Indonesia Menang atas Gugatan Arbitrase IMFA

Minggu, 31/03/2019 09:59 WIB
Pemerintah menangkan gugatan arbitrasi IMFA (ilustrasi: Medcom)

Pemerintah menangkan gugatan arbitrasi IMFA (ilustrasi: Medcom)

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah Indonesia kembali memenangkan perkara gugatan arbitrase internasiontal. Kali ini pemerintah menang dari perusahaan Indian Metal Ferro & Allows Limited (IMFA). Sebelumnya, Indonesia menang gugatan dari perusahaan tambang Churchill Mining.

Putusan yang diterima pemerintah pada Jumat (29/3) menyebut majelis arbiter menolak gugatan perusahaan tambang berbadan hukum India tersebut. IMFA bahkan dihukum untuk mengembalikan biaya yang dikeluarkan selama proses arbitrase kepada Pemerintah RI sebesar US$ 2,97 juta dan BGP 361,247.23.

Atas kemenangan ini, Jaksa Pengacara Negara pada JAM Datun Kejaksaan Agung RI bisa menyelamatkan keuangan negara sebesar US$ 469 juta atau sekitar Rp 6,68 triliun. Sekadar informasi, Jaksa Agung telah memberikan kuasa substitusi kepada Tim Jaksa Pengacara Negara dan Kantor Hukum Simmons & Simmons yang bekerjasama dengan Kantor FAMS Lawyer.

Dalam keterangan resmi yang dikutip Sabtu (30/3), Majelis Arbiter dalam putusannya telah menerima bantahan pemerintah RI mengenai temporal objection yang pada pokoknya menyatakan bahwa permasalahan tumpang tindih maupun permasalahan batas wilayah merupakan permasalahan yang telah terjadi sebelum IMFA masuk sebagai investor di Indonesia. Jadi, saat melakukan due diligence, permasalahan dimaksud seharusnya telah diketahui IMFA. Oleh karena itu Pemerintah RI, sebagai negara tuan rumah, tidak dapat disalahkan atas kelalaian investor itu sendiri.

Sementara itu  menurut Kapuspenkum Kejagung RI Mukri IMFA mengajukan gugatan terhadap Pemerintah RI pada 24 Juli 2015 dengan alasan adanya tumpang tindih IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang dimiliki oleh PT Sri Sumber Rahayu Indah (SRI) dengan tujuh perusahaan lain, sebagai akibat adanya permasalahan batas wilayah yang tidak jelas.

Dengan adanya tumpang tindih IUP tersebut, IMFA mengklaim Pemerintah RI telah melanggar BIT India-Indonesia dan menuntut pemerintah untuk mengganti kerugian kepada IMFA sebesar US$ 469 juta atau sekitar Rp 6,68 triliun. PT SRI merupakan badan hukum Indonesia, tetapi pemegang saham PT SRI adalah Indmet Mining Pte Ltd (Indmet) Singapura yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Indmet (Mauritius) Ltd, sedangkan saham dari Indmet (Mauritius) Ltd dimiliki oleh IMFA.

Kasus ini sudah berlangsung sejak 2015 lalu. Berawal dari pembelian PT Sri oleh IMFA senilai US$ 8,7 juta pada 2010. PT Sri saat itu memegang IUP di lahan seluas 3.600 hektar untuk batu bara di Barito Timur, Kalimantan Tengah (Kalteng). Tapi kemudian diketahui IUP yang dimiliki PT Sri tidak clean and clear (CnC) karena tumpang tindih dengan IUP milik 7 perusahaan lain. Akibatnya IMFA tidak bisa melakukan penambangan.

Merasa dirugikan, IMFA kemudian menuntut ganti rugi pemerintah Indonesia senilai US$ 581 juta atau Rp 7,7 triliun. Menurut perhitungan mereka, itu adalah nilai potensi pendapatan yang hilang (potential loss) akibat tidak bisa menambang batu bara ditambah investasi yang sudah mereka keluarkan mencapai Rp 7,7 triliun.

(Rin Hindryati\Rin Hindryati)

Share:




Berita Terkait

Komentar