Tarung 2 Kubu Jenderal; Personal, Bisnis atau Hidden Agenda Apa?

Sabtu, 01/06/2019 16:21 WIB
Ilustrasi Pertarungan para  Jenderal dari kedua kubu

Ilustrasi Pertarungan para Jenderal dari kedua kubu

Jakarta, law-justice.co - Raut wajah mantan Komandan Kopassus, Mayjen TNI Purn. Soenarko tampak senang karena walau dalam sel tahanan militer POM Guntur Jakarta, dia masih dapat berbuka puasa bersama dengan istrinya tercinta, Rini Soenarko, Kamis (30/5). Soenarko  tampak lahap memakan bawaan istrinya sambil ngobrol juga dengan tim pengacaranya. Tidak ada raut kusut diwajahnya, layaknya orang dalam penjara. “Pak Narko tidak ada beban walau dalam penjara, karena memang yakin tidak bersalah, “ujar Firman Nurwahid, salah satu pengacaranya. “Kebenaran akan datang dan doa kami Insya Allah dijawab Yang Maha Kuasa, tambah Rini.

Sementara tak jauh dari sel  Soenarko di Rutan yang sama mendekam koleganya, Mayjen TNI Purn. Kivlan Zen. Mantan Kepala Staf Kostrad ini, juga serupa kondisinya dengan Soenarko. Kivlan terlihat segar dan tidak ada beban. “Ini kan kerja Wiranto saja yang mau mendiskreditkan kami. “Dari dulu memang Wiranto tidak suka saya. “Nah pas ada momentum seperti ini, kesempatan bagi dia untuk semena-mena menangkap kami,” ujar Kivlan dengan nada tegas melalui pengacaranya Pitra Romadoni kepada Law-Justice.co saat  ada acara jumpa pers, di Hotel Century, Jakarta, Jumat (31/5).

Kedua jenderal  petarung yang pada masa aktifnya adalah komandan dari dua pasukan elit TNI AD, yakni Kopassus dan Kostrad. Tak bisa dibayangkan di saat purna tugas, justru malah keduanya menghuni bui rutan militer yang seharusnya digunakan untuk tentara yang masih aktif.  Publik tentu bertanya-tanya apakah mungkin jenderal dengan kapasitas prima seperti keduanya yang sudah bertugas menyabung nyawa di berbagai operasi militer dan bertabur bintang jasa dari Negara, jadi tersangka oleh kepolisian dengan alasan makar dan memiliki senjata api.

Pertanyaan publik itu tentu beralasan sebab kolega keduanya, Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, juga tidak percaya kedua jenderal yang dia kenal baik tersebut hendak melakukan makar dan menyalahgunakan senjata api. Pernyataan Ryamizard ini sangat bertolak belakang dengan sohibnya di kabinet, Menko Polhukam, Wiranto yang tegas mengatakan keduanya berbuat makar dan memiliki senjata api illegal.

Publik jadi semakin bertanya-tanya dan curiga, kok dua menteri yang sama-sama duduk dalam kabinet Jokowi  bisa memiliki pendapat yang jauh berbeda dan berpotensi kisruh. Ujung-ujungnya publik jadi tidak percaya dengan pernyataan yang keluar dari semua pejabat yang ada dalam Kabinet Jokowi, dalam menyikapi pasca kerusuhan 22-23 Mei 2019. Kalau begitu apa yang sebenarnya terjadi dan apakah benar memang ada makar dan jual beli senjata illegal.

Wartawan Law-Justice.co mencoba menelisik fakta-fakta dan info yang ada di seputar pergerakan kedua jenderal purnawirawan ini dan juga dari bahan-bahan yang diperoleh di lapangan, maupun yang di email ke redaksi kami. Yang pasti kedua jenderal ini mempunyai pengikut yang banyak dan saat ini aktif dalam dunia bisnis, baik pertanian, kebun dan pertambangan. Kivlan memiliki perkebunan dan lahan pertanian di sekitar Bogor, Cianjur, Sukabumi. Sedangkan Soenarko memiliki usaha pertambangan batubara di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan dan perhutanan di Aceh.

Kalau Kivlan memang dari dulu dikenal sebagai  publik figur yang namanya kerap dikutip media massa. Mulai dari peristiwa Pam Swakarsa saat Sidang Umum MPR 1999 sampai berbagai kegiatan unjuk rasa yang membela kepentingan Umat Islam. Sementara Soenarko, tidak begitu banyak dikenal publik. Tahun 2018 dia pernah memprotes Wakapolri, yang sekarang menjadi  Menteri PAN RB,  Komjen. Syafruddin dalam masalah konsesi lahan tambangnya yang diambil pihak lain. Soenarko baru dikenal publik setelah bergabung dengan tim pendukung Capres Prabowo-Sandi dan keterkaitannya dengan kepemilikan senjata api illegal.

Soenarko dikenal sebagai pengusaha yang sukses dan bertangan dingin. Kolaborasi bisnisnya dengan mantan kombatan GAM Aceh, Muzakir Manaf, membuat bisnis tambang dan hutannya di Aceh berjalan moncer. Makanya tidak usah heran, begitu Soenarko ditangkap, Muzakir dan banyak petinggi GAM lainnya, meminta Wiranto untuk segera membebaskan Soenarko karena dia menjadi korban kambing hitam dari penguasa saat ini. Ratusan mantan purnawirawan pasukan Kopassus juga berada di belakang Soenarko, ketika mereka bersolidaritas membesuk Soenarko di POM Guntur. 

Menurut Muzakir seperti dikutip dari media Acehkita, Soenarko ini ditangkap hanya karena dia mendukung Prabowo Sandi dalam Pilpres ini. Itu senjata yang dituduhkan kepada Soenarko awalnya adalah senjata milik GAM, yang sudah diserahkan kepada TNI. “GAM saja sebagai pemilik senjata, ikhlas serahkan senjata itu kepada TNI sebagai itikad baik kami untuk kesepakatan perdamaian Aceh. “Nah ini kok tiba-tiba senjata itu dijadikan alat untuk menghukum Soenarko. “Ini ada agenda apa dan Wiranto ini yang selalu memancing publik berreaksi karena pernyataannya selalu kontroversial dan mengajak ribut, lanjut Muzakir.

Pernyataan Muzakir ini menarik untuk ditelusuri. Karena memang selama ini yang banyak ditangkapi oleh Polri adalah semua pihak yang menjadi pendukung Prabowo Sandi. Giliran ada berita hoax dan atau penyerangan yang dilakukan kubu Jokowi terhadap kubu Prabowo, oleh Polri tidak pernah diteruskan sampai ke pengadilan. Jika benar pernyataan Muzakir ini dan asal usul senjata memang sudah sangat jelas, tentu aneh kalau Polisi masih terus memaksakan diri mengusut kasusnya. Apakah karena ada perintah order kasus atau terpaksa karena memang harus ada yang dijadikan kambing hitam pasca kerusuhan 22-23 Mei 2019?

Pertarungan Para Jenderal di Kedua Kubu

Menarik ucapan Menhan, Ryamizar kepada pers soal penangkapan Soenarko dan Kivlan. Menurutnya masalah penangkapan ini adalah dampak pertarungan antar kawan dan tidak ada soal musuh. Karena fakta memang, baik kubu Jokowi dan Prabowo, masing-masing didukung oleh barisan para Jenderal aktif dan purnawirawan yang bertaburan bintang.  Benarkah pendapat Ryamizard ini? Atau bisa saja ada operasi kontra intelijen yang sedang berlangsung dan mereka ambil kesempatan dengan menggunting dalam lipatan pertarungan dua kubu ini?

Walau menurut Pengamat militer dari Institute For Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengatakan dukungan purnawirawan TNI ke kedua kubu pasangan calon tidak akan berdampak terlalu signifikan untuk mendulang suara, karena hanya akan berpengaruh positif pada penciptaan persepsi publik saja. Publik sudah paham untuk membedakan pengaruh jenderal aktif dengan jenderal pensiunan yang sudah tidak punya pasukan dan komando.

Sebagai contoh di kubu Jokowi, selain pasti didukung Jenderal dalam kabinetnya, seperti Wiranto, Ryamizard, Moeldoko, Tito Karnavian dan Luhut, juga ada Hendropriyono, Agum Gumelar, Fachrul Razi, Suaidi Marasabessy, Subagyo HS, Bernard Kent Sondakh, Iskandar Sitompul, Marsetyo, L.Paulus, Herwin S, Try Sutrisno, Jhony Lumintang, Gories Mere, dll.

Sedangkan di kubu Prabowo juga didukung oleh sejumlah purnawirawan TNI, seperti Jenderal Purn SBY, Jend. (Purn) Djoko Santoso, Mantan Pangab/Kasad, Jenderal Gatot Nurmantyo, Mantan Menko Polhukam, Laksamana TNI (purn) Tedjo Edhy Purdijatno, Letjen (Purn) Yunus Yosfiah, mantan Danjen Kopassus, Letjen Purn. Agus Sutomo, mantan Wakil Menhan, Letjen Sjafrie Samsuddin, Mantan Pangkostrad, Jamari Chaniago, Kivlan Zen, Soenarko, Suryo Prabowo, Sofjan Jacub, Jenderal Tyasno Sudarto, Moeklas Sidik, Arifin Seman, Letjen. Yayat Sudrajat, Gleny Kairupan, Asril Tanjung, Judi Magio Yusuf, Letjen Marinir Purn. Suharto, dll.

Kalau mantan Pangab era Soeharto, Jenderal Benny Moerdani masih hidup tentu dia bahagia bagaimana dalam pertarungan dua kubu ini, dia punya cara-cara intelijen dan politik memanfaatkan momentum SARA dipakai oleh para jenderal ini. Yang jelas bekas anak buah Benny, lebih dominan di kubu Jokowi, tetapi model jenderal-jenderal petarung yang memimpin pasukan khusus baik Kopassus, Kostrad dan Marinir lebih banyak di kubu Prabowo.

Apapun itu, dukungan purnawirawan ke kedua kubu sebagai bukti adanya "pembelahan diri" di tubuh militer. Apakah perlu diragukan dukungan ini, baik ke Paslon 1 atau 2 sebagai bentuk keberpihakan total. Justru seperti ada hidden agenda. Memaknai terbelahnya dukungan bukan sebagai perpecahan atau friksi di kalangan purnawirawan, tapi ini semacam pembelahan diri agar siapa pun yang menang nantinya, tetap ada yang bisa memastikan rezim nantinya tidak akan merugikan kepentingan militer dan termasuk kepentingan bisnis para jenderal purnawirawan tersebut.

Sebagai contoh, militer saat ini telah dilibatkan secara masif dalam sejumlah kegiatan yang sebenarnya tidak sesuai dengan fungsinya. Contohnya, dalam pembangunan infrastruktur di Papua dan beberapa daerah konflik. Purnawirawan dalam hal ini berperan sebagai perpanjangan tangan para anggota militer aktif yang ingin ikut serta dalam kegiatan politik praktis. Sehingga, siapa pun yang terpilih akan mampu mengakomodir kepentingan militer.

Baik jenderal yang ada di pihak Jokowi maupun Prabowo sudah pasti saling tahu dan bisa mengukur kekuatan pasukan masing-masing. Masalahnya di kubu Jokowi yang jelas mengambil fungsi komando ada di tangan trio 3 Jenderal; Wiranto, Hendro dan Luhut. Jokowi hanya manut saja karena memang posisinya dalam soal Polkam sudah terkunci di tangan ke tiga aktor ini. Sebaliknya Jenderal di kubu Prabowo, komandonya langsung berada ditangan Prabowo. Jadi kalau ada aksi kubu Prabowo diluar kendali Prabowo, pastilah itu pasukan siluman yang dibentuk sebagai pasukan kontra intelijen dari pihak tertentu yang memang diuntungkan dalam situasi chaos seperti ini.  

Karena itu kedua kubu pasangan calon harus menyikapi dukungan purnawirawan ini secara cermat dan berhati-hati. Karena hal itu berpotensi bisa membawa kembali praktik militerisme di Indonesia. Militer sudah komit kembali ke barak dan menghapus politik dwifungsi, seperti mandat dari MPR dan Reformasi 1998. Indonesia akan set back, jika menarik lagi militer dan purnawirawannya untuk bermain-main politik. Jadi ribut-ribut antara jenderal purnawirawan ini bukan urusan politik karena seperti kata Ryamizard semua jenderal ini berkawan. Jadi bisa saja hanya karena masalah ketidakadilan akses kesempatan berbisnis dan konflik personal. Soalnya selama Jokowi berkuasa hanya bisnis Luhut, Hendro cs yang moncer, sementara bisnis Prabowo dan rekan jenderalnya, bak jalan di tempat.

Tak Masuk Akal Membunuh 4 Tokoh

Kubu Wiranto membangun opini bahwa ada empat tokoh yang akan dibunuh, antara lain Wiranto sendiri dan Hendropriyono. Jika target itu Wiranto atau Hendro, aksi demo jika ditujukan untuk menarget keduanya, maka aksinya dilakukan di Kemenkopolhukam atau dirumah Wiranto dan Hendropriyono. Menarget tokoh tertentu, dengan aksi yang lokusnya berbeda, jelas tak nyambung. Padahal, senjata yang diklaim Wiranto akan digunakan untuk melakukan pembunuhan itu, adalah senjata super canggih. GAM sebagai pemilik awal senjata jelas menyatakan senjata itu tipe biasa dan teropongnya rusak.

Jika locus delicti demo di KPU dan Bawaslu, tentu lebih logis jika menarget anggota KPU atau Bawaslu. Karena pendemo kecewa dengan kedua institusi ini curang dan melakukan protes terhadap institusi ini. Apalagi kericuhan berawal dari lokasi dua institusi ini. Menjadikan target Wiranto dan Hendro betapapun dianggap tokoh paling menjengkelkan oleh pendukung 02, jelas tidak menyelesaikan masalah. Karena problem utamanya adalah kecurangan pemilu, bukan kebencian pada individu atau tokoh tertentu. Kalaupun Hendro atau Wiranto dibunuh, jelas tidak merubah keputusan hasil pemilu.Jadi, tidak sejalan dengan tujuan aksi damai kubu 02 yang sejak awal menginginkan pemilu curang diadili secara hukum.

Banyak pihak yang berempati dan mengatakan daripada meributkan soal makar, senjata illegal dan upaya pembunuhan 4 tokoh, ada baiknya Jokowi dan aparat hukumnya berempati untuk segera mengusut kematian 8 orang dan ratusan luka-luka akibat kerusuhan 22-23 Mei 2019. Sampai saat ini Jokowi  dan aparat hukumnya belum sekalipun menyatakan dukanya dan bertakziah kepada keluarga korban.

Sementara, pedagang yang jualannya dijarah perusuh, langsung diundang Jokowi dan diberi uang pengganti di Istana Negara. Fakta seperti ini yang membuat publik mengambil kesimpulan bahwa bagaimana mau berharap banyak kepada Presiden yang menyatakan dirinya Presiden semua rakyat Indonesia (termasuk rakyat kubu 02), tetapi perilakunya masih menunjukkan dia adalah Presiden satu kubu saja dan tidak berempati walau sudah ada 8 korban yang tewas akibat kerusuhan. Seharusnyalah di bulan suci seperti Ramadhan ini, rasa dendam dan perkubuan dibuang dan maaf banyak diberikan. Wallahualam…

Kalau sudah begini ceritanya, apakah masih masuk akal ada Jenderal purnawirawan mau makar membunuh empat tokoh tapi tak punya pasukan dan apalagi dengan memakai senjata rampasan dari GAM, yang dalam keadaan tidak layak pakai. Skenarionya dan politik kambing hitamnya terlalu ketara dan mudah dibaca. Lebih menarik sepertinya membahas hidden agenda di atas, bukankah begitu Jenderal?

(Roy T Pakpahan\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar