Dugaan Korupsi Dana Obat ARV (Tulisan-II)

BUMN Farmasi Untung, Nasib Korban HIV/AIDS Buntung

Kamis, 24/10/2019 15:10 WIB
Ilustrasi Test Darah HIV (Foto:Pakistantoday.com)

Ilustrasi Test Darah HIV (Foto:Pakistantoday.com)

Jakarta, law-justice.co - Hampir akhir tahun, Kementerian Kesehatan belum juga mengumumkan lelang pengadaan obat ARV (Antiretroviral). Padahal, tahun lalu, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan juga gagal melakukan tender yang menyebabkan, nasib puluhan ribu penderita HIV/AIDS pengonsumsi obat ARV harus memutar otak menggunakan obat lainnya untuk memperpanjang harapan hidup.

 “Ada guru, ustad bilang ke saya gini, Ibu anak yg HIV itu anak haram jadah. Saya bilang, pak mungkin itu melakukan bapaknya, tapi saya juga nggak mau nuduh. Mungkn bapaknya juga korban, karena sumber masalah ya itu pengedar sehingga akhirnya mereka ketergantungan nih, orang tua dari anak-anak angkat saya ini. Jadi yg haram jadah itu pengedar pak,”

Dialog di atas adalah dialog antara Ropina Tarigan, Bidan Vina (Pendiri Yayasan Vina Smart Era), Panti Khusus Penderita Anak HIV dengan tokoh agama di wilayah pemukiman padat, Tambora, Jakarta Barat.

Sudah jatuh tertimpa tangga, itu gambaran penderita HIV/AIDS yang kini nasibnya terabaikan. Termarjinalkan dari lingkungan keluarga, lingkungan wilayah hingga kini negara pun ikut meminggirkan keberadaan mereka.

Ropina Tarigan atau yang akrab disapa Bidan Vina, merupakan satu dari sekian banyak pegiat kemanusiaan yang peduli terhadap korban HIV/AIDS.

Bidan Vina membuat shelter atau penampungan anak-anak penderita HIV/AIDS. Dengan modal penghasilan dari menolong persalinan, dia mulai membangun lokasi penampungan di bilangan padat penduduk.

Meskipun pada awalnya, mendapat perlakuan diskriminasi dari lingkungan karena penderita HIV/AIDS merupakan warga negara terpinggirkan dan selalu tersisihkan dari kehidupan sosial. Bidan Vina bercerita, untuk menyadarkan masyarakat soal penularan HIV/AIDS tidak mudah. Ada stigma negatif yang harus diluruskan kepada masyarakat terhadap anak-anak penderita HIV.

“Iya itu penolakan. Mereka menyangka bersinggungan, bersalaman, berpengangan akan ketularan. Kenapa kita buat yayasan ini. Salah satunya untuk menampung, lalu untuk menghilangkan diskriminasi. Saya ini orang medis, tapi berani tinggal, makan, berenang, jalan-jalan, nonton sama mereka. Kenapa harus takut?  Jadi bukan perkataan yang jadi perhiasan, tapi  perbuatan. Kita nggak usah banyak omong tapi orang kan bisa lihat,” jelas Vina kepada jurnalis Law-Justice, Vicky M. Manurung.


Ropina Tarigan, Bidan Vina (Pendiri Yayasan Vina Smart Era), Panti Khusus Penderita Anak HIV (Foto:Vicky M. Manurung/Law-Justice.co)

Keberadaan shelter atau penampungan itu juga untuk mengawasi pemberian obat ARV atau retroviral kepada penderita HIV/AIDS anak-anak. Kata dia, banyak anak-anak korban HIV merasa terintimidasi ketika mengonsumsi obat di lingkungan baik tempat tinggal maupun sekolah.

“Kalau di sini mereka itu ramai-ramai. Waktu minum obat, mereka tidak merasa tertekan. Jadi begitu saya  turun nih , sudah disiapin tinggal makan. Tapi kalau di rumah mereka masing-masing, mereka  merasa makan obat sendiri. Pasti ada rasa, ah gitu. Kita yang sakit biasa saja, yang cuma 1 papan obat 5 hari ada yang 2 sampai 3 kali, kalau sudah merasa sehat ya sudah tidak minum lagi kan,” jelasnya.

“Jadi dulu saya bawel banget, kamu ya nggak minum, ibu-ibu hamil yang HIV positif itu, itu karena  kasih sayang saya. Kalau mereka nggak mau minum obat, saya langsung bilang kalian dilahirkan ke dunia ini sehat. Obat  sudah ada sekarang kenapa nggak dimakan. Kalian yang berdosa kalau nggak makan, gitu saja saya bilang. Saya nyemangatin saja sekarang,” tambahnya.

Meski pun sudah memiliki shelter, ada saja anak-anak yang enggan mengonsumsi obat. Bahkan, ada salah satu anak binaanya yang meninggal karena terintimidasi saat mengonsumsi obat di sekolah. Anak tersebut dianggap mengonsumsi narkoba karena selalu meminum obat ARV pada jam istirahat sekolah.

Kata Bidan Vina, perlakuan guru dan pihak sekolah membuat anak asuhnya menjadi depresi sehingga memutuskan untuk tidak mengonsumsi obat ARV tersebut yang berujung pada menguatnya virus dan imunitas yang menurun sehingga sang anak meninggal dunia.

“Ini anak kok minum apaan, terus dia lihatin. Suatu hari digrebek, ditanya obat apa itu? Terus anak ini kan terpojok  banget. Saya kagetnya gini lho, pas hari itu ketahuan anak ini akhirnya ngaku, dia bilang saya memang HIV. Ini obat HIV, sembari nangis dia. Hari itu, semua sekolah tahu, teman-temannya tahu. Bayangin, akhirnya dia nggak mau minum obat,” katanya.

“Terus mulailah dia kena tokso, virus itu sudah naik ke otaknya. Akhirnya jalannya sudah mulai susah, nyeret-nyeret. Jadi dia depresi banget, dia nggak mau minum obatnya. Kita lakukan penyuluhan ke sekolah, ngobrol sama gurunya, kepala sekolahnya. Kita ini, kalau caranya seperti ini, kita lho yang berdosa saya bilang begitu. Anak ini bukan pengguna narkoba, tapi dia adalah anak korban,” tambahnya.

Bidan Vina melanjutkan,“Setelah dia kena tokso, dia minum sih obatnya tapi sudah tidak teratur seperti dulu. Akhirnya kena pula dia SMC, itu megalo virus, itu matanya . Mulai buta, awalnya masih samar-samar, lama-lama  buta sebelah kanan. Terus drop, akhirnya kita kemarin kehilangan satu anak,” katanya dengan raut muka sedih.

Ada Kongkalikong Kemenkes dan BUMN Farmasi?

Meskipun tingkat konsumsi obat ARV  kombinasi Tenofovir, Lamivudin dan Efavirenz (LTE) bagi penderita masih sekitar  16 persen dari total jumlah penderita yang sudah mengalami pengobatan sekitar 180.843 jiwa.

Jumlah ini menurut Sabam Manalu (Kordinator Advokasi dan Hak Asasi Manusia IAC) masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan jumlah perkiraan penderita HIV yang berada di angka lebih dari 600 ribu jiwa.

“Nah yang pernah melakukan pengobatan itu 200 ribuan, sementara yang dalam pengobatan masih 16 persen atau 108 ribu, gap-nya masih banyak banget . Nah kita pengen itu (yang dalam pengobatan di 640 ribu, berarti semuanya di tahun 2020,” jelasnya.

Dengan adanya gagal tender ini, dipastikan akan ada peningkatan korban atau meningkatnya keparahan penderita HIV.

“Sudah menjadi semakin seriuslah ancamannya. Nah harapan kita, kenapa tadi dikejar dan kenapa yang 90 itu penting karena yang sudah menjalani pengobatan  dan virus itu tertekan. Jadi angka HIV barunya menurun, tapi yang AIDS-nya justu semakin naik,” ungkapnya.


Struktur Harga Obat Antiretroviral (ARV) 

Sabam mengkhawatirkan, pengadaan obat untuk tahun 2020 akan gagal juga. Karena hingga pembukuan akhir tahun tidak ada pengumuman lelang dari pemerintah.’

“Yang ada sekarang ya yang dari Global Fund itu. Seharusnya tender itu sudah ada pengumuman tender leang terbatas untuk 2020. Tapi sampai sekarang kita belum nemu informasi itu. Makanya kita sampai sekarang masih deg-degan, kok belum ada informasi lagi mengenai lelang ini,” katanya.

Divisi Advokasi Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra), Gulfino Guevarrato menilai permainan diduga melibatkan orang di Kementerian Kesehatan dan dua perusahaan BUMN Farmasi, Indofarma dan Kimia Farma.

Hal itu terlihat dari tingginya selisih harga obat yang ditawarkan perusahaan BUMN farmasi kepada Kementerian Kesehatan. Padahal sejak 2004, pemerintah menyediakan obat ARV yang diberikan secara gratis pada ODHA. Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1190 Tahun 2004 tentang Pemberian Gratis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan Obat ARV untuk HIV/AIDS.

“Ada 200 ribuan yang tidak jelas. Yang mana ini ngomong di tahun 2018 kita bisa selamatkan dengan harga sesuai harga jual sekitar Rp 404 ribu, ada Rp 200 ribu komponen yang tidak jelas. Kalau kemenkes menjual Rp 200 ribu saja, perbulannya negara bisa saving Rp 34 miliar. Kalau 2016, negara bisa saving sampai Rp 117 miliar per tahunnya. Itu gambarannya, faktor lainnya adalah intervensi negara terhadap pembiayaan obat ini masih didominasi pendanaan asing. APBN untuk obat ini sekitar 109 triliun, itu hanya mencakup 17% saja, kalau dimaksimalkan dengan harga Rp 200 ribu tadi, cakupannya bisa lebih banyak.” katanya.

“Ternyata ada masalah, yang sebenarnya ingin kami pastikan, apakah mereka situasi yang lex spesialis, bea masuk harus ada. Padahal dari Peraturan Menteri Keuangan itu seharusnya nol rupiah. Apakah ada lex speasialis lain seperti biaya distribusi, kita perlu konfirmasi ke Kemenkes sejauh mana itu mengintervensi peningkatan harga. Sejauh ini Kemenkes masih belum membuka diri untuk berdiskusi secara intens soal lonjakan harga ini,” tambahnya.

Sementara itu, BUMN bidang farmasi, PT Kimia Farma Tbk dan Indofarma Tbk menolak memberikan komentar terkait persoalan gagal lelang obat ARV tahun anggaran 2018-2019. Law-Justice sudah berusaha mengonfirmasi kepada jajaran manajemen dan komisaris terkait persoalan ini.

Sedangkan Kementerian Kesehatan hingga tulisan ini diturunkan belum memberikan jawaban soal transparansi lelang obat ARV dan penyebab gagalnya lelang obat ARV oleh dua BUMN bidang farmasi.

Sedangkan Baby Rivona Nasution, Koordinator nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) berpendapat, perlu ada kajian dari pemerintah soal harga ARV yang mahal.

“Kami juga bertanya-tanya kenapa harga yang dipatok ke pemerintah bisa berkali-kali lipat lebih mahal dibandingkan harga aslinya di India. Kalau lebih banyak pilihan, pemerintah pasti punya daya tawar dan daya tekan lebih untuk perusahaan farmasi yang ikut tender. Kami khawatir dengan ketersediaan yang macet, kalau sampai putus obat. Itu akan berdampak pada temuan-temuan inspeksi baru,” ujarnya.

Sedangkan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengakui belum mendalami dugaan duopoli yang dilakukan perusahaan BUMN bidang farmasi, Kimia Farma dan Indofarma.

Menurut  Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Saragih, pihaknya belum bisa memberikan penjelasan terkait dugaan duopoli pengadaan obat Antriretroviral tersebut,“Saya belum mempelajari ya, mohon maaf saya tidak bisa menjawab”, katanya.

ARV Bersubsidi Merembes ke Pasar Bebas

Kecurigaan bocornya obat ARV bersubsidi ke pasar obat umum makin mencuat. Obat yang seharusnya ada di rumah sakit, puskesmas dan shelter untuk penderita HIV/AIDS, bisa didapatkan bebas di pasar obat Pramuka.

Pencarian obat untuk HIV dilakukan tim law-justice.co di Pasar Pramuka. Pasar Pramuka memang dikenal sebagai tempat pembelian obat-obat untuk kesehatan atau obat-obat yang biasa digunakan dalam dunia medis.

Pencarian ke beberapa toko pun dilakukan, namun tidak semua toko menjual obat untuk penderita HIV, tapi menurut beberapa toko obat-obat untuk penderita HIV bisa dipesan bahkan menurut para penjual yang dikonfirmasi, obat ARV bisa mereka dapatkan bila konsumen ingin membelinya.

Lalu menurut informasi dari orang sekitar Pasar Pramuka, tim pun diarahkan ke sebuah toko yang biasa disebut toko kuncen yang dikatakan tempat mencari obat-obat yang “aneh”.

Toko yang berada di tengah gedung Pasar Pramuka tersebut memang terlihat ramai pembeli. Baik itu tua muda seperti mengantri di toko tersebut. Dengan sibuknya, seorang pria separuh baya dan istrinya serta beberapa pelayannya melayani para konsumen dengan cekatan.

Tiba saat tim dilayani, tim pun bertanya apakah ada obat untuk penderita HIV (Retriford, FDC, Lamifudin, Efafirence)? Pria paruh baya yang juga pemilik toko tersebut pun menjawab dari beberapa obat yang disebut itu hanya lamifudin yang ada. Harga obat tersebut dijual dengan harga Rp 225.000,-

Kembali tim pun menanyakan kepada toko yang dianggap toko koncian tersebut, ia mengatakan bahwa obat ARV sedang kosong tapi bila ingin membelinya dia akan menyediakannya.

ARV Langka, ODHA Makin Terpuruk

Sementara itu, salah satu aktivis pendamping ODHA dan juga psikolog Baby Jim Aditya meminta pemerintah harus lebih serius menangani kelangkaan obat ARV ini. Kata dia, perlu ada penanganan terhadap penderita HIV/AIDS yang memiliki banyak masalah selain keberadaan obat juga stigma dari masyarakat.

“Berarti tantangan makin besar yang dialami oleh ODHA ya, berarti ODHA harusnya kan lebih banyak mendapakan dukungan, terutama kan keuangan, karena obatnya memang harus dibeli kalau terjadi kelangkaan,” ujarnya.

Masalah ekonomi ODHA juga mendapatkan perhatian, jika pemerintah gagal mengadakan obat gratis bagi ODHA selama setahun ini.

Pasti tambah banyak tantangannya, karena itu keberpihakan sebeanrnya harus besar kepada ODHA. Kalau tidak, bagaimana dia akan mempertahankan cara hidup sehat. Kan dia butuh biaya,” ungkapnya.

Sama seperti Baby, Bidan Vina mengakui obat ARV sangat penting bagi anak asuhnya. Bahkan, terkadang dia menggunakan obat jenis yang berbeda apabila obat ARV yang biasa dikonsumsi tidak bisa didapat di rumah sakit atau puskesmas.

“Sampai saat ini setahu saya sih, waktu kemarin sih sedikit agak terhambat. Tapi nggak sampai habis sama sekali sih. Cuma kadang-kadang habis, diganti obat lain. Tapi tetap fungsinya hampir sama,” ujarnya.

Sedangkan Baby Rivona Nasution, Koordinator nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) dan juga penderita HIV/AIDS menilai perlu pemangkasan distribusi hingga ke level terbawah khususnya di daerah.

Banyak ODHA yang kesulitan dan enggan minum obat karena akses untuk mendapatkan obat sulit akibat jarak tempuh yang terlampau jauh. Hal inilah yang membuat tingkat pengguna obat ARV untuk ODHA masih sangat rendah.

“ Jarak yang cukup jauh. Dikasih sebulan sekali. Enggak semua orang bisa meluangkan waktu mengambil obat di tingkat provinsi sebulan sekali. Transportasi jadi mahal kalau jaraknya jauh. Obatnya gratis, tapi transportnya mahal kalau di daerah. Bisa 500 ribu pulang-pergi,” katanya.


Baby Rivona Nasution, Koordinator nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) (Foto:Januardi Husin/Law-Justice.co)

“Kedua, ada stigma di masyarakat. Kalau ketahuan gue minum obat AIDS, gimana respon masyarakat? Itu yang besar. Membuat orang-orang seperti saya enggan berbicara secara terbuka kepada publik dan enggak mencari akses untuk kesehatannya. Karena akan distigma,” tambahnya.

Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan harus bergerak cepat untuk memulihkan hak korban ODHA untuk mendapatkan obat Antiretroviral (ARV). Jangan sampai, kasus kematian penderita ODHA meningkat dan melonjaknya angka penularan HIV pada anak-anak dari orang tua yang terinfeksi.

Kontribusi Laporan : Januardi Husin, Bonaiki Siahaan, Teguh Vicky Andrew, Nicoalus Tollen

(Tim Liputan Investigasi\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar