Che, Revolusi Tanpa Akhir

Minggu, 14/04/2019 22:04 WIB
Che, ikon dunia sedernaha (foto: famous people)

Che, ikon dunia sedernaha (foto: famous people)

Jakarta, law-justice.co - Sosoknya sebagai ikon dunia sederhana saja. Potret sedada dengan baret hitam berbintang commandante membebat kepala. Rambut gondrong sebahu dengan kumis dan jenggot yang tak terpelihara. Tatapannya yang dingin menyorot ke kejauhan. Foto hitam putih berkesan revolusioner tersebut sudah dikenal di tahun ‘60-an dan hingga kini pun masih gempang kita temukan, termasuk di kota-kota berukuran sedang, di P. Jawa.

Di kamar-kamar kos mahasiswa  repro foto ini yang berukuran poster menjadi penghias dinding. Kadang digandengkan dengan poster ikon lain yang sezaman: Jimi Hendrix, Jim Morrison, Bob Marley, James Dean, Beatles, atau The Rolling Stones. Terkadang ikon lokal juga, Iwan Fals.

Kalau pilihan poster seperti ini merupakan cerminan dari dinamik jiwa si penghuni kamar kos, maka citra pemberontakan dan idealisme yang berbalut misterilah kiranya yang hendak disimbolkan dengan memasang gambar Che Guevara tersebut. Jadi tak sekadar menyiratkan ‘kebengalan’ seperti aura pada Jimi Hendrix, Mick Jagger atau Bob Dylan.

Ernesto Guevara de la Serna lazim disebut Che Guevara atau Che saja. Dokter kelahiran Rosarino, Argentina, pada 14 Juni 1928 ini memang salah seorang revolusioner terbesar yang pernah ada. Sekaligus teoritisi akbar yang kerap disejajarkan dengan strategikus gerilya terkemuka seperti Mao Tse-tung.

Ada sejumlah faktor yang membuat populeritas Che tetap awet dan seakan bergeming dalam pusaran zaman. Dalam ukuran sekarang, ia adalah seorang kelas menengah intelek yang berubah haluan menjadi seorang revolusioner. Ia merupakan seorang dokter sebelum turut bergerilya dan menjadi komandan Tentara Revolusioner Barbutos. Dalam hal ini ia sama dengan sobatnya, Fidel Castro. Fidel adalah seorang pengacara sebelum angkat senjata melawan rezim diktator Fulgencio Batista. 

Pendaratan di pegunungan Siera Maestra yang berlanjut dengan gerilya sekitar dua tahun sebelum kelompok kecilnya yang dipimpin Fidel menahlukkan Havana, telah melambungkan Che sebagai jago gerilya. Kalau Fidel dipandang sebagai otak politik dari gerakan legendaris pendongkelan Batista, maka Che adalah otak operasi militernya.

Munculnya Che sebagai orang kedua setelah Fidel di Kuba pasca Batista adalah bukti kesetaraan peran ini. Demikian pula berbagai jabatan strategis yang dipercayakan padanya. Termasuk gubernur bank sentral (Bank Nasional), menteri industri (‘61-’65), serta duta besar. Peran antagonistis yang ia mainkan sewaktu menjadi pejabat tinggi semakin menggumpalkan citra revolusionernya. Citra yang sebenarnya sudah tampak sejak ia masih kanak-kanak dan merupakan buah dari penjelajahan intelektualnya.

Sewaktu masih di sekolah lanjutan, Che yang pada usia dua tahun telah dijangkiti asma, sudah membaca karya-karya Marx, Engels dan Freud yang ada di perpustakaan ayahnya. Di kemudian hari ia juga mendalami Lenin dan taktik gerilya Mao Tse-tung.

 

Che Guevara dan Fidel Castro (foto: Economictimes)

Tak syak lagi, Che adalah seorang Marxis. Tapi sebagai Marxis, ia tetap independen. Dia menolak bergabung dengan partai komunis dan menampik keyakinan Marxis orthodoks yang menjadikan partai komunis sebagai ujung tombak revolusi. Namun dialah yang mendorong Castro menjadi komunis dan merangkul Uni Soviet. Sebagai  pembesar, ia justru balik berseteru dengan Moskow. Ia mengecam model Soviet sebagai korup dan birokratik. Di sisi lain ia juga berkonfrontasi dengan AS. Saat krisis Teluk Babi, misalnya ia mendukung konfrontasi nuklir.

Che berbeda dengan Fidel baik dalam emosi maupun penampilan. Fidel senantiasa bergelora dan berpenampakan prima. Dengan tubuh jangkungnya yang senantiasa atletis, Fidel mencitrakan keeleganan bersaputkan kebugaran. Sementara Che terkesan dingin dan penyakitan. Kedua sobat ini berbeda pula dalam persepsi tentang rentang revolusi.

Berbeda dengan Fidel, bagi Che revolusi tidaklah selesai sampai di Kuba saja. Tapi harus ditularkan, untuk ‘menciptakan 20 Vietnam baru di Amerika Latin’. Itu sebabnya maka setelah perannya dalam birokrasi Kuba kian disunat, ia mundur dan  kembali bergerak di bawah tanah. Kali ini ia menjelajahi Afrika dan menggalang revolusi di Kongo. Kandas di negara Afrika ini, ia mundur Agustus ‘65. Setahun berselang ia mengobarkan revolusi di Bolivia. Gagal juga dan ia dieksekusi di sana pada 9 Oktober ‘66 atas instruksi presiden Jenderal Rene Barrientos.

Transformasi dari seorang birokrat terkemuka menjadi seorang revolusioner lagi, hanya semakin mengukuhkannya sebagai simbol pemberontakan dan idealisme.  Sartre pun menyebutnya sebagai ‘manusia paling komplit di zaman kita’. Kekaguman sekaligus celaan muncul bersamaan. Ada yang mengagumi komitmennya yang luar biasa terhadap revolusi dan independensi. Ada pula yang mencelanya sebagai bukti avonturisme haus darah yang tak berkesudahan.  Namun kritik seperti ini tak kuasa membenam kekaguman pada dirinya. Termasuk di negeri yang pernah berseteru dengannya: AS. Antonio Banderas pun perlu dipasang memerankan sang ikon dalam film Evita.

(P. Hasudungan Sirait\P. Hasudungan Sirait)

Share:




Berita Terkait

Komentar