Daniel W. Gobay, mahasiswa pascasarjana STF Teologi Widya Sasana Malang

West Papua: Orang-orang Terluka Ingin Merdeka

Minggu, 08/09/2019 17:28 WIB
Protes terhadap sikap rasis (Tirto.id‏)

Protes terhadap sikap rasis (Tirto.id‏)

Jakarta, law-justice.co - Kami Papua, berkulit hitam, berambut keriting, dan unik. Semua itu identitas kami.

Hitam bukan buruk bagi kami apalagi dikategorikan jahat.

Hitam juga tidak identik dengan primitif. Kami menerima semua ciri fisik kami. Tidak menolak apalagi protes pada Tuhan, mengapa kami harus diciptakan demikian?

Sejak Indonesia dianeksasi menjadi bagian intregral dari NKRI tahun 1969 melalui jajak pendapat, orang tua kami dipaksa. Ada praktik tidak jujur. Penuh manipulasi dan intimidasi. Mereka diteror. Kenyataan ini, membuat mereka pasrah, di bawah todongan senjata.

Hanya beberapa orang Papua Barat yang dipilih oleh pemerintah ketika Pepera 1969 diselenggarakan. Sekali lagi, semua berlangsung di bawah tekanan, teror, dan ancaman. Sejak itulah penderitaan Papua mulai.

Juga sejak itu, Papua diklaim menjadi bagian penuh dari NKRI. Juga saat itulah, luka bagi Papua. Ada tangisan. Penderitaan. Orang Papua masuk dalam suatu kejahatan sistematis negara.

Kami mudah terbunuh tapi pelakunya tidak pernah diadili secara hukum secara adil. Ini membuat kami sedih. Tersakiti dan tak berdaya. Tak ada proses hukum yang jelas bagi pelaku.

Hal ini terus terjadi hingga kini. Sudah akut dan tak terbendung. Ada suara kenabian yang kami harapkan, namun semua dibatasi. Banyak pemerhati HAM dibunuh. Para pastor dibunuh.

Bangsa Papua Barat hingga ini menyatakan bukan bagian dari Indonesia. Minta referendum. Itulah solusi. Bukan pembangunan infrastruktur jalan.

Sarana jalan dibangun, karena Indonesia tidak tinggal diam. Setiap tahun, mobilisasi bangsa Indonesia di Papua selalu meningkat. Kami marah. Kami tolak, namun berhadapan dengan militer. Kami protes, kami terbunuh. Media dibungkam oleh pemerintah kolonial Indonesia. Rasanya ingin berikan pendapat, tapi diancam. Dipandang tindakan melanggar kesatuan bangsa. Demo damai pun dibatasi.

Kami terus dipaksa menyatakan diri, mencintai Indonesia. Sementara orang Papua, bukan tidak mau mencintai, kami mencintai. Iman kami diajarkan untuk mencintai. Tapi kami menolak dan melawan sistem otoriter pemerintah.

Kami memang diajarkan untuk mencintai musuh. Kami mencintai warga Indonesia. Tetapi sekali lagi, yang kami lawan adalah sistem hukum yang tidak jelas. Kami menuntut hak penentuan nasib sendiri. Kami menuntut pemerintah Indonesia, mewujudnyatakan mukadimah UUD 1945, bahwa kemerdekaan itu adalah hak seluruh bangsa. Inilah yang kami tentang.

Kami lawan mainstream bangsa Indonesia pada kami, sebagai binatang. Kami lawan rasis. Rasis adalah kejahatan berbahaya. Dia membunuh karakter bangsa Papua Barat. Juga rumpun bahkan ras Melanesia.

Kami disebut monyet. Ini bukan rasis yang baru. Lama kami mengalami hal serupa. Kami gampang dibunuh. Sumber daya kami diambil, tapi nyawa kami dihilangkan.

Kami melawan semua ini. Kami melawan dan tuntutan kami hanya satu: referendum. Kami bebas. Supaya nasionalisme kami tidak ganda, tapi kami ras Melanesia.

Indonesia dan propaganda manipulasi

Daerah Papua sebagian besar masih terisolasi. Akses listrik tidak ada. Lampu dan air bersih pun sama. Pendidikan dan kesehatan tidak didapatkan sepenuhnya oleh orang Papua Barat.

Pemerintah Indonesia dibekingi aparat keamanan (TNI-Polri) melakukan propanda palsu yang masif, sistematis, dan akut.

Kami tidak tahu, Indonesia menampilkan aspek-aspek apa saja di dunia internasional. Masyarakat Papua Barat tidak mengikuti seluruh perkembangan pelaporan pemerintah dan media Indonesia mengenai Papua, membuat kami terluka. Ada manipulasi fakta dan data. Soal Papua tidak kami ikuti, banyak negara dibuat percaya oleh Indonesia. Tapi narasi bolong yang dibangun.

Disebut bahwa Papua damai, Papua aman. Papua kondusif. Itulah cara Indonesia menutup kebenaran hakiki di Papua Barat. Indonesia memanipulasi. Setiap pos penjagaan militer ditulis, “Papua Tanah Damai”. Inilah opini penuh rekayasa.

Dunia internasional dibuat tak berdaya oleh Indonesia. Penuh sandiwara. Militer menangkap banyak orang tua. Menangkap mahasiwa. Lalu dipaksa memakai atribut Indonesia. Memang bendera Indonesia, lalu menyerukan NKRI harga mati. Ini tidak adil, tapi dilakukan oleh warga Indonesia di Papua Barat.

Tidak hanya itu. Mereka diperintahkan membacakan teks buatan militer atau pemerintah. Semua unsur manipulasi dilakukan. Dilakukan agar mambangun suatu paradigma bersama, Papua aman. Papua maju dan Papua berkembang. Papua cinta Indonesia.

Sebenarnya semua bertolak belakang dengan kenyataan. Bagaimana kami orang Papua Barat dapat memberitakan yang sebenarnya? Sulit bagi kami. Kami bersyukur bahwa dunia internasional telah membuka mata. Memberi perhatian kepada kami. Mau mendengar jeritan kami bangsa Papua Barat.

Kami bersyukur kepada Tuhan. Para wakil bangsa Papua Barat bisa didengar. Mereka adalah penyambung lidah kami. Mereka bagi kami adalah nabi. Termasuk Anda semua yang sedang mengakselerasi kemerdekaan Papua segera. Anda semua berarti bagi kami ketika media pemerintah, media gereja dikuasai Indonesia. Anda semua hadir bagi kami sebagai nabi.

Untuk itu, kendati intelijen mengintervensi segala urusan dan usaha orang Papua, melawan hukum dan pelanggaran HAM terhadap bangsa Papua Barat, kami percaya kepada Tuhan dan Anda semua, para pemerhati HAM bahwa kemerdekaan akan segera datang menghampiri kami.

Pembungkaman ruang demokrasi

Kami, bangsa Papua Barat heran. Heran karena ruang demokrasi dibungkam. Bingung. Mengapa harus terjadi demikian? Kebebasan mendapat dan mengakses internet pun dicabut pemerintah Indonesia. Kami mempertanyakan itu. Mengapa ruang kebebasan berdemokrasi dan berpendapat dibatasi?

Di Indonesia, wartawan asing dipersulit izinnya. Inilah sikap pemerintah Indonesia. Potret negara demokrasi, ini mau menutupi, penderitaan dan penindasan rakyat Papua Barat, agar tidak diketahui dunia internasional.

Ada luka. Pedih dan tiada harapan. Wartawan asing mengapa tidak bisa meliput. Ada apa? Jika Pemerintah Indonesia telah berbuat hal baik baik dan positif, demi kemajuan dan pembangunan di Papua Barat, maka pemerintah harus memberi ruang kebebasan kepada dunia.

Tapi mengapa dunia dan media asing tidak memiliki izin masuk? Ini tidak ada. Media asing, baik media cetak, maupun elektronik tidak memiliki akses. Jika dilarang maka jelas: ada yang tidak beres. Harus ditegakkan dan diluruskan. Mesti ada pelurusan sejarah.

Jaringan internet dimatikan

Rakyat West Papua baru bangkit dan kebangkitan itu menjadi simbol perlawanan terhadap negara Indonesia yang rasis. Selama ini, bangsa Papua Barat diabaikan. Dipaksa menjadi warga negara Indonesia, namun semua hak warga negara, bagi bangsa Papua Barat dibatasi.

Di saat perayaan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2019, negara yang seharusnya menjunjung kemanusiaan dan martabat, justru merendahkan martabat bangsa Papua Barat. Tentara Nasional Indonesia mengeluarkan kalimat rasis “monyet” kepada mahasiswa asal Papua di Surabaya, Jawa Timur. Peristiwa ini menarik simpati seluruh orang Papua. Semua melayangkan aksi protes. Semua sadar, jika martabatnya dilecehkan.

Kebangkitan tentu ada hubungan dengan peristiwa penistaan, masalah rasisme pihak Indonesia kepada bangsa West Papua. Akhirnya, rakyat West Papua dari semua kota bangkit dan protes. Ada aksi demo di mana-mana. Minta referendum.

Pada 20 Agustus 2019, gedung pemerintah di Manokwari, ibu kota Provinsi Papua Barat dan 22 Agustus 2019, pasar tradisional di Fakfak, di provinsi yang sama dibakar demontran. Dalam peristiwa ini ada korban jiwa. Seorang warga Papua Barat, yang berlari menghindari pembakan gas air mata ditikam orang tak dikenal.

Beberapa peristiwa di atas hanya sebagian. Inti dari semua ini, kami membutuhkan Anda. Tanpa Anda sekalian usaha kami menjadi sia-sia.

(Editor\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar