Kolom Agama yang Menimbulkan Diskriminasi

Rabu, 08/11/2017 12:40 WIB

law-justice.co - Masalah kolom agama akhirnya selesai di Mahkamah Konstitusi (MK). Para penganut aliran kepercayaan, boleh mencantumkan identitas mereka. Meski tak secara rinci menyebut jenis keyakinannya, namun keberadaan mereka kini harus diakui secara legal atas nama 'Penghayat Kepercayaan'. 

Masalah kolom agama, memang menimbulkan diskriminasi. Sebut saja pada Juli 2017 lalu, sejumlah warga Manislor di Kuningan, Jawa Barat yang mengaku tergabung dalam kelompok Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), kesulitan mendapat layanan publik, khususnya KTP elektronik.

Bukankah, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan kalau KTP seperti nyawa bagi masyarakat. Setiap individu yang tercatat sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) berhak dan wajib memiliki kartu identitas kependudukan tersebut. Hanya karena agama, kebutuhan ini dikesampingkan.

"Tidak pernah ada diskriminasi. Semua kami layani dengan baik tanpa melihat agama dan keyakinan," kata Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arief Fakhrulloh, Rabu (8/11/2017).

Pemerintah pusat mungkin mudah saja mengeluarkan statemen politik atau kebijakan yang sifatnya mengimbau, bahkan menginstruksikan kepada jajarannya di tingkat daerah agar patuh. Namun, fakta di lapangan tak seperti yang diharapkan. Sentimen terhadap penghayat kepercayaan tetap ada.

Hal itu juga yang menjadi masalah bagi para Pemohon uji materi di MK kemarin. Mereka mengeluhkan adanya diskriminasi dalam mengakses layanan publik karena kolom agama dalam KK dan KTP mereka dikosongkan.

Hal itu diatur dalam Pasal 61 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 64 Ayat (1) dan (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang UU Adminduk.

Permohonan uji materi diajukan Nggay Mehang Tana (Penghayat Marapu), Pagar Demanra Sirait (Penghayat Parmalim), Arnol Purba (Penghayat Urgamo), dan Carlim (Penghayat Sapto Darmo) dengan nomor perkara 97/PUU-XIV/2016.

Persoalan diskriminasi ini juga menjadi sorotan MK. Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan, untuk menjamin hak konstitusional para pemohon maka, kata 'agama' dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Adminduk, harus mencakup penganut kepercayaan.

Perbedaan pengaturan ini, dikatakannya tidak berdasarkan pada alasan yang konstitusional. Justru dianggap memperlakukan warga negara secara berbeda, khususnya dalam memperoleh pelayanan publik. Karena itu, pasal-pasal tersebut di UU Adminduk dinilai bertentangan dengan konstitusi.

Cerita Di Balik Kolom Agama 

Pakar Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara, Todung Mulya Lubis mengatakan, pencantuman agama ini awalnya pada UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan Penodaan Agama. Pemerintah mengakui agama-agama yang sah di Indonesia. Hal ini juga dilatarbelakangi bahaya komunisme (tak beragama).

Di sini persoalan diskriminasi bermula. Pada 1967, orang-orang Tionghoa dilarang melaksanakan upacara keagamaan secara terbuka. Lebih jauh dalam KTP tak boleh ada agama Konghucu. Lalu, mereka harus menggunakan nama Indonesia, bukan nama Tionghoa. Mereka kehilangan hak-hak sipil mereka.

Pengukuhan keberadaan agama yang diakui negara kembali dilakukan melalui Instruksi Presiden No. 1470 Tahun 1978 yang ditegaskan Surat Edaran Mendagri No. 477/1978 yang intinya hanya mengakui lima agama yakini, Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Buddha.

Selanjutnya, dalam Tap MPR No. II/MPR/1998 dikatakan, penganut kepercayaan tak boleh mengarah pada pembentukan agama baru dan sedapat mungkin diarahkan bergabung dengan salah satu agama yang diakui negara.

"Tiada tempat buat agama lain dan kepercayaan," kata Todung seperti dilansir oleh Pusat Dokumentasi dan Jaringan Informasi Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM ditulis Kompas 27 November 2014.

Barulah, 35 tahun kemudian, pada pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), agama Konghucu mendapat tempat kembali di Indonesia. Melalui Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 Tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.

Sejak saat itu, iklim pruralistis bangsa Indonesia mulai berjalan ke arah lebih baik. Meski tak selalu mulus. Faktanya, di era milineal seperti sekarang ini, masih banyak oknum yang berpandangan sempit dan memberikat sekat kepada suatu kelompok tertentu, semisal penghayat.

Pemerintah Siap Benahi Undang-undang

Adanya putusan MK yang menganulir sejumlah pasal pada UU Adminduk, tentu menjadi catatan bagi pemerintah. Setidaknya, bagaimana mengatur format dari KTP elektronik ini. Padahal, belum selesai target kepemilikan KTP, kini Kementerian Dalam Negeri kembali mendapat tugas baru.

Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arief Fakrulloh mengatakan, pihaknya akan berkordinasi dengan Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Karena, kedua instansi pemerintah ini yang mengurus masalah tersebut.

"Kami hanya mencatat, tidak punya kewenangan menentukan agama dan kepercaayaan. Jadi, kami berkordinasi dulu untuk mendata kepercayaan yang tercatat oleh Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan," kata Zudan saat dikonfirmasi.

Setidaknya, kata dia butuh waktu satu bulan untuk merampungkan data ini. Karena itu, untuk mempercepat prosesnya, ia juga mengimbau penduduk yang juga menjadi pengahat kepercayaan bisa mendatangi dinas kependudukan dan catatan sipil untuk melaporkan diri dan mengisi biodata kembali.

Format KTP elektronik, menurutnya tak ada yang berubah. Hanya menambah satu kolom dengan format 'Agama/Kepercayaan'. Ia melanjutkan, untuk enam agama yang diakui pemerintah tetap akan tertulis di kolom agama, namun bagi kepercayaan nanti juga ditulis dalam kolom tersebut.

"Namun formatnya (penulisan penghayat kepercayaan atau spesifik aliran kepercayaanya) sedang dibahas. Tentu ini ada plus minusnya," ujarnya

Setelah itu, Pemerintah akan memasukan regulasi baru ini dalam prolegnas (program legislasi nasional) sebagai revisi UU Adminduk sebagaimana putusan MK tersebut. Kemendagri juga memperbaiki aplikasi SIAK dan 'data base' serta melakukan sosialisasi ke 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota.

Melihat lebih jauh, apakah perlu agama masuk dalam aturan pemerintah? Bukankah persoalan tersebut cukup menjadi urusan masing-masing individu dengan Tuhan-nya?

(Tim Liputan News\Reko Alum)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar