Zainal C Airlangga, Penulis

Sistem Pemilu RI perlu Ditinjau Ulang

Jum'at, 19/04/2019 07:44 WIB
Pemilu di Indonesia (Foto: Liputan6)

Pemilu di Indonesia (Foto: Liputan6)

Jakarta, law-justice.co - Bangsa Indonesia baru saja menggelar “pesta demokrasi” yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Sebagai negara yang baru saja menerapkan demokrasi terbuka dan langsung sejak tahun 1999, Indonesia masih bereksperimen dengan aturan pemilu. Salah satu eksperimen itu termuat dalam UU Pemilu tahun 2017 terkait dengan penyelenggaraan pemilu serentak dalam satu hari.

Jika pada tahun 2014 pemilu legislatif dilakukan tiga bulan lebih awal dari pemilu presiden, pemilu legislatif dan presiden tahun ini diadakan serentak pada hari yang sama, menjadikannya sebagai salah satu pemilu yang paling rumit di dunia, disebut juga ‘Pemilu Lima Kotak’. Surat suara warna hijau ialah daftar calon anggota legislatif (caleg) kabupaten/kota, biru untuk caleg provinsi, kuning untuk caleg DPR RI, merah untuk caleg DPD RI, dan abu-abu untuk calon presiden-wakil presiden.

Lalu apa yang melatarbelakangi Pemilu tahun 2019 dilakukan serentak? Hal itu bermula saat Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak menggugat UU Nomor 42/2008 tentang Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan itu terregister dengan nomor 14/PUU-XI/2013. Alasan mereka sederhana, penyelenggaraan pemilu serentak lebih efisien baik dari segi waktu maupun biaya.

Berdasarkan perhitungan anggota KPU saat itu, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, yang mereka kutip dalam permohonan, penyelenggaraan pemilu serentak bisa menghemat anggaran Rp 5 sampai Rp 10 triliun.  Sedangkan berdasarkan perhitungan Anggota DPR F-PDIP Arif Wibowo, pemilu serentak mampu menghemat dana sekitar Rp 150 triliun, atau sepersepuluh APBN dan APBD.

Singkatnya, MK mengabulkan sebagian gugatan tersebut. Dalam beberapa penjelasannya, Mahkamah beralasan penyelenggaraan Pilpres tahun 2004 dan 2009 setelah Pileg, ditemukan fakta capres terpaksa harus bernegosiasi (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang pada akhirnya mempengaruhi roda pemerintahan. Presiden sangat tergantung pada partai-partai politik yang dapat mereduksi posisi presiden dan sistem pemerintahan presidensial.

Namun benarkah alasan-alasan pembenaran pemilu serentak terpenuhi? Jika ditelisik sejak UU Pemilu 2019 dirumuskan seperti ketentuan ambang batas presidential (presidential threshold), ambang batas parlemen (parliamentary threshold), dan alokasi kursi anggota DPR per daerah pemilihan (dapil), hingga pelaksanaan pencoblosan, praktik pemilu serentak tidak lebih baik dari pemilu sebelumnya yang terpisah. Tampaknya, ketika MK memutuskan untuk penyelenggaraan pemilu serentak, putusan MK masih belum putusan operasional yang menjawab kerisauan-kerisauan atas banyaknya penyelenggaraan pemilu serentak yang baru lalu.

Kini dalam pemilu serentak, kampanye presiden telah menenggelamkan kehebohan kampanye partai. Sosialisasi tentang profil calon anggota legislatif tenggelam oleh massifnya kampanye presiden. Bahkan dalam sosialisasi dirinya, caleg hanya mengandalkan efek ekor jas, dengan menampilkan foto capres masing-masing dalam ukuran yang lebih besar.

Dengan kampanye yang minus pengenalan profil caleg ini, sukar kita membayangkan seperti apa wajah legislatif 2019-2024 nanti. Konsekuensi yang muncul bisa berbagai macam. Misalnya, masyarakat mungkin hanya memilih presiden dan tidak memberikan suara untuk legislatif. Bisa juga memilih asal-asalan, atau hanya berdasarkan ketertarikan kepada partai. Artinya, jika dalam model kampanye partai di masa lalu yang heboh saja tidak mampu merangkul pemilih secara rasional, apalagi dalam kampanye yang sepi seperti sekarang.

Kemudian soal alasan efisiensi anggaran, karena ada beberapa pos pembiayaan yang dapat disatukan. Namun untuk hal-hal sepenting kualitas pemilu, tak melulu harus berhitung soal penghematan. Tak ada gunanya berhemat, jika kualitas pemilu tak tercapai.

Alih-alih berhemat, yang terjadi justru pelaksanaan Pemilu serentak lebih mahal dari pemilu terpisah. Kementerian Keuangan menyatakan telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp25,29 triliun untuk pelaksanaan Pemilu 2019 ini. Anggaran tersebut, naik 61 persen jika dibandingkan dengan 2014 lalu yang hanya Rp15,62 triliun. 

"Berdasarkan data, alokasi anggaran untuk persiapan awal di tahun 2017 sekitar Rp465,71 miliar. Kemudian pada 2018 (alokasi) mencapai Rp9,33 triliun. Selanjutnya di 2019 ini, kita sudah menganggarkan sampai Rp15,79 triliun. Jadi totalnya dalam 3 tahun itu kita menyiapkan anggaran sebanyak Rp 25,59 triliun," kata Direktur Jenderal Anggaran (Dirjen Anggaran) Kementerian Keuangan, Askolani, Selasa (26/3/2019) sebagaimana dikutip www.kemenkeu.go.id. Data yang sama bisa diunduh di laman https://setkab.go.id/naik-61-dibanding-2014-anggaran-penyelenggaraan-pemilu-2019-capai-rp2559-triliun/.

Jika melihat pada data Bappenas penyelenggaraan pemilu 2009 yang mencapai 8,5 triliun dan mengalami kenaikan biaya pada pemilu 2014 yang mencapai 15,79 triliun. Maka secara logika pelaksanaan pemilu serentak 2019 seharusnya membutuhkan biaya yang lebih murah dan minim.

Alasan terakhir bahwa pemilu serentak dpilih untuk mencegah politik tawar-menawar yang menganggu posisi presiden dan sistem presidensial, juga tak terpenuhi. Sebab, saat ini koalisi partai yang terbangun dalam pencapresan serupa kartel politik yang pragmatis dan transaskional. Koalisi pun kemudian dibangun amat cair: tanpa kesamaan visi, lebih-lebih ideologi, bahkan semata-mata demi berharap ‘efek ekor jas’ dari kandidat popular agar partai lolos ambang batas.

Dalam situasi tersebut, posisi presiden jelas tersandera oleh ‘perjanjian dan tawar-menawar politik elite partai yang belakangan menjelma Oligarki baru. Sistem presidensial pun jelas dirongrong oleh digdayanya peran dan keweanagan DPR seperti sekarang ini.

Kembali ke Pemilu Tak Serentak

Berdasarkan berbagai kekurangan Pmeilu serentak yang justru tidak lebih baik, sejumlah pihak menyuarakan agar pemilu yang akan datang (tahun 2024) kembali ke pola lama: terpisah antara pemilihan legislatif dan presiden. Beberapa partai yang meminta kaji ulang antara lain Golkar, Demokrat, dan PDIP. Suara senada juga disampaikan oleh wakil presiden Jusuf Kalla, Kementerian Dalam Negeri, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

"Pengetahuan masyarakat sangat minim sekali, hanya fokus kepada Pilpres, tidak ada kepedulian atau informasi terhadap calon legislatif. Ini saya kira pesannya memang harus ada evaluasi, Pemilu serentak," kata Anggota DKPP Alfitra Salam Alfitra Salam dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (22/1/2019).

Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) juga menginginkan pelaksanaan pemilu presiden dan pemilu legislatif nantinya dipisah. JK mendorong DPR untuk melakukan perubahan perundangan. "Memang inilah salah satu pemilu terumit yang pernah kita hadapi. Mudah-mudahan nanti Ketua DPR, undang-undangnya diamendemen lagi. Jadi memisahkan pilpres dan pileg," akhir Desember 2018 lalu.

Menurut mantan Ketua Umum Partai Golkar (PG) ini, banyak risiko yang timbul jika pilpres dan pileg dilaksanakan dalam waktu bersamaan. Yakni, besarnya biaya pesta demokrasi, risiko kebocoran suara yang lebih tinggi, serta terabaikannya pemilu legislatif akibat tertutup kompetisi antarcalon presiden.

"Kita memperbaiki kondisi yang ada, supaya lima tahun yang akan datang hal ini kembali kepada pola yang sebelumnya. Ini penting karena bagaimana pun orang akan lebih banyak perhatiannya kepada pilpres daripada pileg," tutur JK.

Mendagri Tjahjo Kumolo juga menyampaikan keberatan terhadap pemilu serentak yang ternyata justru lebih boros anggaran. Padahal, salah satu harapan digelar pemilu serempak adalah menekan biaya yang cukup besar. "Bayangan saya pilkada serentak akan hemat, tapi mohon maaf, Pilkada Serentak lalu ternyata anggarannya membengkak, begitu juga dengan Pemilu serentak,” ungkapnya.

Karena itu, ke depan DPR dan pemerintah perlu mengkaji lagi secara matang dan holistik soal pemilu serentak ini. Tak perlu terlontar alasan ingin berhemat tetapi mengorbankan kualitas pemilu. Pelaksanaan pemilu serentak yang baru saja usai, harus dijadikan pelajaran.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar