daerah pemilihan (dapil) yang sama untuk saling berkompetisi. Guna menjaga kompetisi agar berjalan adil maka perlu diatur.

Ketiga, parameter yang perlu dilihat hakim untuk menilai penyelenggaraan Pemilu yang adil dan berintegritas yaitu persaingan yang bebas dan adil antar peserta Pemilu. Misalnya, apakah persaingan untuk memperoleh suara dari pemilih itu menggunakan kampanye yang menyalahi aturan atau tidak. Seperti ada intimidasi dan kekerasan kepada pemilih.

Kemudian merusak alat peraga peserta lainnya dan melakukan politik uang. Apakah peserta Pemilu incumbent yang menggunakan fasilitas negara. Penggunaan fasilitas negara  termasuk dalam persaingan yang tidak adil. Sebab, peserta Pemilu yang bukan incumbent sangat kecil berpeluang menggunakan fasilitas negara untuk kampanye. Begitu pula dengan kampanye hitam, seperti menggunakan isu SARA, atau menjelek-jelekan peserta lainnya tanpa fakta.

Keempat, penyelenggara Pemilu yang independen dan profesional. Dalam UU Pemilu, ada empat ketentuan yang mengatur sanksi bagi penyelenggara Pemilu. Salah satunya pasal 319 UU Pemilu yang menjelaskan sanksi bagi anggota KPU jika tidak menetapkan perolehan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan kabupaten/kota secara nasional sebagaimana dimaksud pasal 205 ayat (2).

Kelima, partisipasi semua pemangku kepentingan dalam proses penyelenggaraan pemilu  termasuk dalam parameter untuk melihat apakah pemilu diselenggarakan secara adil dan berintegritas. Namun, secara umum dalam UU Pemilu, ada kekosongan hukum terkait parameter tersebut. Misalnya, tindakan yang menghalang-halangi partisipasi Pemilu tidak dianggap sebagai pidana.

Yang dilihat sebagai pidana Pemilu adalah partisipasi warga negara yang dinilai menyimpang. Seperti menyebarluaskan hasil survei Pemilu pada masa tenang. Atau hasil hitung cepat diumumkan kurang dari dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah barat Indonesia dan tidak diumumkan sebagai prediksi hasil Pemilu.

Keenam, parameter tentang integritas proses pemungutan dan pengitungan suara serta rekapitulasi hasil penghitungan suara. Jika hal itu dilakukan sesuai ketentuan dalam UU Pemilu maka Pemilu yang digelar dapat disebut berintegritas. Tindak pidana Pemilu dalam parameter itu misalnya ada orang yang melakukan pemungutan suara lebih dari sekali dengan cara mengatasnamakan orang lain.

Ketujuh, proses penyelesaian sengketa Pemilu secara adil dan tepat menjadi parameter terakhir untuk melihat penyelenggaraan Pemilu yang adil serta berintegritas. Hal ini berkaitan dengan putusan para hakim terhadap sengketa Pemilu agar adil dan tepat waktu. Walau begitu tidak mudah dilakukan karena ada batas waktu untuk menyelesaikan sengketa Pemilu. Sehingga hakim dituntut memberi putusan yang adil dan tepat waktu.

4.6. Batasan Waktu Bagi Panwaslu dan Aparat Penegak Hukum Dalam Melakukan Penanganan Tindaklanjut Pelanggaran

Batasan waktu bagi Pengawas Pemilu dan aparat penegak hukum dalam melakukan penanganan dan tindak lanjut pelanggaran. Penaganan Tindak Pidana Pemilu Legislatif ada ketentuan yang sangat rigit tentang waktu penanganan pelanggaran dugaan tindak pidana Pemilu. Pada tahap proses penanganan dugaan pidana Pemilu di Pengawas Pemilu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diketahui dan atau ditemukannya pelanggaran Pemilu.

Selanjutnya Pengawas Pemilu jajarannya memiliki waktu selama 3 (tiga) hari untuk melakukan kajian atas laporan atau temuan terjadinya pelanggaran. Pada prakteknya batasan waktu ini menghambat proses penegakan hukum dugaan tindak Pidana Pemilu karena kurangnya waktu

Terkait dengan masalah waktu ini maka seyogyanya waktu kadaluarsa diperpanjang sehingga bisa memberikan waktu yang cukup untuk terselesaikannya perkara tindak pidana pemilu. Waktu daluwarsa dapat mengikuti aturan di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni minimal dua tahun. Mengapa harus minimal dua tahun agar keadilan untuk kepentingan publik, tidak dibatasi oleh limit waktu tertentu.

4.7. Lemahnya Ketentuan Peraturan Perundang-undangan tentang Money Politik

Dari sisi regulasi saat ini UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu tidak progresif dalam hal penanganan terkait politik uang. Pasalnya, dalam UU Pemilu sanksi terkait hal tersebut hanya diberikan kepada pemberi saja. Hal ini berbeda dengan aturan yang ada di UU Pilkada. Disana diatur terkait dengan sanksi bagi pemberi dan penerima sehingga dapat dijadikan perhatian khusunya bagi masyarakat.

Jadi kalau kita bandingkan regulasi soal money politik antara UU 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dan UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, lebih progresif UU Pilkada. Di UU Pilkada, pemberi dan penerima masing-masing bisa dihukum. Sementara di UU Pemilu yang hanya bisa dikenakan pidana kalau money poltik ini hanya pemberi.

Permasalahan dalam regulasi ini menimbulkan potensi terjadinya politik uang rentan terjadi. Pasalnya, dengan sistem pemilu serentak potensi politik uang yang dilakukan oleh para caleg semakin rentan terjadi karena masyarakat masih akan cenderung terfokus terhadap Pilpres dibanding Pileg.

Terkait dengan subjek pelaku tindak pidana money politik. Di UU pilkada subjeknya lebih mudah yaitu setiap orang, siapapun yang melakukan money poltik, siapapun yang memberi dan menerima itu bisa dijerat. Karena dalam praktik lapangan, bukan tim kampanye yang turun beraksi, tetapi melalui orang diluar sturktur parpol.

Yang perlu menjadi perhatian lagi ialah pemberian sanksi terhadap subjek pelaku di UU Pemilu dibagi dalam 3 fase. Dari ketiga fase tersebut hanya di hari pemungutan suara saja yang subjek pelaku terhadap pelanggaran ini dapat menjerat pemberi dan penerima.

Terhadap kelemahan kelemahan ini maka perlu ada upaya perbaikan ketentuan agar pelaku money politik tidak lolos dari jerat hukum. Minimal ketentuan dan sanksinya sama dengan pelaku money politik di UU Pilkada.

Terlepas dari itu semua dalam  pemilu bagaimanapun harus ada komitmen untuk benar-benar tidak melakukan praktek money politik dan apabila terbukti melakukan maka seharusnya didiskualifikasi saja. Bentuk Undang-Undang yang kuat untuk mengantisipasi terjadinya money politic dengan penanganan serius untuk memperbaiki bangsa ini, misalnya membentuk badan khusus independen untuk mengawasai calon-calon pemilu agar mentaati peraturan terutama untuk tidak melakukan money politic.

Sebaiknya secara transparan dikemukan kepada publik sumber pendanaan kampaye oleh pihak-pihak yang mendanai tersebut. Transparan pula mengungkapkan tujuan mengapa mendanai suatu partai atau perorangan, lalu sebaiknya dibatasi oleh hukum mengenai biaya kampanye agar tidak berlebihan mengeluarkan biaya sehingga terhindar dari tindak pencarian pendanaan yang melanggar Undang-Undang. Misalnya, anggota legislatif yang terpilih tersebut membuat peraturan Undang-Undang yang memihak pada pihak-pihak tertentu khususnya pihak yang mendanai partai atau perorangan dalam kampanye tersebut.

Perlu disadari manakala kita salah memilih pemimpin akan berakibat fatal karena dapat menyengsarakan rakyat. Sebaiknya pemerintah mengadakan sosialisasi pemilu yang bersih dan bebas money politic kepada masyarakat luas agar tingkat partisipasi masyarakat dalam demokrasi secara langsung meningkat.Perlu keseriusan dalam penyuluhan pendidikan politik kepada masyarakat dengan penanaman nilai yang aman, damai, jujur dan kondusif dalam memilih. Hal tersebut dapat membantu menyadarkan masyarakat untuk memilih berdasarkan hati nurani tanpa tergiur dengan praktek money politic yang dapat menghancurkan demokrasi.

4.8. Adanya Peraturan Tekhnis Yang Belum Tekhnis

Peraturan tekhnis yang dibutuhkan dalam rangka penegakan hukum tindak pidana pemilu harus benar benar bersifat tekhnis sehingga implementatif. Untuk bisa menghasilkan peraturan yang benar benar tekhnis implementatif itu ada baiknya pembuat peraturan misalnya melalui Bawaslu-RI mulai  mentradisikan DIM (mendaftar Masalah-masalah) dengan secara terus-menerus melibatkan Bawaslu tingkat Provinsi sebagai perpanjangan tangan dari Bawaslu-RI dalam rangka menjaring keinginan Publik yang terus berkembang.

Kebiasaan menjaring aspirasi ini hendaknya jangan hanya sebagai ajang seremonial belaka tapi benar benar berkontribusi untuk memperbaiki substansi peraturan yang akan dibuat. Sejauh ini, faktanya banyak undangan pembahasan Perbawaslu namun setelah disahkan dan diundangkan dalam lembaran Negara sebagai pelaksana tekhnis UU pemilu juncto UU pemilihan terlihat tumpang tindih dan tak jarang saling mendegradasi.

Bawaslu Juga secara berjenjang tak mengapa menerapkan penjaringan naskah akademis bagi “rencana lahirnya” perbawaslu terkait, itu bertujuan untuk menghasilkan pikiran-pikiran terbaik anak bangsa yang perhatian terhadap pemilu yang ada diseluruh pelososk negeri,

Terakhir tentu sebelum di sahkan sebaiknya tradisi “Uji Publik Perbawaslu” di biasakan Oleh Bawaslu Secara struktural kelembagaan agar peraturan-peraturan tekhnis yang lahir tak sekedar “kuantitas tapi Kualitas” tentu tak perlu banyak Perbawaslu yang lahir. Dengan pola ini lahirnya peraturan tekhnis yang implementatif serta  tumpang tindih norma, norma yang sumir atau norma yang tidak diatur dapat dikurangi.

4.9. Budaya Hukum Masyarakat

Salah satu variable yang menentukan penegakan hukum adalah budaya hukum masyarakat. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, budaya hukum masyarakat yang berkembang saat ini nampaknya tidak menunjang untuk dapat ditegakkannya hukum pidana pemilu.

Sebagai contoh mereka banyak yang menganggap pidana pemilu akibat money politik dianggapnya sebagai bukan suatu perbuatan tindak pidana melainkan hal yang biasa biasa saja. Bahkan ada yang menganggap sebagai bagian dari upaya untuk mendapatkan tambahan rejeki setiap pesta demokrasi atau momen pemilu. 

Bukan hanya kesalahan persepsi, partisipasi masyarakat dalam melaporkan adanya tindak pidana pemilu juga dinilai sangat rendah. Jika melihat adanya pelanggaran pemilu, masyarakat cenderung mencari aman dengan tidak mau melaporkan kepada pihak yang berwenang. Melibatkan diri dalam perkara seperti ini dinilai hanya merepotkan saja bahkan malah membahayakan dirinya.

Oleh karena itu persoalan pokok dalam kaitan dengan budaya hukum masyarakat ini adalah  bagaimana perlindungan optimal bagi warga masyarakat yang mau berpartisipasi dalam penegakan hukum pidana pemilu misalnya saat mereka ditetapkan sebagai saksi. Harus ada upaya perlindungan maksimal di berikan kepada mereka agar bersedia menjadi saksi atau terlibat dalam proses penegakan hukum pemilu. Hal ini juga sebagai upaya untuk membangkitkan mereka bersaksi selama proses peradilan.

Salah satu upaya membangkitkan keberanian masyarakat yang terlibat dalam penegakan hukum tindak pidana pemilu adalah dengan menjadikan mereka yang terlibat kasus ini sebagai whistle blower.

Istilah whistle blower dipergunakan agar menjauhkan pemberi informasi dari konotasi negatif seperti informan atau spionase. Istilah whistle blower sendiri pada dasarnya pemberi informasi tentang keburukan lembaga atau orang dengan informasi yang akurat. Pemberi informasi ini bisa jadi adalah bagian internal; tim, karyawan atau anggota dari suatu organisasi atau bagian eksternal seperti mantan pekerja atau mantan anggota tim.

Informasi yang disampaikan whistle blower merupakan informasi penting yang menyangkut pelanggaran hukum bagi yang memperbuat atau informasi yang menjadi ancaman bagi masyarakat atau kepentingan publik secara luas. [25]

Dalam konteks pemilihan umum, penyimpangan seperti praktik money politics (politik uang) merupakan salah satu kepentingan publik yang terancam. Politik uang menjadi jamak dilakukan oleh para kandidat untuk memenangkan perolehan suara. Praktik semacam itu jelas bersifat ilegal dan merupakan kejahatan.

Whistle blower pada dasarnya lebih banyak digunakan pada tindak pidana korupsi. Sama halnya korupsi, politik uang saat Pilkada dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu dan menjadi masalah serius bagi demokrasi. Dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kepemiluan, fenomena adanya whistle blower ternyata tidak atau setidaknya belum diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan.

Saat ini penegakan hukum pemilu masih mengandalkan pengawas pemilu dan laporan terbuka dari masyarakat dalam menemukan adanya dugaan tindak pidana. Jika kewenangan pengawas pemilu melekat dan diatur dalam undang-undang, sementara masyarakat yang menjadi whistle blower tidak mendapat perlindungan hukum. Sehingga masyarakat merasa tidak berkepentingan melaporkan tindak pidana pemilu, karena pada saat yang sama tindak pidana seperti politik uang dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai bonus rutin pada masa pemilu yang lebih riil dibandingan dengan program-program yang dijanjikan.

Keberanian seseorang sebagai seorang whistle blower, tentu akan membawa dampak yang tidak ringan bagi pelakunya, yaitu ancaman dari orang-orang yang mereka beberkan namanya. Ancaman dapat berbentuk berbagai macam termasuk ancaman terhadap keselamatan jiwa sang pelapor. Berisiko terkena efek “senjata makan tuan” dari pengakuan dan informasi yang mereka berikan kepada kepada media massa, lembaga antikorupsi, pengacara, penyidik, atau aparat hukum lainnya.

Ancaman yang juga bakal dihadapi oleh whistle blower datang dari kalangan internal perusahaan atau institusi. Whistle blower menghadapi risiko penurunan pangkat, skorsing, intimidasi, atau diskriminasi dari institusi tempatnya bekerja yang merasa dirugikan dan dipermalukan atas pelaporannya.

Adanya ancaman-ancaman tersebut, kiranya mempertegas bahwa perlu adanya peraturan yang khusus mengatur tentang whistle blower, setidaknya terdapat payung hukum yang dapat memberikan perlindungan sehingga masyarakat tidak takut untuk melaporkan tindak pidana yang terjadi di lingkungannya dan mengungkap secara jelas mengenai pelaku, modus operandi dan masyarakat yang menjadi sasaran dari tindak pidana tersebut, khususnya tindak pidana yang merugikan keuangan negara.

Selain itu diperlukan kecermatan dari aparat penegak hukum yang mendapatkan laporan dari anggota masyarakat yang melakukan pelaporan atas tindak pidana yang terjadi di dalam lingkungannya. Jika whistle blowing system diterapkan dalam penegakan hukum pemilu yang menjadi core bisnis Bawaslu, tentu membutuhkan sistem perlindungan whistle blower. Sistem itu harus masuk dalam peraturan menganai laporan dan temuan pelanggaran yang diatur secara khusus tentang sistem pelaporan pelanggaran yang memuat fasilitas dan perlindungan (whistle blower protection).

Pelaporan juga memiliki jalur yang khusus baik tertera di website maupun aplikasi khusus yang menjamin kerahasiaan pelaporan. Kerahasiaan identitas pemberi informasi ini diberikan bila pemberi informasi memberikan identitas serta informasi yang dapat digunakan untuk menghubungi pemberi informasi. Sistem tidak akan membuka data diri pemberi informasi kecuali hanya kepada pengawas pemilu sebagi informasi awal yang selanjutnya dapat ditindaklanjuti menjadi temuan

Pemberi informasi yang sifatnya anonim, tanpa identitas yang jelas sebaiknya tidak diperkenankan dalam sistem pelaporan whistle blowing. Pemberi informasi anonim akan menyulitkan mengetahui secara pasti dugaan pelanggaran dengan pemeriksaan saksi. Bahkan lebih jauh dari itu, pengaturan whistle blowing dalam pemilu harus diatur dalam undang-undang. Karena perlindungan hukum sangat diperlukan atas tindakan balasan dan terlapor.

Perlindungan dari gugatan hukum hingga persekusi dan intimidasi. Perlindungan hukum juga dapat diperluas hingga ke anggota keluarga whistle blower. Pemilu sebagai peristiwa lex spesialis pengaturan secara khusus mengenai whistle blower harus dimuat dalam secara tegas dalam perturan perundang-undangan. Negara mempunyai tanggung jawab yang besar yaitu keberanian membuat peraturan perundang-undangan guna memberikan perlindungan hukum bagi whistle blower sehingga masyarakat bersedia menyampaikan laporan adanya dugaan pidana pemilu dan penegakan hukum pemilu lebih baik. 

5. KESIMPULAN

Masalah penegakan  hukum pidana pemilu setidaknya dapat disigi dengan melihat masing-masing komponen dalam sistem hukum yang secara langsung berpengaruh terhadap penegakan hukum. Lawrence  M.  Friedman  menilai,  berhasil atau tidaknya hukum ditegakkan tergantung pada tiga komponen sistem hukum.

Pertama,  substansi  hukum  (legal  substance).  Substansi  hukum  adalah  aturan,  norma,  dan  pola  prilaku  nyata  manusia  yang  berada  dalam  sistem  itu[26] Kedua,  struktur  hukum  (legal  structure)  atau  struktur  sistem  hukum.  Friedman  menyebutnya  sebagai  kerangka  atau  rangka  atau  bagian  yang  tetap  bertahan  atau bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan.

Keberadaan  struktur  hukum  sangat  penting,  karena  betapapun  bagusnya  norma  hukum,  namun  jika  tidak  ditopang  aparat  penegak  hukum  yang  baik,  penegakan  hukum  dan  keadilan  hanya  sia-sia.  Ketiga, budaya  hukum  (legal  culture).  Kultur  hukum  adalah  opini-opini,  kepercayaan-kepercayaan  (keyakinan-keyakinan),  kebiasaan-kebisaaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum  maupun  dari  warga  masyarakat  tentang  hukum  dan  berbagai  fenomena  yang  berkaitan  dengan  hukum.[27]

Berangkat dari tiga indikator tersebut, belum efektifnya penegakan hukum pidana pemilu juga tidak dapat dilepaskan dari masalah yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan pemilu, khususnya terkait tindak pidana pemilu; masalah profesionalisme aparat penegakan hukum yang terdiri dari pengawas pemilu, kepolisian, kejaksanaan dan hakim pada pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi; dan budaya hukum penyelenggaraan pemilu yang jauh dari kondisi sehat.Pada taraf norma, peraturan perundang-undangan sebagaimana diulas pada bagian sebelumnya belum cukup jelas dan lengkap mengatur hukum materil maupun hukum formil.

Bahkan hukum formil yang ada tidak cukup memadai untuk menegakkan hukum pidana pemilu secara efektif. Sementara pada level struktur, penegak hukum dihadapkan pada persoalan masih belum memadainya pemahaman aparatur terhadap jenis tindak pidana pemilu; belum profesional dan masih terjadinya “tolak-menolak” yang berujung pada kebuntuan dalam menangani perkara pidana pemilu.

Sedangkan pada ranah budaya hukum, pihak-pihak berkepentingan, terutama peserta pemilu masih berkecenderungan untuk “mengakali” aturan yang ada sehingga dapat berkelit dari tuntutan hukum. Masyarakat politik bukannya membangun kesadaran akan perlunya mengikuti pemilu sesuai aturan-aturan yang ada, melainkan justru membangun sikap culas atas aturan yang ada. Tiga persoalan penegakan hukum pidana pemilu tersebut berkelindan sedemikian rupa sehingga penegakan hukum pemilu benar-benar lumpuh (sekedar tidak mengatakan mati suri). Akibatnya, perkara-perkara dugaan tindak pidana pemilu pun tidak tertangani dengan baik.

Sistem penanganan tindak pidana pemilu masih membutuhkan pembenahan agar dapat diterapkan dengan baik dan efektif untuk menjadi salah satu instrumen mewujudkan pemilu yang jujur dan adil. Perbaikan sistem penanganan meliputi perbaikan regulasi; penguatan kapasitas dan profesionalisme penegak hukum pemilu; dan peningkatan kesadaran hukum seluruh pemangku kepentingan pemilu. Tanpa melakukan itu, sistem penanganan tindak pidana pemilu akan selalu jalan di tempat dan tidak akan berhasil guna dalam menopang perwujudan pemilu yang jujur dan adil

6. REKOMENDASI

Dalam proses penegakan hukum Pemilu dan Pemilukada yang meliputi berbagai aspek hukum yaitu tata Negara, administrasi Negara, pidana dan  perdata menyebabkan penanganannyapun melibatkan beberapa lembaga peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Peradilan umum.

Hal ini menyebabkan dapat terjadi putusan satu lembaga peradilan bertentangan dengan putusan lembaga peradilan lain atau dapat terjadi juga putusan suatu lembaga peradilan  misalnya putusan MK tentang penggelembungan suara yang melibatkan penyelenggara Pemilu yang jelas juga merupakan tindak pidana pemilu tidak terproses secara pidana.

Dari gambaran tersebut memperlihatkan  betapa rumitnya penegakan hukum dalam proses pemilu dan pemilukada. Dilain sisi lembaga pengawas Pemilu yaitu Bawaslu dan jajarannya tidak lebih dari tukang pos yang tugasnya dalam penegakan hukum pemilu dan Pemilukada  meneruskan kasus yang mengandung unsur pidana ke polisi dan pelanggaran administrasi ke KPU. Hal ini menambah rumit penegakan hukum dalam Pemilu dan Pemilukada.

Untuk mengatasi masalah-masalah penegakan hukum pemilu tersebut, materi peraturan perundang-undangan pemilu harus dilengkapi, diperjelas, dan dipertegas. Yang tak kalah penting adalah memperkuat lembaga-lembaga penegak hukum pemilu agar mampu bekerja secara efektif.

Dalam rangka memperbaiki dan menata ulang penegakan hukum Pemilu dan Pemilukada dimasa mendatang perlu dipikirkan pembentukan peradilan khusus Pemilu dan Pemilukada yang  menangani semua pelanggaran pemilu baik itu pelanggaran pidana, pelanggaran administrasi serta sengketa Tata Usaha Negara.

Referensi

  1. Barda Nawawi Arief, Upaya Non Penal DalamKebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bahan Seminar Kriminologi VI di Semarang, 16-18 September 1991
  2. Djoko Prakoso, 1987, Tindak Pidana Pemilu, Jakarta, Sinar Harapan
  3. Topo Santoso, 2006, Tindak Pidana Pemilu, Jakarta, Sinar Grafika,
  4. Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction: Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (diterjemahkan oleh Wishnu Basuki). Tata Nusa Jakarta 2001
  5. Dedi Mulyadi, 2012,  Kebijakan Legislasi tentang Sanksi Pidana Pemilu Legislatif Di Indonesia dalam Perspektif Indonesia, Jakarta, Gramata Publishing,
  6. http://perludem.org/2012/02/09/penegakan-hukum-pemilu/di sunting tanggal 15 Desember 2019
  7. https://www.voaindonesia.com/a/ilr-348-vonis-pidana-di-pemilu-2019/5113837.html. Disunting tanggal 16 Desember 2019
  8. http://rumahpemilu.org/perludem-rekomendasikan-perbaikan-penegakan-hukum-pidana-pemilu/, disunting tanggal 16 desember 2019
  9. https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5bc40aaec6160/perbuatan-perbuatan-yang-termasuk-tindak-pidana-pemilu/, disunting tanggal 15 desember 2019
  10. https://business-law.binus.ac.id/2018/12/26/penegakan-hukum-masalahnya-apa/ disunting tanggal 15 desember 2019
  11. http://m.tribunsatu.com/read-9623-2019-08-20-%E2%80%9Csentra-gakkumdu-masalah-dan-solusi-penegakkan-hukum-pidana-pemilu%E2%80%9D-.html#sthash.xqajWeM2.dpbs disunting tanggal 15 desember 2019
  12. https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53344de94f6dc/hakim-dituntut-paham-tindak-pidana-pemilu/
  13. https://nasional.kompas.com/read/2019/04/09/18190341/bawaslu-temukan-548-pelanggaran-pidana-pemilu-ini-paparannya, disunting tanggal 15 desember 2019
  14. https://kabar24.bisnis.com/read/20190327/15/905006/masyarakat-enggan-jadi-saksi-praktik-politik-uang,disunting tanggal 16 desember 2019
  15. https://bontangpost.id/65594-whistle-blower-dalam-penegakan-hukum-pemilu/ | Bontang Post, disunting tanggal 16 Desember 2019
  16. https://fajar.co.id/2019/04/10/kompetensi-bawaslu-dalam-mengawal-pemilu-demokratis/, disunting tanggal 14 desember 2019
  17. https://kabar24.bisnis.com/read/20190327/15/905006/masyarakat-enggan-jadi-saksi-praktik-politik-uang,disunting tanggal 16 desember 2019

Peraturan Perundangan:

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum;
  2. Undang Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
  3. Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada
  4. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan dan Pemilihan Umum
  5. Perbawaslu Nomor 19 tahun 2017 beserta perubahannya Perbawaslu Nomor 10 Tahun 2018

Catatan Kaki :

[1] http://perludem.org/2012/02/09/penegakan-hukum-pemilu/di sunting tanggal 15 Desember 2019

[2] https://www.voaindonesia.com/a/ilr-348-vonis-pidana-di-pemilu-2019/5113837.html. Disunting tanggal 16 Desember 2019

[3] ibid

[4] http://rumahpemilu.org/perludem-rekomendasikan-perbaikan-penegakan-hukum-pidana-pemilu/, disunting tanggal 16 desember 2019

[5] Barda Nawawi Arief, Upaya Non Penal DalamKebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bahan Seminar Kriminologi VI di Semarang, 16-18 September 1991, hlm.2.

[6] Djoko Prakoso, 1987, Tindak Pidana Pemilu, Jakarta, Sinar Harapan, Hlm. 148.

[7] Topo Santoso, 2006, Tindak Pidana Pemilu, Jakarta, Sinar Grafika, Hlm. 1.

[8] Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum;

[9] https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5bc40aaec6160/perbuatan-perbuatan-yang-termasuk-tindak-pidana-pemilu/, disunting tanggal 15 desember 2019

[10] Dedi Mulyadi, 2012,  Kebijakan Legislasi tentang Sanksi Pidana Pemilu Legislatif Di Indonesia dalam Perspektif Indonesia, Jakarta, Gramata Publishing, Hlm. 383

[11] Dedi Mulyadi, ibid, hal: 385 s/d 389.

[12] Pasal 481 ayat (1) UU 7/2017

[13] Pasal 482 ayat (2), (4), dan (5) UU 7/2017

[14] Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK

[15] Pasal 10 ayat (2) UU MK

[16] Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction: Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (diterjemahkan oleh Wishnu Basuki). Tata Nusa Jakarta 2001

 

[17] https://business-law.binus.ac.id/2018/12/26/penegakan-hukum-masalahnya-apa/ disunting tanggal 15 desember 2019

[18] http://m.tribunsatu.com/read-9623-2019-08-20-%E2%80%9Csentra-gakkumdu-masalah-dan-solusi-penegakkan-hukum-pidana-pemilu%E2%80%9D-.html#sthash.xqajWeM2.dpbs disunting tanggal 15 desember 2019

[19] https://nasional.kompas.com/read/2019/04/09/18190341/bawaslu-temukan-548-pelanggaran-pidana-pemilu-ini-paparannya, disunting tanggal 15 desember 2019

 

[20] Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction: Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (diterjemahkan oleh Wishnu Basuki). Tata Nusa Jakarta 2001

 

[21] ibid

[22] https://kabar24.bisnis.com/read/20190327/15/905006/masyarakat-enggan-jadi-saksi-praktik-politik-uang,disunting tanggal 16 desember 2019

[23] https://fajar.co.id/2019/04/10/kompetensi-bawaslu-dalam-mengawal-pemilu-demokratis/, disunting tanggal 14 desember 2019

[24] https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53344de94f6dc/hakim-dituntut-paham-tindak-pidana-pemilu/, disunting tanggal 16 desember 2019

 

[25] https://bontangpost.id/65594-whistle-blower-dalam-penegakan-hukum-pemilu/ | Bontang Post, disunting tanggal 16 Desember 2019

[26] Lawrence M. Friedman, American Law: An Introduction, Second Edition, Penerjemah : Wishnu Basuki, Jakarta : PT. Tatanusa, 2001, h.. 7

[27] Ibid. hal : 12

(Editor\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar