Permintaan Presiden Joko Widodo atau Jokowi agar tidak ragu mengkritik kebijakan pemerintah diminta untuk dipahami dengan baik. Pasalnya, kritikan yang disampaikan melalui media sosial bisa saja terjerat dengan Pasal yang terdapat dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.
Ketua Dewan Pengurus Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Didik J Rachbini, yang melihat pemerintah sudah kehilangan momentum memulihkan ekonomi yang dibarengi dengan penanganan Covid-19.
"Presiden dari perilakunya tidak menunjukkan komitmen terhadap demokrasi dalam pengambilan keputusan dan tindakannya. Kecendrungannya otoriter dan praktek diktator semakin kuat ketika oposisi hilang dan masyarakat sipil lemah," ujar Didik.
Kedua, kelompok oposisi semakin lemah. Hal ini seiring masuknya dua rival Joko Widodo di Pilpres 2019, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, dalam struktur pemerintahan.
"Ini terkait ya, waktu Harun Masiku ditangkap itu, bisa dibuktikan bahwa ini orang ada kaitan dengan misalnya sekjen partai pemenang pemilu dan sebagainya dia hilang begitu saja. Apakah dia masih hidup atau sudah dihabisi? Itu kita tidak tau," pungkasnya.
"Jadi dari Rp 651 triliun utangnya sekarang menjadi Rp 1.530 triliun. Jadi dalam keadaan yang ini alasannya Covid, keadaan di mana tidak ada kunjungan, tidak ada sosilisasi, maka ini menaikan semau gue," demikian Didik J Rachbini.
"Namun kemunduran paling jelas terasa pada periode kedua Jokowi," sambungnya.
"Kita bisa lihat baik di PDIP maupun di Golkar muncul ekspresi kemarahan luar biasa," kata Tomi.
"Risiko nyawa dalam jumlah besar, resiko buruknya sosialisasi karena kampanye tetap terjadi, kemudian orang tidak akan seantusias sebelum-sebelumnya, dan dia akan tidak tertarik dengan pemilu, malah ada ketakutan," ujar Wijayanto.
"Dua tahapan ini berpotensi menjadi bom atom kasus Covid-19 di Indonesia. Jika bom atom ini meledak, maka dipastikan akan terjadi ledakan nuklir kasus Covid-19 pada akhir 2020, Natal dan tahun baru dalam duka. Kapasitas RS pasti tidak akan cukup," ujar Wijoyanto.