KPA Nilai Visi Jokowi Dapat Memperuncing Konflik Agraria

Kamis, 18/07/2019 16:35 WIB
Salah satu aksi memperjuangkan penyelesaian konflik agraria (Aktual.com)

Salah satu aksi memperjuangkan penyelesaian konflik agraria (Aktual.com)

Jakarta, law-justice.co - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai ada potensi berbahaya dari visi-visi Presiden Joko Widodo dalam pidato politiknya baru-baru ini, terutama terkait poin mengundang investor sebanyak-banyaknya ke Indonesia.

Oleh karena itu, KPA mendesak Jokowi untuk melaksanakan tiga tuntutannya agar bisa menjalankan visi pemerintahan pada periode kedua menjadi lebih baik.

Menurut KPA, Jokowi harus menerapkan model baru dalam menarik investasi besar-besaran, salah satunya melalui pelibatan masyarakat dalam penanaman modal di sektor-sektor kunci.

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan, Jokowi harus menerjemahkan niat memperluas investasi ini dengan membuka selebar-lebarnya pintu bagi rakyat melalui koperasi rakyat, petani, nelayan, Badan Usaha Milik Desa, atau badan usaha milik rakyat lainnya sebagai pelaku utama ekonomi nasional.

Karena itu, program yang lalu seperti moratorium izin sawit, konversi hutan primer, dan larangan penggunaan gambut harus dilengkapi dengan perbaikan iklim investasi bagi badan usaha milik rakyat.

"KPA membayangkan Visi Indonesia ke depan seharusnya menghadirkan badan-badan usaha modern yang dimiliki rakyat, dan keuntungannya mengalir di tengah-tengah rakyat untuk menciptakan keadilan sosial," kata Dewi seperti dikutip dari Bisnis.com, Kamis (18/7/2019).

KPA juga berharap proses penerbitan izin dan hak konsesi kepada badan-badan usaha perkebunan dan kehutanan skala besar, proses tukar guling kawasan, konversi tanah dan kawasan hutan harus dilakukan lebih berhati-hati kedepannya.

Pemerintah diminta segera melakukan evaluasi dan investigasi secara menyeluruh terhadap proses penerbitan maupun izin-izin lama dan baru yang bermasalah dan telah menimbulkan konflik.

Kedua, KPA menyarankan pemerintahan Jokowi mengarahkan pembangunan infrastruktur kedepannya untuk menopang sektor pertanian dan perkebunan rakyat. Selain itu, Dewi menginginkan narasi anti-infrastruktur, anti-pembangunan dan anti investasi sebagai stigma yang selama ini dihembuskan aparat dan pejabat terhadap keberatan dan protes masyarakat harus ditinggalkan.

"Apabila rakyat mengajukan keberatan terhadap proyek-proyek pembangunan yang mengancam wilayah hidupnya, maka prinsip menghormati hak konstitusi agraria dari setiap warga negara, prinsip pemenuhan rasa keadilan, prinsip tanah memiliki fungsi sosial dan kemanusiaan lah yang perlu dikedepankan," katanya.

Terakhir, KPA berharap pemerintah mengarahkan niat reformasi birokrasi dalam kerangka untuk melayani kepentingan rakyat agar terus berkembang dan menguat.

Dewi juga menyebut, selama ini kerap terjadi sektoralisme kelembagaan dalam mengurus sumber-sumber agraria nasional. Menurutnya, visi baru di bidang agraria terkait reformasi birokrasi adalah penghapusan sikap dan kebijakan yang bersifat sektoral.

"Masalah ini sudah menghambat rakyat dan desa-desanya memperoleh keadilan dan penyelesaian atas konflik agraria yang dilaporkannya kepada kementerian dan lembaga (K/L) terkait. Ego sektoral antara Kementerian ATR/BPN, KLHK, BUMN, Pertanian, dan Kementerian Desa dalam menuntaskan konflik-konflik agraria menjadi penghambat utama," katanya.

(Regi Yanuar Widhia Dinnata\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar