Tb Ardi Januar, Wartawan Independen

Rocky Gerung, Sang Petualang yang Tak Pernah Jadi Pemenang

Selasa, 15/10/2019 10:33 WIB
Akademisi Rocky Gerung (Foto: Detik)

Akademisi Rocky Gerung (Foto: Detik)

Jakarta, law-justice.co - Kompetisi sepakbola tidak hanya membincangkan soal jalannya pertandingan. Tetapi juga membahas banyak hal. Mulai dari pemain bintang, pelatih, official, wasit, hakim garis, tingkah polah suporter, pedagang asongan, hingga komentator dan pengamat pertandingan.

Begitu juga dengan politik. Pilpres 2019 kemarin, pemberitaan tidak melulu soal calon yang bertarung, tetapi juga berhasil membesarkan narasumber samping alias komentator. Salah satunya Rocky Gerung.

Rocky menjadi komentator politik yang berhasil mendapat tempat di hati publik. Narasi, retorika dan kosa kata yang dia miliki menjadi keunggulan tersendiri dibanding para komentator politik lainnya. Rocky menjadi narasumber pendongkrak ratting dan mampu menjadi idola baru kalangan oposan.

Meski bukan capres, Rocky ikut terbawa sibuk. Undangan bicara di televisi terus berdatangan. Undangan off air ke sejumlah daerah tak pernah berhenti. Twitter dia selalu menjadi rujukan. Kata-kata dia menjadi fatwa bagi orang yang baru melek politik. Sampai muncul istilah "No Rocky, No Party".

Rocky bukan orang baru di politik. Dia anak Menteng dan sudah menjadi aktivis sosialis sejak Orba berkuasa. Bersama sejumlah tokoh, dia juga pernah dirikan Institut Setara. Rocky juga dikabarkan sangat dekat dengan SBY dan menjadi mentor politik AHY. Setidaknya kedekatan itu dibuktikan ketika Rocky mendampingi SBY nyoblos Pilpres di Singapura.

Pilpres sudah selesai. Dengan melalui berbagai dinamika, Jokowi-Amin akhirnya dimenangkan dan Prabowo-Sandi dikalahkan. Ada tiga kelompok yang menyikapi hasil pilpres. Pertama, kelompok yang memilih move on dan kembali bersatu demi keutuhan Bangsa.

Kedua, kelompok yang belum move on dan memilih tetap berseteru. Sementara yang ketiga adalah kelompok yang terancam kehilangan eksistensi karena pertunjukan telah usai.

Bagi saya, Rocky adalah bagian dari kelompok ketiga. Dia sadar betul pilpres kemarin telah membesarkan namanya. Bila seluruh pertunjukan selesai, eksistensi dia juga ikut selesai.

Karena itu, dia perlu manuver baru untuk menjaga eksistensi. Rocky sadar, kelompok baper yang tak terima hasil pemilu masih lumayan jumlahnya. Mereka adalah pasar yang jelas bagi eksistensi Rocky.

Rocky kembali muncul membawa narasi baru. Kali ini, Prabowo menjadi sasarannya. Seperti dikutip tulisan Ilham Bintang, Rocky mengaku akan safari ke banyak tempat agar pendukung Jokowi mengusir Prabowo dari koalisi mereka.

Dia juga menyebut "Enggak butuh tokoh seperti dia (Prabowo), nyampah-nyampahin negri saja,” tandasnya.

Sontak banyak loyalis Prabowo bereaksi menyikapi statmen Rocky. Jujur, saya belum mendengar secara verbal apa yang disampaikan Rocky, tapi saya cukup percaya dengan Ilham Bintang. Secara Bang Ilham adalah wartawan senior, meski saat ini lebih banyak membidangi media tentang gosip.

Jika benar Rocky bicara demikian, apakah Rocky salah? Tidak... Karena Rocky butuh eksistensi. Dalam ilmu psikologi, Abraham Maslow pernah mengungkap teori tentang hirarki kehidupan. Eksistensi dan aktualisasi diri menjadi salah satu kebutuhan primer manusia. Dan Rocky sedang sangat butuh itu.

Lantas, sebagai pendukung Prabowo, apakah saya harus marah dengan pendapat Rocky? Tidak juga... Biarkan saja dia bicara dan bersikap. Ini negara demokrasi. Rocky pernah bilang, cara terbaik menghormati aksi badut adalah dengan cara tepuk tangan. Dan saya cukup menikmati pertunjukkan yang dilakukan Rocky.

Sejarah tak bisa bohong. Rocky adalah orang yang sangat mengidolakan Pak Soemitro ayahnya Prabowo. Dia juga sangat mengerti tentang kualitas pemikiran dan ketulusan Prabowo. Tapi sekali lagi, Rocky butuh eksistensi. Kita harus fahami.

Dalam satu kesempatan Rocky pernah bilang, kuda adalah satwa yang paling sensitif dengan psikologis manusia. Orang yang emosionalnya tidak stabil, tak akan pernah mampu menunggangi kuda dengan baik. Bagi Rocky, Prabowo adalah penunggang kuda yang sangat baik.

Dan menurut saya, Rocky tak akan mampu menjadi penunggang kuda. Karena kemampuan dan kebiasaan dia adalah jalan-jalan alias bertualang. Saat dia bosan di satu tempat, dia akan berpaling dan pergi ke tempat lain. Namanya juga petualang.

Manuver Rocky tak perlu disikapi dengan emosi, karena begitulah habitat para petualang yang memang tidak akan pernah menjadi pemenang!

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar