Al Chaidar, dosen dan pengamat teroris

Sel ISIS di Tanah Papua

Kamis, 10/10/2019 16:03 WIB
Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua (indonesiainside.id)

Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua (indonesiainside.id)

Jakarta, law-justice.co - Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu pada beberapa waktu lalu mengatakan bahwa ada kelompok yang berafiliasi dengan ISIS menyerukan jihad di tanah Papua.

Mabes Polri sendiri sudah mendeteksi keberadaan ISIS di tanah Papua sejak 2017, sudah mulai ada 2 tahun ke belakang.

Jaringan itu berencana melakukan pengeboman di Polres Manokwari, tapi berhasil diamankan. Sel aktif ISIS ada di Jayapura, Wamena, Fakfak, Manokwari, Merauke, dan juga di beberapa wilayah di mana sel-selnya memang masih melakukan rekrutmen terhadap para pendatang yang bekerja di sana dan belum ada penduduk asli yang berhasil diajak.

Jaringan ISIS yang ada di Papua memang sudah dideteksi sekitar 2015, menyusul kejadian dibakarnya masjid di Tolikara (Sidney Jones, 29 April 2019, IPAC Report No 56).

Beberapa sel aktif dari Solo mulai mengirimkan kombatan ke Papua. Pengiriman ini terus terjadi meski sudah terdeteksi sejak dua tahun lalu dan kelompok ISIS baru mulai aktif bergerak dalam setahun terakhir. Kelompok MIT (Mujahidin Indonesia Timur) pimpinan Santoso dan Ali Kalora juga pernah mendapat sokongan dana dari sel tidur ISIS di Papua.

Migrasi teroris

Kelompok teroris di Papua semuanya ialah kelompok luar yang bermigrasi dari Maluku (2000) seusai konflik agama di sana. Kelompok JI (Jamaah Islamiyah) dan kemudian bermetamorfosis ke JAT (Jamaah Ansharu Syariah) melebarkan sayap ke Papua karena dilarang kembali ke Jawa untuk menghindari penangkapan.

Migrasi teroris pada 2010 juga menyasar Papua sebagai tempat persembunyian aman (qoidah aminah) yang kemudian diketahui turut didukung jaringan JI yang telah lebih dulu mendiami tanah Kasuari tersebut.

Polisi juga mengendus jika kelompok jaringan teroris ISIS di Papua sempat merencanakan aksi pengemboman di Polres Manokwari pada 2016. Pelaku yang sudah merencanakan dan mempersiapkan serangan itu kemudian berhasil diamankan polisi. Namun, jaringannya tidak dapat ditelusuri karena kendala luasnya wilayah Papua yang terdiri atas tiga provinsi ini. Kelompok Abu Gar dari Ternate, dan kelompok Syahir dari Kalimantan Timur serta Kelompok Arridho dari Sulawesi Selatan mengirimkan banyak anggotanya dan kemudian merekrut sejumlah anggota lainnya di sana.

Rencana pengeboman terungkap kembali pada 2018 dan menunjukkan bahwa mereka terpisah dari jaringan yang bermigrasi pada 2000 dan 2010. Jaringan teroris yang berafiliasi ke ISIS mengembangkan sayap militernya dan terpisah dari jaringan teroris yang berafiliasi dengan Al Qaeda.

Kemudian, berdasarkan hasil pengumpulan informasi intelijen polisi, keberadaan sleeping cells (sel tidur) ISIS diduga telah menyebar ke berbagai wilayah utama di Papua: Jayapura, Wamena, Fakfak, Manokwari, Merauke.

Terakhir, berdasarkan analisis netnografi, ditemukan juga ada sel sangat aktif di Sorong. Mereka masih mencoba merekrut para pekerja untuk bergabung dengan kelompok tersebut. Para pekerja ini terhubung dengan jaringan internet dan aktif menggunakan media sosial untuk menyebarkan ideologi perlawanannya.

Haluan ideologis

Kendati sudah terdapat gerakan separatis OPM (Organisasi Papua Merdeka), mereka tidak pernah melakukan kontak atau berhubungan, apalagi bekerja sama dengan OPM. Meskipun sama-sama berstatus sebagai teroris tamkin (Chaidar, 2017) yang organik dan bersifat teritorial, sel-sel aktif ISIS di Papua tidak pernah berencana menjalin komunikasi, seperti di Mindanao, Filipina Selatan. Orang-orang Papua pun tak menyangka akan berhadapan dengan jaringan ISIS di tanah yang tengah mereka bebaskan.

Keberadaan sel aktif ISIS di Papua terjadi karena--dalam perspektif Asef Bayat (2015)--adanya imagined solidarity (solidaritas yang terbayangkan) atas pembakaran masjid di Tolikara. Mereka berangkat dari berbagai wilayah (Jawa, Kaltim, Sulawesi, Ternate) untuk melakukan aksi pembalasan sebagai wujud solidaritas atas kemalangan yang dialami saudaranya di wilayah lain.

Polisi memperkirakan, ISIS di Papua berbeda haluan dengan kelompok separatis di Papua. ISIS tersebut memiliki jaringan dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di Indonesia. Polisi masih jadi sasaran utama jaringan teror di Indonesia sebab aparat masih terus mengejar mereka. Polisi pernah menangkap sel ISIS di Papua dan Papua Barat pada 2018, tapi karena kurangnya bukti, jaringan mereka tak bisa terpetakan secara komprehensif.

(Editor\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar