Kontroversi Selepas Quick Count (Tulisan-7)

Lembaga Survei dalam Lintasan Sejarah

Minggu, 05/05/2019 15:23 WIB
Sejarah quick count di Indonesia (foto: Idntimes)

Sejarah quick count di Indonesia (foto: Idntimes)

Jakarta, law-justice.co - Pasca perilisan hasil hitung cepat (quick count) Pemilu 2019  kiprah lembaga-lembaga konsultan dan survei politik mulai disoal-dikecam kalangan tertentu. Dikritik karena dianggap tidak netral dan berupaya mengiring opini publik. Padahal,  praktik prediksi dan perhitungan berbasis statistik di ranah politik sebenarnya bukan barang baru di Indonesia sebab sudah ada sejak akhir dekade 1960-an.

Salah satu pelopornya adalah ilmuan politik asal AS, Karl D. Jackson. Pada 1968-1969, ia melakukan survei lapangan  di Jawa Barat yang bertujuan untuk  memberikan eksplanasi lain ihwal pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hal ini dilakukannya sebagai bagian dari riset akademik untuk mengetahui hubungan antara otoritas tradisional, Islam, dan pemberontakan dalam konteks perilaku politik masyarakat di sana (Trihartono, 2013) serta menjelaskan faktor-faktor yang mendukung gerakan DI/TII (Mehden,1981).

Untuk kepentingan itu, Karl melakukan wawancara mendalam dan pengambilan sampel  bertingkat yang tidak proporsional di 3 desa, yang pro-pemerintah, pemberontak, dan campuran antara keduanya.   Setidaknya terdapat 229 pertanyaan kuesioner yang diajukannya kepada 200 penduduk desa yang fokusnya: mengapa pemberontakan DI/TII bergolak pada 1948-1962 dan apakah mereka mendukung atau tidak mendukung gerakan itu (Roff, 1982).

Hasil penellitian ini dipresentasikan melalui 131 tabel dan 7 grafik yang menyimpulkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pemberontakan memiliki hanya sedikit atau sama sekali tidak memiliki hubungan dengan agama Islam atau kondisi sosio-ekonomi yang sulit. Meskipun begitu, riset ini banyak dikritik karena  pengambilan sampel yang sedikit dan waktu riset yang dilakukan 7 tahun setelah peristiwa DI/TII ditumpas. Akurasinya diragukan (Mehden,1981).

Kontroversi Suburi

Kegiatan survei di berbagai sektor kehidupan masyarakat marak dilakukan di awal Orde Baru. Kala itu terdapat Lembaga Pers dan Pendapat Umum Djakarta dan Departemen Penerangan yang melakkan kegiatan semacam ini. Salah satunya adalah publikasi hasil survei pada Pemilu 1971. Di luar itu, terdapat juga PT Survei Business Research Indonesia (Suburi), swasta yang banyak melakukan survei namun bernasib naas pada akhirnya.

Didirikan pada 1967, PT Suburi diinisiasi oleh Duta Besar Indonesia di AS, Sjarif Thajib, yang melihat maraknya lembaga survei opini publik di negeri Paman Sam. Di saat yang bersamaan,  sebuah lembaga di Manila, Asia Research Organization, menawarkan diri untuk mengelola perusahaan ini. Akhirnya PT Suburi resmi beroperasi ketika Profesor Sadili, yang saat itu menjadi ketua Panitia Penanaman  Modal Asing (LSI, 2004).

Segera setelah berdiri, perusahaan ini  langsung kebanjiran proyek riset. Mereka, misalnya, mendapat kontrak penelitian tentang keluarga berencana,  perbaikan kampung di Jakarta, dan TVRI. Selain itu digandeng oleh Dinas  Penerangan AS  untuk meriset pendengar radio Voice of Amercia (VoA) dan bacaan berbahasa Inggris yang diterbitkan lembaga itu.

Di luar itu,  PT Suburi uga melakukan berbagai survei politik. Pada 1969, misalnya, mereka membuat riset bertajuk ‘Pre election Survei’ (PES) yang didanai oleh Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN). Selain itu, korporasi ini juga membuat riset politik pada 1972 tentang persoalan-persoalan  sosial dan ekonomi yang dihadapi masyarakat.

Dalam survei itu sebenarnya terdapat  53 pertanyaan yang diajukan ke responden  di DKI Jakarta, Jawa Barat, Tengah, dan Timur. Namun survei ini menjadi bermasalah karena pada butir pertanyaan tentang “orang yang terhormat sebagai berikut tentang sifat-sifatnya dalam menjalankan kepemimpinan mereka, menilai pejabat tinggi tersebut dari 1 sampai 10”. Hasilnya Presiden Soeharto hanya berada di urutan ke-3 di bawah Gubernur Jawa Barat Solihin GP dan Menteri Ekuin  Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Satuan Tugas Intelejen Kodam VII Semarang merupakan pihak yang menyoal survei ini. Pada 17 Juni 1972, seorang tenaga lapangan perusahaan ini yang sedang mewawancarai penduduk di Semarang ditangkap. Alasannya, kegiatan yang dilakukannya itu merupakan spionase.  Menteri Dalam Negeri Amirmachmud juga menganggap kegiatan PT Suburi ini merupakan tindakan subversif yang menganggu keamanan dan ketertiban.

Akhirnya, izin perusahaan ini pun dicabut dan direkturnya, John M. Digregorio diusir dari Indonesia. Sejak saat itu pula, kegiatan penelitian, termasuk survei harus mendapat izin pemerintah, seperti Gubernur dan  ABRI. Pelaksana Khusus (Laksus) Komando Keamanan dan Ketertiban Daerah (Kopkamtibda), misalnya, akan memeriksa kegiatan penelitian dan instrumen yang digunakan.  Alhasil, penelitian-penelitian semacam ini pun menyurut dan sebagian besar hanya dilakukan oleh perguruan tinggi.

Kasus Monitor

Setelah lebih dari satu dasawarsa tiarap, aktifitas survei mulai menggeliat pada pertengahan 1980-an. Sejumlah  perusahaan media massa mulai melirik bidang ini. Kompas, Tempo, Matra, dan Monitor, termasuk. Meskipun menghindari survei-survei yang terkait langsung dengan politik,  publikasi yang dihasilkan kembali menuai kontroversi.

Survei tentang antusiasme kaum muda dalam Pemilu 1987 yang dilakukan Tempo dan Kompas tidak mendapat reaksi yang berlebihan. Sebaliknya, jajak pendapat yang dilakukan majalah Matra pada tahun yang sama tentang hubungan antara pria-wanita justru mendapat perhatian luas. Pasalnya, survei itu menyebutkan  1 di antara 3 pria di Jakarta memiliki selingkuhan wanita. Survei ini dianggap tidak sesuai dengan realitas sehingga metodologi, pengumpulan data, dan analisisnya dipertanyakan. 

Tiga tahun berselang, sebuah survei yang dilakukan oleh tabloid Monitor kembali menuai kontroversi dan berbuntut  hukum. Ketika itu mereka menjajaki pendapat para pembacanya tentang tokoh yang paling diidolakan masyarakat Indonesia.   Ribuan  kartu pos berisi pendapat pembaca, mereka teriima.  

Hasil jajak pendapat itu pun dipublikasikan di rubik Kagum  tabloid itu edisi 15 Oktober 1990. Pada peringkat pertama hingga ke-3 muncul nama Presiden Soeharto (5.003 dukungan), B.J Habibie (2.975), dan Bung Karno (2.662). Namun yang menjadi kontroversi adalah kemunculan sosok Siti Hardianti Rukmana yang bersama sang pemimpin redaksi tabloid itu, Arswendo Atmowiloto. Di peringkat ke-10, Arswendo beroleh 797 suara. Sementara Nabi Muhammad hanya di peringkat ke-11 dengan 616 suara.

 

Prediksi berbasis statistik sudah ada sejak 1960an (Ilustrasi: Intisari online)

Kecaman pun bermunculan setelah hasil jajak pendapat itu tersebar ke publik. Tabloid Monitor kemudian mohon maaf. Begitupun, Arswendo harus berurusan dengan hukum. Ia divonis bersalah dengan hukuman 5 tahun penjara. Keanggotaannya di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dicabut. Tak hanya itu, seluruh editor tabloid itu masuk daftar hitam dan tidak boleh bekerja di media massa mana pun (Trihartono, 2013).

LP3ES, Pelopor

Di masa akhir Orde Baru kegiatan survei tetap berlangsung meski di bawah tekanan. Di awal dekade 1990-an, LP3ES dan Litbang Kompas, umpamanya, kerap melakukan survei aneka thema.  Bila Litbang Kompas  mengumpulkan pengumpulan data melalui sambungan telepon terkait berbagai kebijakan publik,  LP3ES sering mengandeng berbagai media massa untuk mempublikasikan survei tentang tema-tema sosoial seperti kebebasan pers dan komitmen nasional (LSI, 2004).

Pada Pemilu 1997, LP3ES baru berani melakukan survei dengan  tema politik.  Direktur LP3ES Rustam Ibrahim mengatakan saat itu, seperti ditulis dalam akun Twitter pribadinya,  lembaga itu  secara diam-diam melakukan hitung cepat untuk melihat apakah ada kecurangan dalam proses peghitungan suara. Ketika itu, LP3ES melakukannya secara terbatas di DKI Jakarta.

Hasilnya? Terdapat perbedaan antara hasil hitung cepat lembaga itu dengan perhitungan yang dilakukan Panitia Pemilihan Umum. Namun karena kontrol yang ketat dari pemerintah terkait pemilu pada masa itu, LP3ES tidak berani mempublikasikan temuannya  sehingga perbedaan hasil perhitungan yang mengindikasikan manipulasi suara dalam pesta demokrasi saat itu tidak pernah terungkap. 

Ketumbangan Orde Baru pada 1998 menciptakan iklim demokrasi yang memberikan ruang luas bagi kiprah lembaga-lembaga survei swasta. Dalam pesta demokrasi pertama pada masa Reformasi, Pemilu 1999, selain LP3ES  terdapat Resource Productivity Center (RPC), Internasional Foundation for Election Systems (IFES), Litbang Kompas, dan Komite Pemberdayaan Pemilih (KPP)-Laboratorium Politik Universitas Indonesia (LSI, 2004). Hampir seluruh lembaga ini didanai lembaga donor asing

Pada Pemilu 1999, misalnya, LP3ES melakukan survei opini publik ihwal pemungutan suara legislatif.  Meskipun dukungan kemampuan, staf, dan dana terbatas, lembaga ini berhasil menggelar serangkaian jajak pendapat di Pulau Jawa, tempat bermukim 60% penduduk Indonesia.

Survei ini berhasil memprediksi perolehan suara beberapa partai peserta pemilu. LP3ES, misalnya memperkirakan Partai Kebangkitan Bangsa akan memperoleh 18%. Angka ini  tak jauh beda dengan perhitungan KPU yang 20,82%. Sementara bila Golkar diprediksi  mencapai 17% maka dalam perhitungan pemilu hasilnya tak jauh berbeda:  20,82%. PAN diperkirakan mengumpulkan 6% suara. Nyatanya, cuma lebih rendah 0,84% dari perhitungan KPU.

Meskipun begitu,  hasil survei yang dilakukan beberapa lembaga tak terlepas dari kritik.  Jajak pendapat yang dilakukan LP3ES dianggap hanya  gagal mengambarkan situasi di beberapa wilayah karena hanya terfokus di Pulau Jawa. Hal ini, misalnya, terlihat dari kegagalan lembaga ini memprediksi suara yang diperoleh PDI-P. Dalam survei LP3ES disebutkan partai ini hanya memperoleh 20% suara.  Ternyata KPU menetapkan  suara PDI-P 37%,  atau tertinggi dibanding partai-partai lain (Mangahas, 1999).

 

LP3ES, pelopor survei di Indonesia (Ilustrasi: arratrapost)

Kecenderungan serupa juga dialami lembaga nirlaba asal AS yang memberi perhatian pada reformasi sistem pemilu di berbagai negara, IFES.  Sepanjang Desember 1998-Februari 1999, organisasi ini melakukan serangkaian survei yang hasilnya tidak jauh berbeda dengan hasil Pemilu 1999.  Karena fokus lembaga ini pada perilaku para pemilih dan perhitungannya tidak detil maka beberapa prediksinya terlalu tinggi terutama terkait partai-partai Islam (Mietzner, 2009).

Survei Pilpres

Penerapan sistem pemilihan umum yang baru, terutama untuk memilih kandidiat presiden secara langsung, pada Pemilu 2004  telah mengubah lanskap politik  Indonesia. Meskipun tetap mensyaratkan pengusungan dari partai politik, popularitas sosok  kandidat presiden dan wakil presiden kini memainkan peran penting karena tak selalu seiring dengan peroleh suara partai politik.

Hal inilah yang menyebabkan peran lembaga survei yang sebelumnya tidak diperhitungkan, menjadi sangat penting untuk mengukur, bahkan memprediksi peluang para kandidat untuk memenangi kontestasi politik dalam pemilihan umum. Alhasil lembaga-lembaga ini kian menjamur dan semakin rutin mempublikasikan survei jelang pesta demokrasi dilangsungkan dan mengadakan hitung cepat yang diterbitkan sebelum hasil perolehan  suara Pemilu diumumkan KPU.

Menjelang Pemilu, antara April 2003 hingga Maret 2004, setidaknya terdapat 7 lembaga yang merilis survei politik. Selain dua pemain lama, LP3ES dan IFES, terdapat pula Danareksa Research Institute (DRI), Internasional Republican Institute (IRI), Soegeng Sarjadi Syndicated (SSS),  Lembaga Survey Indonesia (LSI), dan Badan Penelitian dan Pengembangan PDIP Perjuangan (Balitbang PDIP).

Meskipun begitu hanya LP3ES yang menyelenggarakan hitung cepat dalam pesta demokrasi pada saat itu. Bekerjasama dengan The National Democratic Institute for International Affairs (NDI),  lembaga ini menggunakan 2.000 tempat pemungutan suara (TPS) sampel yang tersebar di 32 provinsi. Untuk menjamin akurasi, dilakukan proyeksi dan analisis observasi langsung di 1.416 TPS yang menampung suara 289 pemilih. Ada margin of error tidak lebih dari 1%  dengan tingkat kepercayaan 95%.

Metode semacam ini digunakan, baik dalam hitung cepat Pemilu Legislatif (Pileg)  dan Pemilu Presiden (Pilpres)  Dalam 2 putaran Pilpres, hitung cepat yang dilakukan lembaga ini tidak hanya berhasil memprediksi 2 calon presiden yang lolos dari putaran pertama, bahkan berhasil menebak kandidat yang akhirnya menjadi pemenang Pilpres. Persentase suaranya pun mendekati perhitungan akhir yang dikeluarkan KPU.

Hasil Hitung Cepat yang dilakukan LP3ES dalam Pemilu 2004

Pemilu Presiden

Kandidat

KPU

LP3ES

 Putaran I

 Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla

33.58%

33,90%

 

 Megawati Soekarnoputri-Ahmad Hasyim Muzadi

26.24%

24,90%

 

 Wiranto-Salahuddin Wahid

22.19%

23,80%

 

 Amien Rais-Siswono Yudo Husodo

14.94%

14,60%

 

 Hamzah Haz-Agum Gumelar

3.05%

2,80%

 Putaran II

 Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla

60,62%

60,20%

 

 Megawati Soekarnoputri-Ahmad Hasyim Muzadi

39,38%

39,80%


Pada putaran pertama Pilpres yang diikuti oleh 5 kandidat, hitung cepat LP3ES menempatkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK) diperingkat pertama dengan perolehan 33,9% suara, diikuti oleh  pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi yang mengumpulkan 24,9% suara (LP3ES, 2004). Sementara dalam perhitungan akhir KPU, SBY-JK mengumpulkan 33,90%  unggul dari Mega- Hasyim yang memperoleh 26,24% suara.

Hal serupa juga kembali terjadi pada putaran ke-2 yang kembali mempertemukan 2 peringkat teratas kandidat presiden dan wakil presiden. Ketika itu, hitung cepat LP3ES, memprediksi pasangna SBY-JK memperoleh 60,2% suara, sementara pasangan Mega-Hasyim mendapatkan 39,8% suara. Kedua prediksi itu hanya berbeda +/- 0,42%  suara  dari perhitungan suara akhir yang dirilis KPU.

Meskipun begitu, publikasi  hasil hitung cepat yang dilakukan oleh LP3ES dalam waktu singkat justru menuai kontroversi. Ketika organisasi  ini merilis prediksi hasil Pileg hanya 1 hari setelah pemungutan suara ditutup, KPU  bereaksi keras. Lembaga penyelenggara pemilu ini menganggap LP3ES  telah melangkahi wewenang dan mengacam akan mencabut akreditasi lembaga itu sebagai pemantau dalam Pilpres. Sesuatu yang akhirnya tak pernah terwujud.

Selain itu, kecaman datang pula dari beberapa politisi senior. Ekonom cum politisi senior PDI-P, Kwik Kian Gie, misalnya menyembut lembaga-lembaga yang menyelenggarakan survei dan hitung cepat tidak dapat dipercaya karena ada campur tangan pengamat asing di dalam lembaga itu. Merupakan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional di masa itu, menurut Kwik prediksi-prediksi ini dikeluarkan untuk membentuk opini publik terhadap  Pemilu 2004 (Kompas, 2004).

Suara keras juga datang dari Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Amien Rais. Sosok yang kala itu maju sebagai calon presiden menolak hasil survei dan hitung cepat karena akurasinya lemah. Salah satu orang dekatnya mengatakan, “Ia (Amien) mengatakan seseorang tidak dapat mempercayai hasil jajak pendapat dan bahkan mencurigai lembaga-lembaga survei yang hanya mewawancarai  orang-orang yang tidak suka terhadap dirinya” (Mietzner, 2009).

Sementara sikap ambigu ditunjukkan oleh Ketua Partai Golkar, Akbar Tanjung. Ketika LP3ES merilis hasil hitung cepat yang memprediksi partai itu sebagai pemenang Pileg, ia mengatakan hal itu menjadi bukti bahwa daya tarik Golkar tidak memudar. Namun ketika sejumlah survei mengatakan SBY-JK lebih unggul daripada  Mega- Hasyim, Akbar menampik opini itu dan menyebut dirinya masih percaya bahwa konstituen Nahdatur Ulama yang besar cukup bagi pasangan itu untuk memenangkan Pilpres 2004.

Namun hasil hitung cepat LP3ES yang selaras dengan perhitungan akhir KPU, mengubah pandangan Amien Rais dan Akbar Tanjung. Setelah Pemilu, Ketua PAN itu harus mengubur skeptismenya karena hitung cepat yang dilakukan terbukti benar. Hal serupa juga diperlihatkan oleh Akbar Tanjung. Dia drastis mengubah pandangannya terhadap survei politik dan hitung cepat dan memasukan unsur ini dalam perenaan strategis Partai Golkar ((Mietzner, 2009).

Penerapan sistem pemilu langsung yang memberikan ruang baru bagi lembaga-lembaga survei, membuat beberapa politisi senior, terlempar dari gelanggang politik. Amien Rais memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai Ketua PAN dan tidak akan maju lagi sebagai kandidiat presiden, sementara Akbar Tanjung malah terlempar dari kursi Ketua Partai Golkar dan digantikan oleh Jusuf Kalla yang bersama SBY sejak awal diunggulkan sebagai pemenang Pilpres 2004.

Sejak saat itu para politisi mulai melirik lembaga-lembaga survei yang kian menjamur dan secara konsisten melakukan survei politik dan hitung cepat menjelang perhelatan pesta demokrasi. Menurut catatan 2 asosiasi lembaga survei yang ada, Persepi dan Aropi, hingga 2008 setidaknya terdapat 60 lembaga survei di tingkat nasional. Sementara peneliti Litbang Kompas menyebut   terdapat 100 publikasi survei pada 2004 dan  jumlahnya meningkat tiga kali lipat pada periode 2005-2008 (Trihartono, 2013).

Prabowo Menolak

Menjelang  Pemilu 2009 muncul berbagai lembaga survei.  Untuk hitung cepat saja, misalnya terdapat 6 lembaga baru, yaitu Lembaga Survey Indonesia (LSI Mujani dan Muhtadi), Lingkaran Survei Indonesia (LSI Denny JA), Cirrus Surveyor Group (Cirrus), Lembaga Riset Informasi (LRI), Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), dan  The Institute Indonesian Development Monitoring (IDM). Di luar itu terdapat pula pemain lama, LP3ES.

Hal yang menarik, meskipun terdapat 3 kandidat calon presiden dan wakil presiden, mayoritas lembaga survei menduga Pilpres 2009 akan berlangsung 1 putaran saja. Hal ini ditunjukkan oleh hitung cepat yang dilakukan 5  lembaga survei yang memprediksi SBY-Budiono memperoleh suara lebih dari 60% atau berselisih tipis dengan perhitungan KPU. Namun terdapat pula lembaga, seperti The Indonesia Development Monitoring (IDM) yang menyatakan kemenangan Mega-Prabowo sebesar 38,83%.

Hasil Hitung Cepat Berbagai Lembaga Survei dalam Pemilu 2009

Kandidat

KPU

LP3ES

LSI Denny JA

LSI/SMRC

Cirrus

Puskaptis

LRI

IDM

Megawati Soekarno Putri- Prabowo Subianto

26.79%

27.40%

27.36%

26.56%

27.49%

28,16%

 27,02%

38,83%

Susilo Bambang Yudhoyono- Budiono

60.80%

60.28%

60.15%

60.85%

60.20%

57,95%

61,11%

31,29%

Jusuf Kalla-Wiranto

12.41%

12.32%

12.49%

12.59%

12.30%

13, 89 %

11,87%

30,35%


Meskipun minoritas, perbedaan hasil quick count menjadi senjata kandidat calon yang mengumpulkan lebih sedikit suara untuk menolak prediksi yang dikeluarkan lembaga-lembaga survei. Salah satunya datang dari pasangan Megawati-Prabowo. Mantan Danjen Kopassus itu, misalnya dengan lantang  menyebut validitas hasil hitung cepat patut dipertanyakan dan tidak dapat menjadi acuan hasil Pilpres.

Prabowo juga menolak prediksi kemenangan pasangan SBY-Budiono yang dilontarkan sejumlah lembaga survei. Alasannya, yang sebenarnya koradiktif, karena sebuah lembaga survei, yaitu IDM, yang menyatakan pasangan Mega-Prabowo unggul dengan presentase 38,83%. Hitung cepat ini sendiri diklaim dilakukan di 17 provinsi dan melibatkan 3.000 TPS sebagai sampelnya.

Belakangan, meskipun hitung cepat 5  lembaga survei terbukti tak berbeda jauh dengan hasil akhir Pemilu yang dipublikasikan oleh KPU, pasangan Mega-Prabowo tetap tak menerimanya. Mereka kemudian mengajukan sengketa hasil ini ke Mahkamah Konstitusi. Namun gugatan itu, berdasarkan putusan yang dibacakan oleh salah satu hakim konstitusi, Mahfud MD,  akhirnya ditolak. Alasannya,   berdasarkan  bukti-bukti ihwal kecurangan Pemilu hanya bersifat teknis dan prosedural belaka.

Tren yang hampir serupa, dengan tingkat kompleksitas yang lebih tinggi, terjadi dalam hitung cepat yang dilakukan pada Pemilu 2014. Ketika itu, terdapat 12 lembaga survei yang berpartisipasi. Delapan lembaga survei di antaranya, memenangkan pasangan Joko Widodo -Jusuf Kalla. Sementara empat yang lain, memprediksi duo Prabowo Subianto- Hatta Rajasa sebagai kampius pesta demokrasi pada saat itu

Lembaga-lembaga yang memprediksi kemenangan Jokowi-Jusuf Kalla memperlihatkan selisih yang tipis (1-2%) dengan hasil perhitungan resmi KPU. Beberapa lembaga survei, seperti LSI Denny JA (0,3%), Indikator Politik (-0,42 %),  Poltracking (0,44%), SMRC (-0,48%),  dan  RRI (-0,76%), bahkan memiliki selisih kurang dari +/- 1% bila disandingkan dengan prediksi pasangan calon Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Akurasi perolehan suara Jokowi-JK lima lembaga itu pun terbilang tinggi,  di bawah +/- 0,2% dari perhitungan KPU.

Sebaliknya, selisih hitung cepat  empat lembaga survei yang memenangkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa lebih bervariasi bila dibandingkan hasil perhitungan akhir KPU, sekitar 2% sampai hampir 6%. Tercatat hanya Puskaptis yang memiliki margin 2% bila dibandingkan dengan selisih suara dua kandidat menurut perhitungan resmi.  Namun prediksi 3 lembaga lainnya, baik dalam memperkirakan margin kedua kandidat maupun akurasi perolehan suara Prabowo-Hatta Rajasa, juga terbilang rendah dengan selisih +/- 2-5% dan 3-5%.

Hasil Hitung Cepat Berbagai Lembaga Survei dalam Pilpres 2014

Lembaga

Joko Widodo- Jusuf Kalla

Prabowo Subianto-Hatta Rajasa

Margin Dua Kandidat

Selisih Perolehan Suara  Kandidat yang Dimenangkan

KPU

53,15%

46,85%

 0%

 0%

LSI Denny JA

53,3 %

46,7%

0,3%

0,15%

LSI/SMRC

52,91%

47,09%

0,48%

0,24%

Populi Center

50,94%

49,06%

4,42%

2,21%

CSIS-Cyrus

51,9%

48,1%

2,5%

1,25%

Litbang Kompas

52,34%

47,66%

1,62%

0,81%

Indikator Politik

52,94%

47,06%

0,42%

0,21%

RRI

52,94%

47,40%

0,76%

0,21%

Poltracking

53,37%

46,63%

0,44%

0,22%

Puskaptis

47,95%

52,05%

2,2%

5,2%

IRC

48,89%

51,11%%

4,08%

4,26%

LSN

49,81 %

50,19%

5,92%

3,34%

JSI

49,84%

50,16%

5,98%

3,31%


Berbeda dengan Pemilu 2009, pihak yang memperoleh suara yang lebih sedikit tidak menolak hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei. Sampai sebelum perhitungan resmi dari KPU, pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa masih mengklaim kemenangan dalam pesta demokrasi yang dihelat pada 2014 karena 4 lembaga survei telah menyatakan keunggulan mereka dalam Pilpres kali itu.

Baru setelah KPU menyatakan keunggulan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla, Prabowo Subianto menolak hasil Pilpres 2014 dengan alasan  penuh kecurangan. Bersama pasangannya Hatta Rajasa, ia pun memutuskan menarik diri dari pesta demokrasi yang pada saat itu masih berlangsung. Meskipun keduanya memutuskan mengugat hasil Pilpres, Mahkamah Konstitusi memperkuat putusan KPU pada saat itu.

Belakangan, perbedaan hasil hitung cepat ini juga mendapat perhatian asosiasi lembaga survei, seperti Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi). Organisasi ini melakukan audit terhadap semua anggotanya, mulai dari metode pengambilan sampel hingga pengumpulan data. Namun pada saat itu, Jaringan Suara Indonesia (JSI) dan Puskaptis menolak hadir karena menuding organisasi itu cenderung mendukung Jokowi-JK  sehingga keduanya kemudian dikeluarkan dari Persepi.

 

(Teguh Vicky Andrew\P. Hasudungan Sirait)

Share:




Berita Terkait

Komentar