Mengenang 21 Tahun Reformasi (Tulisan-3)

Dokter Lie: Setelah Diperkosa, Mereka pun Marah, Jijik, dan Takut

Minggu, 26/05/2019 13:33 WIB
dokter Lie A Dharmawan menjelaskan dengan bersemangat. (Foto: P. Hasudungan Sirait)

dokter Lie A Dharmawan menjelaskan dengan bersemangat. (Foto: P. Hasudungan Sirait)

Jakarta, law-justice.co - Korban seorang perempuan Tionghoa berparas ayu, usianya 30-an tahun. Kondisinya sangat parah. Sekujur tubuhnya—dari pangkal paha hingga dada dan kepala—legam. Vagina-nya mengalami pendarahan [hingga berhari-hari kemudian]. Pembawaannya labil. Ia menangis saja seharian, Jelas, ia trauma berat. Kalau bertemu dengan lelaki ia bisa menjadi sangat takut kalau bukan sebaliknya: menjadi  agresif betul. Pertanda agresifitasnya  antara lain adalah sorot matanya seketika menjadi  tajam-liar dan ia berteriak-teriak laiknya orang yang sedang menumpahkan kemarahan.

Dokter Lie Augustinus Dharmawan (dokter Lie) kemudian merawat dia. Meski lelaki, ahli bedah itu tak ditampik apalagi dihardik perempuan tersebut. Kok bisa? Ya, berkat pendekatan yang dilakukan oleh  pendamping korban dan oleh sang dokter yang juga relawan kemanusiaan. Setelah lukanya membaik pasien itu kemudian meninggalkan rumah sakit.

Bukan dokter biasa, begitulah dokter Lie. Keistimewaannya—selain ia doktor-dokter spesialis bedah lulusan Jerman—sebelum Mei 1998 pun ia sudah dikenal sebagai pegiat kemanusiaan. Ia merupakan relawan di kelompok perempuan bernama Kalyanamitra. Sobat Ita Fatia Nadia (Direktur Kalyanamitra saat Mei 1998) itu juga menjadi aktifis sebuah yayasan sosial di Jakarta yang dipimpin Pastor Leftew, Providentia Divina.

Sejak aksi unjuk rasa mahasiswa mulai marak di Ibukota, ia rajin turun ke jalan untuk bergabung dengan massa. Pimpinan Rumah Sakit Husada, tempatnya bekerja, sampai menegor dia karena hal itu.  Ia dipersalahkan karena ikut-ikut berdemonstrasi; tindakan yang bisa membahayakan lembaga.

Dengan tegas ia menjawab: kegiatan tersebut dijalaninya di luar jam kerja.  Mengabaikan teguran, segera dia kembali berada di barisan mahasiswa. Tapi, seperti sebelumnya, ia tidak ikut berteriak-teriak. Lelaku utamanya adalah menolong manakala ada pendemo yang terluka.

Dia ada di tengah massa tatkala penembakan yang menewaskan 4 mahasiswa terjadi di kampus Trisakti, Grogol, pada 13 Mei 1998. Waktu itu ia sibuk mengurusi para mahasiswa yang terluka baik oleh peluru maupun pentungan.  Belakangan hari,  saat Peristiwa Semanggi I terjadi,  ia juga ada di sana. Pada 11-13 November 1998 itu kegiatannya serupa. Alhasil, di kalangan mahasiswa pengunjuk rasa waktu itu,  lelaki Tionghoa yang datang dengan mengendarai Kijang merah,  populer. Mereka menyebut sosok yang mereka hormati itu ‘Doli’ [singkatan dari dokter Lie].

 

Dokter Lie berkisah dengan semangat. (Foto: P. Hasudungan Sirait)

Tak lama setelah kerusuhan 13-15 Mei 1998 dokter Lie dihubungi oleh  sejumlah pendamping dan keluarga korban perkosaan massal. Diminta membantu, ia pun langsung bertindak. Ia membawa beberapa korban ke safe house yang dikelola para biarawati di Jatinegara.

Persentuhannya dengan korban perkosaan massal ternyata terus berlanjut. Dengan tim rumah sakit Carolus dan Husada ia bahu-membahu menangani mereka. Selain itu dengan jejaring relawan ia bersekutu mengevakuasi para korban ke Singapura, Kanada, dan AS.

Jelas, peran dokter Lie sentral. Sebab itulah ia ikut bertemu dengan Pelapor Khusus PBB Dr. Radhika Commaraswami yang berada di Jakarta pada Oktober 1998. Kedudukannya saat itu adalah pendamping korban. Ia mempertemukan korban dengan Radhika. Ternyata sesudah acara itu Radhika minta bertemu lagi secara khusus. Tentu saja ia memenuhinya. Ke perempuan asal Srilanka yang datang bersama seorang wanita Skotlandia ia mengungkapkan apa saja yang diketahuinya. Ia memang menyimpan banyak kisah ihwal korban perkosaan massal Mei 1998.

Lahir di Surantih, kawasan di pesisir selatan Sumatra Barat pada 16 April 1946,  dokter Lie bernama asli Lie Tek Bie. Masih kecil dia tatkala ayahnya meninggal. Masa SD-SMA dihabiskannya di Padang. Setamat dari SMA Don Bosco tahun 1964, ia bertolak ke Jakarta. Sejak 1965 ia menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Res Publica (Ureca).

Ternyata perguruan tinggi milik organisasi Tionghoa berhaluan kiri, Badan Permusjawaratan Kewargaan Negara Indonesia (Baperki), ini  diambil-alih  pemerintah Orde Baru tak lama setelah peristiwa 30 September 1965. Namanya diubah menjadi Universitas Trisakti.  Pembersihan dilakukan rezim Orde Baru sehingga Lie tak bisa kuliah lagi di sana meski dirinya apolitis.

Dengan uang yang sangat minim, ia berangkat ke Jerman pada 1967. Setelah bersusah-payah,  ia akhirnya bisa menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Freie, Berlin Barat. Setamat dari sana ia melanjutkan studi (S2) di Uniklinikum Koln (Rumah Sakit Universitas Koln).  Dari sana ia kembali lagi ke Universitas Freie untuk meneruskan program S3. Ia menjadi doktor tahun 1978, di usia 32 tahun.  Enam tahun berselang ia meraih 4 gelar spesialisasi sekaligus di Jerman: bedah umum, bedah toraks, bedah jantung, dan bedah pembuluh darah.

Di penghujung 1984 ia sekeluarga (bersama istri dan 2 anak: perempuan dan lelaki) pulang karena ingin mengabdi kepada negerinya sendiri, Indonesia. Setelah lewat jalan panjang yang berliku ia kemudian boleh berpraktik di negeri ini. Rumah Sakit Husada tempat dia lama menjalankan profesi.

Setelah di negeri sendiri, lelaki bertubuh agak pendek yang lama didekap oleh kepapaan ini kemudian tergerak untuk menjalankan nasihat ibunya sewaktu mereka masih bersama di Tanah Minangkabau: jangan cari duit melulu tapi bantulah mereka yang kurang beruntung. Nasihat itu, menurut dokter Lie,  setala juga dengan sumpah  Hippokrates yang harus diucapkan setiap dokter dimana pun. Salus aegroti suprema lex est, merupakan hakekat sumpah tersebut. Artinya, kesehatan orang sakit adalah di atas segalanya.

Ia lantas menjadi relawan kemanusiaan. Taruhannya ternyata sangat besar. Sejak giat mengurusi korban penjarahan, pembakaran, dan perkosaan massal di pertengahan 1998, ia acap diteror. Di saat  ancaman kian serius (antara lain anjing-anjing mereka tewas diracun orang tak dikenal), ia akhirnya mengungsikan keluarganya ke AS. Putrinya bertolak beberapa hari setelah kerusuhan Mei 1998 reda. Adapun istri dan putranya, mereka  berangkat lebih dulu. Sampai sekarang ketiganya menetap di sana.

Dia sendiri terpaksa kabur ke Jerman pada awal Maret 1999 karena dirinya semakin terancam. Setelah setahun menjadi pelarian politik,  ia kembali lagi ke negeri yang sangat dicintainya: Indonesia. Kegiatan kemanusiaan kembali dilakoninya. Intensitasnya bahkan lebih tinggi. Sebagai bagian dari Perhimpunan Indonesia Tionghoa (Perhimpunan INTI), ia dan kawan-kawannya, umpamanya,  aktif membantu para korban tatkala tsunami mendera Aceh dan Nias di penghujung 2004.  

Massa menyasar gedung. (Foto: BBC)

Ingin berfokus pada pelayanan masyarakat yang tak mampu, ia dan koleganya lantas mendirikan Yayasan Dokter Peduli (DoctorSHARE). Rumah sakit apung dan dokter terbang pun mereka operasikan untuk melayani masyarakat terisolir di Maluku, Papua, dan yang lain.

Awak Law-justice.coRin Hindryati, Deni Hardimansyah (videographer), dan P. Hasudungan Sirait—menemui dokter yang masih tetap sibuk dan energik itu di markas DoctorSHARE, di sebuah ruko bersahaja, di Kemayoran.   Ia pun bercerita panjang, tentang pengalaman hidupnya termasuk saat menghadapi masa-masa kelam Mei 1998. Berikut ini petikannya.  

***

Peristiwa ini sudah lama berselang, sementara memori kita kadang-kadang sudah mulai agak kabur-kabur. Tapi ada sesuatu yang masih membekas betul, yakni rasa ketakutan saat peristiwa itu terjadi pada medio Mei 1998. Saya yakin tidak seorang pun tahu apa sebenarnya yang terjadi saat itu. Kecuali kita melihat ada huru-hara, ada pembakaran, ada ini-itu;  tapi tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Selain menjadi dokter, saya juga aktif di gereja. Sejak pulang dari Jerman ke Indonesia kira-kira 30 tahun lalu saya aktif di gereja untuk melakukan kegiatan sosial.  Dalam kapasitas itulah orang-orang kemudian membawa para korban ke saya. Apa sebetulnya yang terjadi pada mereka, mengapa mereka jadi korban, saya tidak tahu. Saya memberikan bantuan kepada mereka dalam kapasitas sebagai seorang dokter, terlebih sebagai seorang ahli bedah.

Di pertengahan Mei ’98 terjadi penembakan di kampus Trisaksi. Awalnya ada demonstrasi di Trisaksi yang berakhir dengan penembakan. Apa yang sebenarnya yang membuat penembakan terjadi, kita tidak tahu. Saat penembakan itu saya masih pergi kerja ke rumah sakit Husada. Waktu ribut-ribut, setiap hari saya tetap kerja di Husada.

Lantas, kerusuhan kemudian terjadi. Korban-korban dibawa ke saya.  Bahwa sesungguhnya mereka adalah korban perkosaan, itu tidak pernah disebutkan. Tidak ada yang pernah tahu.  Ketika kehormatannya direnggut, dirinya diperkosa, dirampok harta termahalnya, para perempuan itu pun marah, merasa jijik, dan takut. Reaksi yang sangat manusiawi.  Pada saat itu apa yang mereka lakukan? Mereka mencuci dirinya.

Mereka mau melapor? Mau lapor ke mana? Mereka betul-betul tidak berdaya. Kita tahu: secara hukum  kasus perkosaan adalah delik aduan yang harus dibuktikan secara medis. Jadi harus dilaporkan. Ketika melaporkan, harus ada yang dilaporkan dan harus ada bukti medisnya. Tenaga medis harus segera mengambil swap atau spesimen vagina untuk membuktikan perkosaan. Kalau terlambat, spesimen akan mati sehingga nggak ada bukti lagi. 

Nah, ketika korban mencuci dirinya mana ada lagi bukti medisnya.  Bukti itu akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa hari. Mau melaporkan, kan harus ada yang terlapor, siapa yang dilaporkan, melapor kemana…Pertanyaannya: berani nggak mereka keluar?

 

Terlambat menghalau perusuh. (Foto: BBC)

Sekali lagi, dalam perkara perkosaan itu visum dokter harus ada. Setelah kejadian, harus segera dilaporkan dan harus ada yang terlapor. Kalau beberapa hari kemudian dilaporkan barangkali bekas luka masih kelihatan. Tapi apakah ini akibat perkosaan, sudah nggak ada bukti.  Jadi, yang terbukti ada misalnya: ini preparatnya.  Itu nggak ada dan tidak bakal ada.  Tidak pernah bisa terbukti secara medikoligal karena dalam waktu sekian jam harus bisa diambil dan dibuktikan spermanya. Kalaupun ada spermanya akan ditanya: mengapa itu ada dalam vagina. Apakah bukan karena suka sama suka? Itu masalah lain. Lalu siapa yang terlapor? Dalam hal ini pelaku perkosaan tidak diketahui identitasnya.

Sampai hari ini berseliweran berita-berita yang mengatakan tidak ada kejadian yang demikian karena tidak ada bukti.  Bukti hitam di atas putih nggak bakal kita temukan!  

Ada yang mengatakan:  di New York setiap beberapa menit sekali terjadi kejahatan tapi kok orang nggak bilang apa-apa, nggak diviralkan…Saya katakan: antara perkosaan karena kejahatan semata di satu pihak, dan perkosaan yang terjadi karena—kita asumsikan karena tidak punya bukti—mereka dikorbankan, itu dua hal yang sangat berbeda.

Sejak dulu, yang orang selalu tanyakan ke saya adalah apakah para korban yang saya tangani itu mengalami perkosaan atau pelecehan seksual dan kalau iya bagaimana kondisinya.  Saya tidak bisa memberikan jawaban karena bukan dalam kapasitas saya. Saya bukan dokter kandungan; saya ahli bedah. Kita tidak bisa buktikan perkosaan  itu dengan bukti medis. Itu tidak mungkin. Relawan-relawan yang menceritakan ke saya. Cerita itu pun melalui orang-orang kepercayaan mereka. Mereka bilang: ini telah terjadi perkosaan. Kalau ditanyakan: direct-kah? Tetap indirect. Kami menamakannya sistem kupas bawang.

Korban yang saya tangani, ada beberapa yang teringat oleh saya. Masih lengket di kepala saya: seorang gadis remaja entah beberapa belas tahun usianya. Beberapa hari setelah kejadian ia dibawa ke saya karena kakinya luka dan bernanah. Ada beling dalam kakinya. Dia menceritakan ke pendampingnya bahwa dia melarikan diri karena dikejar. Dia kemudian bersembunyi. Pada saat lari, kakinya injak kaca. Itu satu.

Ada lagi yang sempat saya rawat. Saya nggak tahu mengapa kondisinya seburuk itu. Saya rawat karena saya ahli bedah. Dia menderita luka-luka. Giginya patah, tulang patah, tulang iganya patah. Dari perawat saya dengar, dia melarikan diri, menjatuhkan diri dari loteng untuk menyelamatkan diri dari ancaman orang-orang. Dia mengatakan payudaranya luka. Tapi saya tidak periksa. Sesudah agak baik, dia nggak mau dirawat di Indonesia lalu diterbangkan ke Singapura.

Ada juga satu keluarga di Cengkareng yang punya toko kaca. Anaknya mati. Akhirnya ayah-ibunya mengungsi ke Kanada, kalau nggak salah.

Ada beberapa lagi yang ketika dibawa ke saya, mereka takut bertemu dengan lelaki. Barangkali bisa cari majalah Tempo tahun 2003, edisi khusus 5 tahun reformasi. Di situ ada 2 rubrik  menceritakan pengalaman saya.

Jadi ada indikasi indirect; kalau direct nggak mungkin kita dapatkan. Apalagi saya kan sebagai ahli bedah. Indikasi indirect itu misalnya lebam di paha. Kalau dari mulut pasien sendiri, kok saya nggak sampai hati mengorek. Kembali lagi ke teknik kupas bawang.

Secara psikologis, mereka sangat traumatik. Kelihatan sekali pada anak remaja yang ketakutan.  Jadi, dari indikasi indirect itu kita bisa berasumsi bahwa perkosaan massal benar telah terjadi.

Korban tidak ada yang mau buka mulut. Rasanya, secara manusiawi, kita janganlah memaksa mereka lagi. Tapi sebelum para korban itu dibawa ke saya, relawan-relawan sudah menceritakan apa yang menimpa mereka. Dan saya wanti-wanti, nggak mau melukai perasaan mereka lagi.

Jadi, saya sudah mendengar kisah itu sebelumnya dari para relawan. Para korban dibawa ke saya dalam kapasitas saya sebagai seorang ahli bedah yang melakukan tindakan terkait dengan luka. Para relawan itu menceritakan misalnya, “Sudah terjadi perkosaan terhadap wanita ini.”

Saya nggak tahu jumlah korban yang sempat saya tangani. Saya rasa sekitar 10 sampai belasan pasien. Saya dari dulu sampai sekarang tetap bekerja di RS Husada

Yang saya ceritakan adalah pengalaman pribadi saya. Apa tanggapan orang lain, saya nggak mau ambil posisi. Karena relawan itu menceritakan ke saya, saya tahu apa yang terjadi. Dan ketika  memeriksa korban pintu saya tutup. Jadi, saya hanya dengan pasien dan yang mengantarkannya atau mendampinginya. Biasanya relawan, pendampingnya.

Masa perawatan di rumah sakit kira-kira 5 hari. Ketika keadaannya sudah  membaik mereka langsung terbang ke luar negeri. Kebanyakan yang tidak dibawa ke rumah sakit ditempatkan di rumah aman atau safe house.

Tentang korban yang alat vitalnya rusak, ada cerita-ceritanya. Kalaupun ada, sampainya bukan ke ahli bedah. Yang saya tangani tidak ada seperti itu.

Kebanyakan pasien ini diam. Kita bayangkanlah seseorang dalam keadaan trauma. Mereka rata-rata mencoba untuk berdiam diri.  Bisa dibayangkan rasa takut mereka. Beberapa hari setelah kejadian, mereka dibawa ke saya. Jadi,  masih besar rasa takutnya. Ketika relawan-relawan itu menceritakan kejadiannya ke saya, mereka bisanya setengah berbisik.

Kalau yang satu yang dimuat di majalah Tempo  itu kelihatan banget dia depresi. Tidak berani angkat kepala, melihat ke bawah terus. Sementara yang remaja itu, nampak dia sangat ketakutan. Kalau yang satu itu ibu muda, kalau nggak salah; lupa saya.  Menurut cerita, bahkan sampai orang yang sudah tua sekalipun ada yang jadi korban. Tapi ini yang saya ceritakan adalah pengalaman sebagai seorang dokter merawat korban.

 

Bahu-membahu menjinakkan si jago merah. (Foto: DW)

Saya pernah menjalin kontak dengan salah satu korban yang punya anak. Tapi itu juga indirect dan saya rasa ada baiknya begitu. Belakangan saya nggak tahu lagi keadaan dia. Nggak nelepon lagi dan melupakan apa yang terjadi 21 tahun lalu. Mudah-mudahan luka-luka traumanya sudah terobati dan dia bisa sembuh dari ingatan-ingatan traumatik itu.

Ita Martadinata

Sekarang tentang Ita Martadinata. Saya sempat datang ke rumahnya di Gang Intan, untuk menyampaikan belangsungkawa. Saya nggak kenal dia secara pribadi walaupun dia relawan kemanusiaan. Tapi orang tuanya saya kenal sesudah ia [Ita]  dihabisi. Orang tuanya punya toko mebel di Jakarta Timur.

Ancaman teror terhadap saya per telepon mirip-mirip dengan apa yang dilontarkan kepada orang tua Ita Martadinata. Preman dan cindramata. Kami diteror.

Saya diteror. “Eh, kau Cina, berani ngomong ya, sekarang. Enak ya berani buka-buka mulut…Nanti saya kirim preman-preman ke rumahmu membawa cindramata,” kata si penelepon.  Atau kali lain: “Dokter sudah pulang ke rumah ya…,” Itu jam 2 atau 3 subuh. “Anak dokter namanya yang pertama si anu, lahir tanggal sekian, sekolah di sana…” Mereka tahu semua. Bisa juga mereka mau menyapa, “Apa kabar, dok…Tadi demonstrasinya gimana, dok?”  

Semua itu pasti terkait dengan aktifitas saya. Saya setiap hari dulu berdemonstrasi dengan mahasiswa. Dari rumah sakit itu saya sendiri dokter yang berangkat. Ada 1 atau 2 suster yang ikut. Waktu itu ada Forkot, Famred, dan yang lain. Pokoknya siapa saja yang demo saya ikut di belakang aja. Saya pake baju putih dan mereka [mahasiswa] tahu:  ini Om dokter. Saya datang dengan Kijang  merah. Kalau saya datang, mereka sudah tahu. “Om dokter datang, buka jalan!”

Saya tidak punya organisasi. Saya cuma mau dari diri sendiri, mau sumbangkan sesuatu untuk membebaskan negara kita dari cengkeraman rezim otoriter.

Di Pulau Dua, Senayan, mahasiswa sempat juga melorotkan celana aparat yang mau melarikan diri. Saya menyaksikannya. Di Atmajaya, saat Peristiwa Semanggi I, saya di sana. Memang baju-baju basah. Orang bilang saya berani. Saya penakut sebenarnya; ketika ditembaki saya tiarap kok.

Ita Martadinata  adalah korban perkosaan yang mau memberikan kesaksian di PBB. Makanya dia dihabisi. Itu info yang saya dengar. Sebelum dia meninggal, saya nggak tahu info itu.  Rencana keberangkatannya ke New York dijaga rapat.  Tapi mengapa itu sampai bocor sehingga dia menjadi korban? Saya nggak tahu jawabannya.

Dokter Mun’im Idris kemudian membuat kawan-kawan relawan-aktifis marah. Soalnya dalam keterangan pers ia mengatakan Ita sebelumnya pernah melakukan anal sex.  Sebenarnya pernyataan demikian bukan untuk konsumsi umum. Kita [dokter] punya kode etik yang melarang menceritakan yang seperti itu. Hal itu hanya boleh diberitakan atau dibuka atas persetujuan atau pro-justicia, bukan untuk umum. Saya nggak tahu apa motifnya. Setahu saya dokter itu punya kode etik atau sumpah untuk tidak membocorkan rahasia temuan medisnya, kecuali atas permintaan pro-justicia.

Saya berharap perkosaan massal seperti tahun 1998 jangan sampai terjadi lagi. Jangan terulang sebab sangat menyedihkan dan menyakitkan. Kita bukan benci bangsa ini, sebaliknya sayang dan membanggakannya. Kita mau berusaha agar jangan sampai peristiwa medio Mei ’98 terulang lagi

(Rin Hindryati\P. Hasudungan Sirait)

Share:




Berita Terkait

Komentar