Dibalik kebijakan impor gila-gilaan (Tulisan-1)

Keran Dibuka Lebar, Mafia Pangan Merajalela. Siapa di Baliknya?

Minggu, 28/07/2019 11:34 WIB
Kartel pangan dan janji Presiden Jokowi (Ilustrasi: Kompasiana)

Kartel pangan dan janji Presiden Jokowi (Ilustrasi: Kompasiana)

Jakarta, law-justice.co - Ironis! Sebagai negara agraris dengan kekayaan alam berlimpah, kebutuhan pangan kita masih banyak ditopang oleh produk impor. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan hal itu. Pada periode Januari – November 2018, impor sejumlah komoditas masih terbilang tinggi. Biji gandum dan meslin, impornya mencapai 9,2 juta ton, gula (4,6 juta ton), garam (2,5 juta ton), kedelai (2,4 juta ton), serta beras (2,2 juta ton). Impor jagung, bawang putih dan tepung terigu juga masih besar.

Pemerintah kerap berdalih bahwa kebijakan impor diambil semata-mata untuk memenuhi kebutuhan domestik dan menstabilkan harga. Itu benar, karena faktanya produktivitas sektor pertanian dan peternakan kita yang merupakan sumber utama pangan, terus menurun. Kekurangan suplai mau tak mau harus ditutupi dengan produk impor. Kalau tidak, maka kelangkaan barang dapat memicu kenaikan harga yang justru dapat menimbulkan dampak sosial yang lebih luas. 

Idealnya memang seluruh kebutuhan pangan kita terutama beras, dapat dipenuhi dengan produk domestik. Meski terpaksa impor, seharusnya kebijakan ini dapat terus ditekan. “Impor itu harus dikaitkan dalam konteks membangun dan meningkatkan produksi pangan kita. Kalau kita hanya sekadar main impor terus, tudingan bahwa impor dilakukan demi kepentingan sebagian orang menjadi sangat besar kemungkinan terjadi,” kata Piter Abdullah Redjalam, direktur riset Centre of Reform on Economics (CORE) Indonesia kepada Law-justice.co.

Sejatinya, itulah yang pernah menjadi cita-cita calon presiden Joko Widodo saat kampanye presiden 2014 silam. Dia menyebut akan menghentikan kebijakan impor pangan jika terpilih menjadi presiden bersama wakilnya, M. Jusuf Kalla.

 

Kampanye Jokowi 2014: Ada Rente yang Sengaja Membiarkan Impor di Indonesia (Foto: Kompas)

"Kita harus berani stop impor pangan, stop impor beras, stop impor daging, stop impor kedelai, stop impor sayur, stop impor buah, stop impor ikan. Kita ini semuanya punya kok," kata Jokowi di Gedung Pertemuan Assakinah, Cianjur, Jawa Barat, Rabu (2/7/2014).

Nyatanya, hingga kini pemerintah masih tetap melakukan impor. Ada empat komoditas yang impornya masih terbilang tinggi, yakni beras, gula, garam, dan jagung. Sejumlah kalangan menilai kebijakan impor sudah gila-gilaan sehingga banyak petani menjerit. Apalagi impor kerap dilakukan justru pada saat masa panen.

Ombudsman beberapa waktu lalu mensinyalir produk gula impor sudah merembes ke pasar tradisional untuk kebutuhan gula konsumsi. Hal ini tentu akan mengganggu stabilitas produksi gula petani dan berdampak pada penurunan harga gula tebu petani. Mereka juga mencatat tingginya impor garam industri selama periode 2015-2018. Impor komoditas ini bahkan naik dengan total impor sebesar 12,3 juta ton dan puncaknya terjadi di 2018 yang mencapai 3,7 juta ton.

Hingga kini kita masih belum mampu memutus impor. Padahal impor ini selain menyengsarakan petani juga akan menguras devisa yang dapat menghancurkan rupiah serta membuat defisit neraca perdagangan. Kebijakan impor memang sebaiknya ditekan atau dihilangkan saja. Kalaupun terpaksa dilakukan maka kondisinya harus pada saat yang memang sangat diperlukan.

Pejabat salah urus

Masalahnya banyak pihak bermain terutama para pemburu rente agar kebijakan impor terus dipertahankan. Belum lagi peran mafia pangan yang masih cukup besar dalam rantai distribusi dan penentu harga. Tapi menurut pengamat ekonomi Faisal Basri hal itu terjadi karena pejabat pemerintah dalam hal ini Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukito, yang salah urus. Dia menuding Enggar, demikian sang menteri akrab disapa, telah memuluskan impor dengan membuat Praturan Menteri untuk kuota impor yang tinggi. Menurutnya, keran impor yang dibuka terlalu lebar memiliki rente atau keuntungan yang besar dan memiliki masalah yang besar.

 

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito (foto: Nusantara news)

Pembatasan secara ketat impor seharusnya bisa dilakukan jika memang ada komitmen dan sikap keberpihakan para menteri. Persoalannya ketika jabatan menteri dipegang seorang politisi, hal itu kerap berpotensi menciptakan kolusi dengan para pengusaha pemburu rente dari kebijakan impor tersebut.

Di Kabinet Kerja Jokowi ada ada nama Enggartiasto Lukito, petinggi Nasdem yang karirnya dimulai pada bidang properti. Pada 1990-an, dia tercatat sebagai eksekutif di Bimantara Property. Belakangan dia ikut mendirikan Partai Nasdem bersama Surya Paloh dan Jan Darmadi, pengusaha properti pemilik Hotel Mandarin, Mercure Ancol, Jakarta Theater dan Setiabudi Building.  

Selama Kementerian Perdagangan dipimpin Enggar, mantan politisi Golkar ini, impor seolah menjadi solusi instan saat negara menghadapi persoalan kelangkaan komoditas primer, terutama beras. Dalil yang kerap ia sampaikan adalah: jika tidak impor maka akan terjadi kekecauan karena Indonesia mengalami defisit beras akibat lahan pertanina terus tergerus.

Menteri Enggar menyebut impor dinilai penting karena Indonesia terancam defisit beras. "Ada dua pilihan. Kalau impor pasti di-bully, kalau tidak impor siapa pun pemerintahnya akan jatuh dengan chaos. Itu konsekuensi politik yang ada," ujarnya saat berkunjung ke kantor Transmedia, Kamis (14/9/2018).

Dia Benar, ada beberapa komoditas yang memang perlu diimpor karena produksinya di dalam negeri tidak mencukupi. Tetapi menurut sumber Law-justice.co Enggar sengaja menambah impor karena dia mendapat kickback dari importir.

Ekonom Faisal Basri bahkan terang-terangan menuding menteri perdagangan yang juga pengusaha properti itu menikmati uang triliunan dari izin impor.

Enggar sendiri merespons pernyataan tersebut dengan santai saja. Menurut dia seperti disampaikannya di media, keputusan impor yang diambilnya sudah sesuai dengan prosedur. Artinya, sudah disepakati dalam rapat koordinasi yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, yang juga dihadiri Menteri Pertanian, Direktur Utama Bulog serta perwakilan dari Kementerian BUMN. Dia menambahkan dirinya tidak pernah membuka keran impor, kecuali ada keputusan rakor yang mengizinkan impor.

Enggar benar saat menjelaskan alur keputusan impor. Tetapi seharusnya kebijakan ini dibarengi dengan upaya merevitalisasi sektor pertanian yang terkesan terbengkalai. Bahkan Enggar seolah memanfaatkan kondisi lahan pertanian yang terus tergerus sebagai legitimasi menerapkan kebijakan impor.

Menurut HS Dillon, pegiat HAM yang juga pemerhati sosial ekonomi, sikap ini mencerminkan tidak ada keberpihakan para pejabat dan politisi bangsa ini. “Jadi selama ini terkesan orang kerja jadi pejabat dan politisi, semua bangun usaha, bukan bangun bangsa,” katanya kepada Law-justice.co.

Pria keturunan India yang juga pernah menjabat sebagai Penasihat Menko Perekonomian Bidang Penanggulangan Kemiskinan pada Februari 2001 ini masih ingat sebuah peristiwa terkait impor beras yang mengakibatkan dipecatnya Ibrahim Hassan, Menteri Negara Urusan Pangan/Kepala Badan Urusan Logistik pada periode 1993 – 1995. Kesalahan pria berdarah Aceh itu menurut Dillon karena membeli beras murah yang harganya lebih murah dari yang biasa ‘dimasukkan’ pengusaha Anthony Salim pada waktu itu.

 

Impor beras (Foto: Indonews)

“Jadi waktu dia (Ibrahim Hassan) pulang (saat itu keduanya sedang menghadiri rapat ASEAN di luar neger. Red), habis dua minggu dia dipecat, gak jadi kepala Bulog lagi. Karena komisi beda antara masukan Anthony Salim sama yang dia beli. Itu kan mengalir kemana-mana. Harus tanya ke presidin sekarang, masih adakah dana yang mengalir seperi itu? Kalu dulu ada.”

Dia berpendapat upaya meredam impor harus dimulai dari sikap keberpihakan semua menteri, bukan hanya menteri pertanian. Jadi jangan malah menjadikan impor sebagai pilihan yang seolah harga mati. Sebagai bangsa yang mandiri, kebijakan impor harus ditekan bahkan kalau mungkin dihilangkan. Caranya, antara lain dengan meningkatkan produksi beras per hektar untuk menuju pada swasembada pangan.

“Saya gak melihat politisi kita ada keberpihakannya, mereka sudah berkolusi dengan pengusaha. Pengusaha kan sudah secara jelas bilang cari untung. Jadi selama ini yang terkesan sudah puluhan tahun, orang kerja jadi pejabat dan politisi semua untuk bangun usaha, bukan bangun bangsa,” imbuhnya.

Sementara itu ekonom senior DR. Rizal Ramli menjuluki Enggar, pria lulusan IKIP Bandung ini, sebagai menteri ‘raja impor.’ Sebutan bernada sinis tersebut disematkan karena kebijakan Enggar yang gemar impor sejumlah komoditas primer termasuk beras, gula, garam, hingga bawang putih dinilainya sudah keterlaluan dan cenderung ‘ugal-ugalan.’ Untuk itu RR, sapaan akrab Rizal, bahkan pernah menantang Enggar berdebat di stasiun televisi nasional

"Saya punya semua dokumennya. Jelek-jelek gini Rizal Ramli mantan Ketua Bulog, pernah Menko, ngerti proses Pengambilan keputusannya," jelas Rizal.

Saat wawancara dengan awak Law-justice.co di rumahnya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rizal Ramli menegaskan julukan itu ia sebut atas dasar kegemaran Enggar mengimpor sejumlah komoditas. Akibatnya banyak petani menjerit. “Petani garam, petani gula dirugikan karena impor berlebihan. Garam impornya berlebihan 1,5 juta ton, gula 2 juta ton, beras sekian ton, belum lagi permainan impor bawang putih, itu corruption yang luar biasa dan bakal merugikan.”

Dia menambahkan saat dirinya bertandang ke Surabaya, sempat bertemu para petani garam se-Jawa Timur, yang kebanyakan orang Madura. Mereke mengeluhkan kebijakan impor garam yang ugal-ugalan sehingga garam produksi mereka tidak laku di pasaran dan terbuang menjadi air.

“Ini orang Madura yang biasanya gagah-gagah, pidato di depan nangis. Pak Ramli tolongin, ini kejam banget. Kita ngerti pemerintah harus impor garam, tapi jangan dilebih-lebihin dong,” kata Rizal sambil menambahkan bahwa banyak anak petani garam yang terpaksa dikeluarkan dari kampus karena tak sanggup membayar kuliah.

 

Ekonom senior Rizal Ramli (foto: Teguh Vicky Andrew/Law-justice.co)

Lalu ketika dirinya berkunjung ke Jombang, Jawa Timur, keluhan yang sama disampaikan para petani tebu. “Mereka itu pada 2014 pendukung Jokowi karena dijanjikan peningkatan kesejahteraan. Ternyata kesejahteraan mereka malah anjlok karena Enggar impor dua juta lebih gula. Jatah gula mereka setelah nge-giling di pabrik yang distok di rumah enggak kejual jadi air, jadi batu. Sama juga pada sedih semua, nangis.”

Kegeraman Rizal terhadap kebijakan impor yang berlebihan diamini Direktur LSM Gabungan Ruang Publik (Garpu) Muslim Arbi. “Saya kira tidak salah RR bilang (Enggar. Red) raja impor karena memang kalau menyangkut pangan, itu impornya gila-gilaan.” Bahkan garam-garam yang diproduksi petani di Cirebon yang merupakan konstituen Enggar juga kalah bersaing dengan garam impor.

“Kan mestinya, dia stop itu impor garam, bagaimana supaya garam lokal ini laku. Sebetulnya produsen garam lokal bisa kok memenuhi kebutuhan industri jika diarahkan seperti apa sih garam yang digunakan untuk industri.” Jadi menurut Muslim Arbi, Kemendag sebaiknya selektif menentukan item apa saja yang perlu diimpor.

“Ada komoditas tertentu yang bisa diproduksi di dalam negeri, ya itu dulu kita utamakan. Ini kan tidak, semua dibanjiri produk impor.” Kebijakan impor akibatnya hanya menyebabkan banyak petani menjerit.

Kalangan DPR juga pernah mempertanyakan kebijakan impor Enggar yang dianggap bertentangan dengan kehendak Presiden Jokowi yang sejak awal ingin men-stop impor pangan guna menyejahterakan petani. Saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR pada 2018 lalu, pria kelahiran Cirebon 12 Oktober 1951 ini dicecer sejumlah pertanyaan seputar polemik impor beras.

Menurut para anggota dewan, kebijakan tersebut lebih menunjukkan ketidakmampuan pemerintah menata mata rantai pasokan beras dan membongkar permainan pejabat dengan para mafia pangan. Lilis Asdjudireja dari Golkar meyakini para mafia pangan masih menguasai rantai distribusi untuk 9 bahan pokok sehingga mereka bisa merekayasa kondisi seolah-olah supply and demand itu tidak seimbang dan akhirnya mendorong harga naik. “Jadi, siapa sih yang mengatur distribusi? Kan bukan Perdagangan (Kementerian. Red) atau Bulog, tetapi para pedagang itu. Yang mengatur suplai dan demand itu kan mafia.”

 

Enggar saat rapat kerja dengan DPR (foto: Merdeka)

Lebih jauh mereka bahkan menilai Presiden Jokowi seolah menutup mata atas kebijakan Enggar, demikian ia biasa disapa, membuka keran impor gila-gilaan. Seolah mengingkari janjinya sendiri untuk men-stop impor.

Khusus mengenai impor beras. Aturannya sudah jelas bahwa kebijakan ini diambil dengan melibatkan dua kementerian, yakni Perdagangan sebagai eksekutor dan Pertanian sebagai rekomendator. Penentuannya diambil lewat mekanisme rapat koordinasi bidang perekonomian. Masalahnya kedua kementerian ini tak selalu harmonis terutama terkait klaim data produksi beras. Pihak Kementerian Pertanian selalu mengatakan menolak impor karena produksi dalam negeri masih cukup. Sementara Kementerian Perdagangan dengan data yang mereka miliki mengklaim ada kebutuhan impor untuk menutup kelanggaan produksi.

Seorang sumber Law-justcie.co menyebut departemen pertanian kerap melebih-lebihkan produksi sementara perdagangan dan Bulog selalu melebih-lebihkan impor. Masalahnya menurut Rieke Diah Pitaloka, anggota dewan dari PDIP, selama data yang disampaikan kepada publik dan mungkin juga presiden belum menjadi satu data utuh yang akurat dan argumentataif, real sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan di lapangan, sebaiknya kita tolak impor.

Keyakinan serupa disampaikan anggota dewan dari PAN Nasril Bahar yang menganggap persoalan impor beras sebagai masalah klasik yang tak kunjung terselesaikan. “Beras itu komoditi utama di Indonesia yang sering dimainkan,” katanya. Dia mencurigai modusnya adalah permainan data kebutuhan beras yang direkayasa sedemikian rupa sehingga impor seolah menjadi opsi yang tak terelakkan.

“Yang saya khawatir adalah pengusahan dikendalikan birokrasi. Pengusaha melakukan sebuah kerjasama dengan oknum-oknum yang ada di birokrat. Ini yang menyebabkan kita seolah-olah akan mati karena kelaparan, esok tidak akan makan beras.”

Sayangnya Presiden Jokowi seolah membiarkan salah satu menterinya melakukan impor gila-gilaan. Menurut Dillon seharusnya ini menjadi tanggung jawab presiden. Kebijakan menghentikan impor pangan diambil sekaligus untuk memberantas mafia pangan yang tumbuh subur sejak paska reformasi. Indonesia diberi karunia alam yang berkelimpahan, “Kembangkan apa yang menjadi landasan kita, alam sudah memberikan itu,” imbuh Dillon.

 

HS Dillon (foto: Citra Indonesia)

Padahal saat kampanye pilpres 2014 silam, Jokowi sudah menengarai adanya pihak tertentu yang sengaja membiarkan terjadinya impor di Indonesia. Jokowi enggan menyebut siapa pihak yang dimaksud. Di sisi lain, Jokowi mengaku heran dengan pemerintah yang diam saja melihat hal itu.

Menurut dia pada waktu itu pihak itulah yang mendapat keuntungan besar dari kebijakan impor tersebut. “Ada rente yang sengaja membiarkan impor di Indonesia. Ada yang dapat dari situ,” ujar Jokwowi di rumah relawan, Jalan Sukabumi Menteng, Jakarta Pusat, Senin (39/6/2014) silam. Kesenyapan sikap Jokowi kemudian menimbulkan spekulasi buruknya komunikasi antar pembantu presiden. Yang pasti target Jokowi mencapai kedaulatan pangan dalam tiga tahun pertama kepempimpinannya sudah jauh api dari panggang. Yang terjadi, komoditas pangan impor justru membanjiri Indonesia.

Kontribusi laporan: Teguh Vicky Andrew, Januardi Husin, Winna Widjaja, Nikolaus Tolen.

(Rin Hindryati\Rin Hindryati)

Share:




Berita Terkait

Komentar