Apa yang Dimaksud Surat Pernyataan Sepihak Dalam Hukum Perdata

Minggu, 06/10/2019 10:13 WIB
Kitab Undang - Undang Hukum Perdata (Istimewa)

Kitab Undang - Undang Hukum Perdata (Istimewa)

law-justice.co - Di dalam proses hukum, sering kita temukan di masyarakat maupun di persidangan, bila seseorang (penggugat atau tergugat) mengagung-agungkan surat pernyataan sepihak dari orang lain lalu menjadikannya sebagai senjata pamungkas untuk membuktikan ataupun untuk menuntut suatu hal. Apalagi bila surat pernyataan tersebut sudah dibuat di atas materai yang akan membuat orang bersangkutan menjadi semakin percaya diri.

Tetapi, muncul pertanyaan apakah surat pernyataan yang dikatakan sudah dibuat di atas materai tersebut sudah menjadi alat bukti yang sah dalam persidangan perdata?

Dilansir dari konsultanhukum.web.id pada prinsipnya surat pernyataan tidak punya kekuatan pembuktian apapun dan bukan merupakan alat bukti yang sah,  kecuali surat pernyataan tersebut diakui keberadaan, isi dan keasliannya oleh si pembuat di bawah sumpah di depan persidangan.

Yang merupakan alat bukti yang sah menurut hukum (Pasal 1867 KUH Perdata) adalah akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang seperti akta notaris, sertifikat tanah, putusan pengadilan dan sebagainya yang memang dimaksudkan sebagai alat bukti. Atau akta di bawah tangan yang dibuat oleh para pihak meski tidak dibuat atau diketahui oleh pejabat umum, asalkan itu diakui oleh para pihak. Misal, perjanjian jual beli yang hanya dibuat dan ditandatangani oleh dua orang (para pihak).

Surat pernyataan merupakan surat bukan akta yang kekuatan pembuktiannya sangat kurang, dan masih bisa dipertanyakan isi serta keaslian dari surat tersebut. Lagian surat pernyataan hanya berlaku untuk diri orang yang membuatnya, tidak berlaku atau mengikat bagi orang lain.

Dasar hukumnya, Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3901 K/Pdt/1985 tanggal 29 November 1988 menyatakan “Surat pernyataan yang merupakan pernyataan belaka dari orang-orang yang memberi pernyataan tanpa diperiksa di persidangan, tidak mempunyai kekuatan pembuktian apa-apa (tidak dapat disamakan dengan kesaksian).”

Soal surat pernyataan di atas materai, memang menurut UU Bea Materai (Pasal 2 ayat [1] huruf a UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai) suatu surat yang ingin diajukan sebagai bukti di persidangan harus dibubuhi materai agar sah sebagai alat bukti.

Namun persoalannya apakah surat pernyataan yang sudah dibuat di atas materai punya kekuatan pembuktian?

Jawabnya, kembali pada Yurisprudensi MA No 3901 di atas, kalau orang yang membuat surat pernyataan tersebut bisa dihadirkan di persidangan dan memberikan keterangan bahwa benar surat tersebut dia yang buat dan isinya adalah sesuai dan benar, maka surat pernyataan tersebut punya kekuatan pembuktian. Tapi jika orang yang membuat tidak bisa dihadirkan di persidangan maka surat pernyataan tersebut tidak punya kekuatan pembuktian apa-apa.

Kesimpulannya

Pertama, jika mengajukan bukti berupa surat pernyataan maka wajib menghadirkan orang yang membuat surat tersebut di persidangan untuk mengkonfirmasi dan menjelaskan surat pernyataan tersebut dengan begitu surat pernyataan akan punya kekuatan pembuktian.

Kedua, surat pernyataan diatas materai hanya membuat surat tersebut bisa diajukan sebagai alat bukti di persidangan bukan membuat surat tersebut punya kekuatan pembuktian.

 

Sumber:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
  • Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai
  • Putusan Mahkamah Agung No. 3901 K/Pdt/1985 tanggal 29 November 1988

 

(Bona Ricki Jeferson Siahaan\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar