Narasi `Kriminalisasi Ulama` Terus Dipakai Oposisi Serang Jokowi

Minggu, 08/12/2019 15:20 WIB
Pengamat politik AS Hikam (Foto: Merahputih.com/Ponco Sulaksono)

Pengamat politik AS Hikam (Foto: Merahputih.com/Ponco Sulaksono)

Jakarta, law-justice.co - Narasi `kriminalisasi ulama` menjadi bagian penting di pentas perpolitikan Indonesia pasca-reformasi dan khususnya di era Presiden Jokowi. Bahkan, tuduhannya tak jarang bersifat tendensius.

Dilansir dari Merahputih.com, Minggu (8/12/2019), pengamat politik Muhammad AS Hikam mengatakan, dalam ujaran para pemakainya, kata `kriminalisasi ulama` adalah sebuah senjata narasi yang ampuh untuk menghadapi, bertahan, dan menyerang lawan.

"Walaupun tergantung kepada konteks wacana dan praksis politiknya, tetapi kata tersebut aeakan sudah menjadi `milik` dan `trade mark` dari kelompok Islam politik yang beberapa tahun belakangan semakin asertif berperan sebagai oposisi dari penguasa," kata Hikam dalam keterangannya, Sabtu (7/12).

Berbeda dengan beberapa narasi khas lainnya, seperti syariah, kaffah, khilafah, kata `kriminalisasi ulama` merupakan invensi baru yang khusus untuk mempersenjatai diri dalam perlawanan terhadal penguasa dan pihak-pihak yang anti terhadap kelompok Islam politik.

"Itulah sebabnya narasi kriminalisasi ulama hanya berlaku ketika diujarkan oleh pendukungnya, termasuk siapa yang berhak memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai korbannya. Bisa saja orang luar dianggap korban, tetapi ia harus menjadi bagian yang diapropriasi untuk kepentingan kelompok tersebut," jelas Hikam.

Sebagai contoh, dalam kasus hujatan terhadap Wapres Ma`ruf Amin oleh Jafar Shodiq. Caranya, kasus tokoh FPI itu diperhadapkan dengan laporan terhadap Sukmawati yang dianggap melakukan penistaan agama.

"Model pilih-pilih tebu seperti ini bisa dicarikan padanannya dalam berbagai kasus lain. Poinnya adalah bahwa klaim terhadap kriminalisasi agama hanya valid jika dimunculkan oleh, atau mendapat restu dari, kelompok tersebut," ungkap akademisi dari President University ini.

Hikam menyarankan agar Pemerintah maupun masyarakat sipil memerlukan peralatan berupa wacana dan narasi tandingan yang efektif. "Penyelesaian legal formal dan, apalagi, pembungkaman terhadap wacana dan narasi tersebut saya kira tak akan bermanfaat," papar dia.

Jika tidak, ini lantas berubah menjadi propaganda politik biasa yang akan kehilangan pengaruhnya dalam waktu yang tak lama.

"Memang media dan media sosial akan bisa terus menjadi corong penyebarluasan wacana dan narasi tersebut, tetapi tetap akan terbatas efektifitasnya," tutup Hikam.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar