Parlemen Mati-Rezim Pelihara Buzzer, Ini 5 Tanda Kemunduran Demokrasi

Senin, 21/03/2022 07:36 WIB
Ketua Dewan Pengurus LP3ES, Didik J Rachbini. (Biografi Tokoh).

Ketua Dewan Pengurus LP3ES, Didik J Rachbini. (Biografi Tokoh).

Jakarta, law-justice.co - Ketua Dewan Pengurus LP3ES yang juga Ekonom Senior, Prof Didik J Rachbini, menyoroti praktik demokrasi di Indonesia yang semakin menunjukkan kemunduran, bahkan cenderung kembali berbentuk otoriter seperti pada Orde Baru.

Katd dia, setidaknya ada 5 cirinya, apa saja?

“Pertama, tahun 2021, termasuk tahun-tahun sebelumnya, banyak sekali praktik-praktik antidemokrasi yang muncul, yang sudah hampir keseluruhan ilmuwan yang independen menyatakan bahwa kereta demokrasi yang dibawa sejak reformasi putar balik mendekati rezim otoriter. Ini catatan dari peneliti yang diurai dalam buku ini,” sebut Didik dalam Launching Buku “Kemunduran Demokrasi dan Resiliensi Masyarakat Sipil”, Minggu (20/3).

Praktik otoriter ditunjukkan melalui menguatnya wacana penundaan Pemilu 2024 sehingga berdampak pada perpanjangan masa jabatan presiden. Begitu pula dengan intervensi pemerintah atas hukum sehingga berdampak pada kriminalisasi aktivis di kalangan masyarakat.

“Wacana presiden 3 periode, mau nambah jabatan jadi 3 tahun. Itu elemen di kanan kiri presiden, itu muskil dan hampir tak mungkin presiden tidak tahu. Saya kira itu bagian secara bersama-sama, elemen di sekitarnya, dengan kekuasaan di pusatnya,” jelas dia.

“Termasuk juga kriminalisasi aktivis-aktivis demokrasi, Haris dan Fatia. Itu bukan maki-maki musuh, dia melakukan kritik check and balances terhadap kekuasaan supaya tidak conflict of interest. Dia meneliti kiprah penguasa dalam mobilisasi sumber daya alam. Apabila ada kesalahan, tidak bisa dikriminalisasi secara hukum. Hukumnya berkolusi dengan kekuasaan yang otoriter, persis seperti Orde Baru,” lanjutnya.

Begitu pula dengan kinerja MPR/DPR/DPD. Didik menilai, kuatnya partai koalisi pemerintah membuat kinerja parlemen dalam mengawasi dan mengontrol kebijakan pemerintah menjadi lemah.

“Ketiga, parlemen sebagai pengawas dan pengontrol mati. Sekarang sangat lemah sekali dan itu nestapa demokrasi yang sekarang jadi lebih berat,” ungkap Didik.

Rektor Universitas Paramadina tersebut juga melihat pengaruh buruk dunia digital dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, salah satunya kemunculan buzzer sebagai pasukan propaganda yang terinstitusi dalam pemerintah.

“Keempat, dunia digital semakin marak dengan rezim ini, di mana rezim ini membuat pasukan propaganda. Kalau dahulu zaman Musolini ada pasukan propaganda lewat radio, sekarang lewat buzzer. Dan buzzer terinternalisasi jadi organik dalam institusi pemerintah. Ini berbahaya,” katanya.

Ia pun masih menaruh harapan pada akademisi yang berperan dalam mewujudkan nilai demokrasi melalui penelitian dan kajian. Begitu pula dengan upaya media hingga masyarakat sipil dalam melangsungkan kritik pada keadaan demokrasi Indonesia yang semakin tergerus.

“Terakhir, aktivitas intelektual masih punya harapan di tengah otoritarian. Alasannya masih banyak aktivis yang cinta terhadap demokrasi melalui cara yang akademik,” beber Didik.

“Media massa juga sangat kuat tetapi sosial media sudah dikuasai buzzer. Kekuatan rakyat jangan dianggap remeh. Waktu UU KPK, anak-anak muda demo. Jangan underestimate terhadap kekuatan rakyat kalau praktik-praktik demokrasi sudah melewati batas,” tandas dia.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar