Skandal Laporan Keuangan Garuda Perburuk Tata Kelola BUMN

Rabu, 19/06/2019 11:55 WIB
Armada pesawat Garuda (Foto: Wikipedia)

Armada pesawat Garuda (Foto: Wikipedia)

Jakarta, law-justice.co - PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dan PT Pertamina (Persero) keduanya tersandung skandal perhitungan laporan keuangan. Dampaknya Garuda dan Pertamina masuk dalam pusaran pelanggaran good corporate governance (GCG) yang memperburuk citra Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sepanjang dua pekan terakhir Garuda dirundung perkara pencatatan laporan keuangan yang disajikan tidak sesungguhnya. Proyek yang rencananya akan diterima satu hingga 15 tahun ke depan, tapi diakui sebagai pendapatan tahun 2018.

Karuan saja kondisi laporan keuangan Garuda yang pada kuartal III-2018 masih membukukan rugi bersih sebesar US$114,08 juta atau atau ekuivalen Rp1,66 triliun, pada kuartal IV-2018 langsung mencatat laba bersih sebesar US$809,85 ribu atau setara Rp11,33 miliar (dengan kurs Rp 14.000).

Itu artinya dalam kurun waktu tiga bulan tersebut kinerja keuangan Garuda mengalami lompatan laba sebesar Rp1,27 triliun. Sesuatu hal yang mustahil.

Rumos laporan keuangan ajaib ini diakui manajemen Garuda bahwa pendapatan Garuda dari PT Mahata Aero Teknologi (Mahata) sebesar US$239,94 juta yang di antaranya sebesar US$28 juta merupakan bagian dari bagi hasil yang didapat dari Sriwijaya Air. Jumlah nominal tersebut masih dalam bentuk piutang, namun diakui perusahaan masuk dalam pendapatan.

Mengatahui hal tersebut, dua komisaris enggan menandatangani laporan keuangan 2018 Garuda, mereka adalah Chairal Tanjung dan Dony Oskaria.

Kedua komisaris itu merasa keberatan dengan pengakuan pendapatan atas transaksi Perjanjian Kerja Sama Penyediaan Layanan Konektivitas Dalam Penerbangan, antara Mahata dan PT Citilink Indonesia. Pengakuan itu dianggap tidak sesuai dengan kaidah pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) nomor 23.

Atas peristiwa tersebut BEI berencana memanggil manajemen Garuda. Pemanggilan itu berkaitan dengan kabar anehnya laporan keuangan perusahaan perseroan yang drastis. Direktur Utama BEI Inarno Djayadi menegaskan bahwa pihaknya akan memanggil manajemen Garuda untuk meminta klarifikasi atas polemik tersebut.

Sebenarnya kaidah dalam menyampaikan laporan keuangan ada yang berbasis cash basis dan accrual basis. Dalam kaidah cash basis sesuatu yang diakui sebagai pendapatan kalau uang kas sudah diterima di tangah. Sementara dalam kaidah accrual basis memang diperbolehkan memasukkan piutang sebagai pendapatan walaupun secara riil uang kas belum diterima perseroan.

Untuk menghindari kerancuan, Garuda sebagai perusahaan tercatat di pasar modal seharusnya menjelaskan ke publik tentang hal itu. Sebab jika tidak bisa menimbulkan pertanyaan, mengapa perseroan di kuartal III-2018 yang masih merugi tiba-tiba mengantongi laba di tiga bulan terakhir 2018.

Kabar terakhir Sekjen Kementerian Keuangan Hadiyanto menyatakan penyajian laporan keuangan Garuda dinilai tidak standar. Kemenkeu sudah menyelesaikan pemeriksaan terhadap kantor akuntan publik (KAP) terkait laporan keuangan Garuda Indonesia tahun 2018.

Adapun KAP yang dimaksud adalah Tanubrata Sutanto Brata Fahmi Bambang & Rakan Member of BDO Internasional.

"Kesimpulannya ada dugaan yang berkaitan dengan pelaksanaan audit itu belum sepenuhnya mengikuti standar akuntansi yang berlaku," kata Hadiyanto pekan lalu.

Hanya saja Kemenkeu tidak bisa memberikan sanksi secara langsung meskipun sudah ada kesimpulan yang menyebut audit tidak sesuai standar akuntansi. Pasalnya, Garuda merupakan perusahaan terbuka yang sebagian sahamnya dimiliki oleh publik.

Sehingga sanksi yang berkaitan dengan dugaan adanya kelalaian dalam pelaksanaan audit dan pemberian opini perlu secara bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di-assess , sehingga sanksi apa yang bisa diterapkan.

Direktur Keuangan Garuda Indonesia Fuad Rizal mengatakan, saat ini pihaknya memang sudah diperiksa oleh PT Bursa Efek Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Fuad menegaskan bahwa manajemen tidak berniat melakukan apapun sebelum keputusan dari regulator keluar. Dia pun menegaskan bahwa pihaknya tidak akan mengubah laporan keuangannya. Lain halnya jika Bursa Efek Indoneisa, Otoritas Jasa Keuangan, dan Badan Pemeriksa Keuangan menginstruksikan penyajian kembali laporan keuangan, maka Garuda tidak bisa tidak harus menurut.

"Ya kita lihat siapa yang berwenang ini salah atau tidak. Kalau suruh restatement ya kita harus ngomong sama auditornya lagi," tutupnya.

Apa yang terjadi di Garuda, terjadi juga di PT Pertamina (Persero). Manajemen BUMN migas itu akhirnya buka suara bahwa sedang menghitung kembali laporan keuangannya untuk tahun buku 2018.

Direktur Keuangan Pertamina Pahala N. Mansury mengungkapkan oleh karena harus melakukan penyajian ulang laporan keuangan, maka laporan itu nantinya juga akan diaudit lagi.

Adapun alasan perlunya Pertamina melakukan penyajian ulang laporan keuangan lantaran mengaku membukukan laba bersih yang cukup besar, bahkan Presiden Jokowi pernah menebak sampai Rp20 triliun. Namun setelah dirinci kembali, ternyata laba bersih itu tidak seperti yang disebutkan Presiden, bahkan banyak kalangan menyebutkan seharusnya Pertamina membukukan rugi bersih, tapi Dirut Pertamina Nicke Widyawati justru mengatakan laba bersih Pertamina Rp28 triliun.

"Kita menunggu laporan hasil pemeriksaan dari BPK, mengulang lagi," ujar Pahala di DPR pekan lalu.

Sebelumnya Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati membantah pihak-pihak yang menyebut Pertamina rugi di tahun 2018. "Jadi kalau ada yang mengatakan Pertamina rugi itu adalah bohong besar," kata Nicke kepada pers.

Nicke menjelaskan bahwa perseroan berhasil mengantongi laba di atas US$2 miliar atau sekitar Rp 28 triliun (kurs RP14.000).

Atas kesimpangsiuran tersebut, manajemen Pertamina diketahui tengah melakukan penghitungan ulang terhadap laporan keuangan perusahaan. Pahala Mansury perhituungan ulang laporan keuangan dilakukan karena ada formula terkait harga BBM.

"Laporan keuangan lagi dihitung ulang lagi, sama BPK juga sedang diaudit ulang, karena ada formula baru BBM dan hitungannya berlaku surut dari 1 Januari 2018. Termasuk perhitungan subsidi solar," jelas Pahala di DPR pekan lalu.

Pemerintah mengumumkan formula baru penghitungan harga jual eceran jenis bahan bakar minyak (BBM) umum pada awal Februari 2019. Formula ini tertuang dalam Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM nomor 19 K/10/MEM/2019 dan berlaku sejak 10 Februari 2019. Dalam Kepmen ESDM tersebut ditetapkan harga jual dengan batasan margin.

Berkat adanya formula ini, harga jual dinilai akan lebih wajar. Selain itu, dengan digunakannya MOPS, harga BBM yang semula dievaluasi tiga bulan sekali kini jadi satu bulan sekali.

Dampaknya, badan usaha BBM beramai-ramai melakukan perubahan pada harga jual eceran bensin mereka, seperti Pertamina, Shell, Vivo, dan lainnya.

Tidak hanya untuk BBM umum, harga BBM jenis premium di wilayah Jawa, Madura, dan Bali juga turun mulai pada 10 Februari 2019, menyesuaikan dengan harga di luar wilayah tersebut. Harga Premium Jawa-Bali ditetapkan sebesar Rp6.450 dari sebelumnya Rp6.550.

Berangkat dari kasus penghitungan ulang laporan keuangan dua raksasa BUMN, yakni Garuda dan Pertamina, patut disayangkan. Mengingat kedua BUMN ini telah menjadi national flagship dan campion corporation, sehingga kalau kedua BUMN percontohan saja melakukan penghitungan ulang laporan keuangan, yang itu artinya terjadi ketidaksesuaian penyajian laporan keuangan, maka bagaimana dengan BUMN lainnya?

Penyajian laporan keuangan yang benar[] adalah satu dari beberapa butir penerapan GCG, yakni transparansi. Sebagaimana yang dilansir dari Nusantara.news, engan berubahnya penyajian laporan keuangan Garuda dan Pertamina maka resmilah bahwa penyajian laporan keuangan itu keliru.

Itu artinya GCG Garuda dan Pertamna pun tercoreng. Kalau Garuda dan Pertamina saja dianggap tidak memenuhi standar GCG, bagaimana dengan BUMN lainnya?

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar