Indonesia Diprediksi Alami Krisis Petani

Minggu, 17/11/2019 18:00 WIB
Ilustrasi petani. (Foto: Robinsar Nainggolan)

Ilustrasi petani. (Foto: Robinsar Nainggolan)

Jakarta, law-justice.co - Indonesia diprediksi mengalami krisis jumlah petani dalam kurun waktu 10-15 tahun mendatang. Alih generasi sektor pertanian kepada kaum milenial menjadi perhatian serius. Kondisi ini terlihat dari karakter demografi petani di Indonesia.

Dilansir dari CNBCIndonesia.com, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria menyebut rata-rata usia petani di Indonesia saat ini hampir setengah abad.

"Rata-rata petani di Indonesia berumur 47 tahun. Petani Indonesia akan menjadi krisis pada 10-15 tahun mendatang," kata Arif usai bertemu Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo di kantor Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Senin (11/11/2019).

Tren tersebut diikuti dengan penurunan jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan terus menurun jumlahnya. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam kurun waktu lima tahun terakhir jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan terus menurun porsinya dari 33% menjadi 29%.

Selain itu,sejak tahun 1990-2018 kontribusi pertanian terhadap PDB turun drastis dari 22,09% menjadi sekitar 13%. Serapan tenaga kerja untuk sektor ini juga turun tajam dari 55,3% menjadi 31% pada periode yang sama.



Namun, krisis jumlah petani merupakan sebuah keniscayaan. Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa mengatakan ketika negara semakin maju yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan per kapita, maka terjadi juga perubahan struktural dari semula berbasis pertanian menuju industri dan jasa.

"Akibatnya, jumlah petani akan terus menurun. Apa itu dicemaskan atau tidak, sejarah pembangunan ekonomi di semua negara, selalu terjadi tren jumlah petani menurun, jadi itu suatu keniscayaan," kata Dwi Andreas kepada CNBC Indonesia.

Menurutnya, yang perlu menjadi perhatian adalah masalah kesejahteraan petani. Ia menganggap kesejahteraan masyarakat yang bergantung hidup pada pertanian seharusnya membaik. Menurutnya, penurunan jumlah petani beberapa tahun terakhir diikuti dengan luas lahan pertanian yang tetap.

"Logikanya, luas lahan yang dikuasai petani meningkat, maka kesejahteraannya meningkat. Tetapi nyatanya yang terjadi tidak demikian. Luas lahan yang dikuasai petani menurun, dikuasai pemodal dan mereka yang bukan pertanian," kata Guru Besar IPB ini.

Terkait regenerasi petani, Dwi mencontohkan negara Jepang dan Korea Selatan. Rata-rata usia petani di sana didominasi warga berusia di atas 50 tahun.

"Jepang didominasi 60-70 tahun, Korea 50-60 tahun. Namun yang berbeda kesejahteraan petani di negara maju, tinggi. Itu seharusnya menjadi perhatian pemerintah," ucapnya.

Bagi Dwi Andreas, masalah kesejahteraan petani memang sebuah anomali. Ia mencontohkan lagi tren urbanisasi sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia mengatakan, setiap tahun dalam periode itu sekitar 500.000 rumah tangga petani keluar dari lahannya. Namun, pada saat yang sama pertumbuhan industri manufaktur cenderung menurun.

Pada triwulan III-2019, di tengah kondisi ekonomi yang melambat, kontribusinya antara lain ditopang dari industri pengolahan sebesar 19,62%. Kontribusi industri pengolahan terhadap ekonomi memang pada triwulan III-2019 naik tapi tak signifikan dibandingkan triwulan II-2019 yang sempat mencapai 19,52%. Capaian 19,52% adalah yang paling rendah setidaknya sejak tahun 2014, yang pada 2014 sempat tercatat 21,26%.

"Mereka keluar dari miskin pertanian terjebak masuk ke miskin kota," terang Dwi.

Hal lain yang perlu perhatian adalah perlindungan harga terhadap petani di mana harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras harus mengalami penyesuaian dengan kondisi saat ini. Dwi juga menganggap, anggaran subsidi terhadap pertanian seperti bibit dan pupuk sebaiknya diberikan penuh kepada petani untuk dikelolanya secara mandiri.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar