Nawaitu Redaksi

Penyadapan oleh Kejaksaan Dimulai, Menodai Hak Privasi Publik

Sabtu, 05/07/2025 15:15 WIB
Ilustrasi, Pemerintah dan Pengadaan Alat Sadap Pegasus. (Istimewa).

Ilustrasi, Pemerintah dan Pengadaan Alat Sadap Pegasus. (Istimewa).

[INTRO]

Kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyadapan sebagai upaya penegakan hukum berpotensi mengancam hak privasi warga jika tidak disertai prosedur dan batasan yang jelas. Kejaksaan perlu mengatur secara tegas prasyarat penggunaan kewenangan penyadapan, mulai dari perlunya izin pengadilan, batasan waktu penyadapan, hingga penggunaan data hanya untuk kepentingan penegakan hukum.

Guna melaksanakan kewenangan penyadapan itu, pada Selasa (24/6/2025), Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Kejaksaan Agung Reda Manthovani menandatangani nota kesepakatan dengan empat penyedia layanan telekomunikasi. Keempat penyedia layanan telekomunikasi itu adalah PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Telekomunikasi Selular,PT Indosat Tbk, dan PT Xlsmart Telecom Sejahtera Tbk.

Melalui nota kesepakatan itu, kejaksaan dan penyedia layanan komunikasi akan bekerja sama untuk pertukaran dan pemanfaatan data informasi dalam rangka penegakan hukum. Kerja sama itu termasuk pemasangan dan pengoperasian perangkat penyadapan informasi serta penyediaan rekaman informasi telekomunikasi.

Apakah kewenangan penyadapan oleh kejaksaan telah memiliki landasan hukum yang kuat dan mekanisme pengawasan yang memadai?. Bagaimana penyadapan oleh kejaksaan memastikan perlindungan hak privasi warga negara, khususnya dalam hal penyalahgunaan wewenang?. Sejauh mana kerja sama kejaksaan dengan penyedia layanan telekomunikasi dapat mempengaruhi independensi dan netralitas sektor swasta dalam melindungi data konsumen?

Kuatkah Landasan Hukumnya ?

Penyadapan merupakan salah satu tindakan intrusif paling sensitif dalam sistem hukum karena menyentuh langsung hak konstitusional warga negara atas privasi, komunikasi pribadi, dan kebebasan berekspresi. Oleh karena itu, pelaksanaan kewenangan penyadapan oleh aparat penegak hukum, termasuk Kejaksaan RI, harus memiliki landasan hukum yang tegas dan sistem pengawasan yang memadai, agar tidak menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam konteks Kejaksaan, pertanyaan mengenai apakah lembaga ini memiliki kewenangan sah untuk melakukan penyadapan, dan bagaimana mekanisme akuntabilitasnya, menjadi sangat relevan, terutama setelah Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) menandatangani nota kesepakatan dengan empat penyedia layanan telekomunikasi pada 24 Juni 2025. Kerja sama ini memungkinkan kejaksaan untuk mengakses dan memanfaatkan data informasi dalam rangka penegakan hukum, termasuk potensi pemasangan perangkat penyadapan.

Namun demikian, bila ditilik secara hukum, posisi kejaksaan dalam hal penyadapan masih berada dalam wilayah yang abu-abu. Belum ada undang-undang khusus atau peraturan teknis yang secara eksplisit mengatur dan membatasi kewenangan penyadapan oleh institusi kejaksaan.

Secara umum, Undang-Undang No. 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia memperluas peran Kejaksaan dalam bidang intelijen penegakan hukum. Namun, meski fungsi intelijen disebut secara eksplisit, penyadapan sebagai tindakan teknis intelijen tidak dijabarkan secara detail dalam undang-undang ini.

Di sisi lain, praktik penyadapan dalam sistem hukum Indonesia secara normatif hanya diatur secara eksplisit dalam beberapa undang-undang sektoral, antara lain: UU ITE (Pasal 31), UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Narkotika, UU Intelijen Negara dan UU Terorisme

Dalam undang-undang tersebut, penyadapan hanya diizinkan bagi institusi tertentu seperti KPK, Polri, BIN, dan dilakukan dengan syarat-syarat ketat terutama izin dari pengadilan sebagai bentuk kontrol yudisial.

Hingga kini, tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit memberikan kewenangan penyadapan kepada Kejaksaan dengan prasyarat dan batasan yang setara seperti pada lembaga lain.

Dengan demikian, landasan hukum penyadapan oleh kejaksaan belum cukup kuat secara normatif. Nota kesepakatan dengan operator telekomunikasi bersifat administratif dan teknis, dan tidak dapat menggantikan posisi regulasi formal dalam hierarki perundang-undangan.

Di samping persoalan dasar hukum, aspek pengawasan dan akuntabilitas dari kewenangan penyadapan juga belum dibangun secara sistemik di lingkungan kejaksaan. Berbeda dengan KPK yang diawasi oleh Dewan Pengawas dan tunduk pada aturan internal serta pemeriksaan eksternal, kejaksaan belum memiliki lembaga pengawas independen yang secara khusus mengatur dan mengawasi penggunaan kewenangan penyadapan.

Hal ini menimbulkan potensi penyalahgunaan kewenangan, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan kepentingan politik, ekonomi, atau keamanan tertentu. Tanpa pengawasan eksternal dan prosedur baku yang mengikat, penyadapan bisa berubah dari alat penegakan hukum menjadi alat kontrol sosial dan intimidasi terhadap pihak-pihak tertentu.

Mengingat besarnya potensi pelanggaran hak asasi manusia dalam praktik penyadapan, maka penting bagi Kejaksaan dan pemerintah untuk segera membentuk regulasi turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur secara detail: Tujuan penyadapan, Syarat penyadapan (izin pengadilan), Batas waktu penyadapan, Perlindungan data hasil penyadapan, Mekanisme evaluasi dan penghapusan data dan Sistem audit internal dan eksternal

Selain itu, sangat penting untuk melibatkan pengadilan sebagai otoritas pemberi izin penyadapan, sebagaimana diatur dalam prinsip due process of law. Pengawasan yudisial menjadi filter utama agar penyadapan benar-benar dilakukan secara sah, terbatas, dan proporsional.

Kepastian Perlindungan Privasi Warga Negara

Penyadapan, di satu sisi, merupakan alat penting dalam penegakan hukum modern, khususnya untuk membongkar kejahatan yang bersifat terorganisir, kompleks, dan berskala tinggi seperti korupsi, narkotika, terorisme, atau pencucian uang. Namun di sisi lain, penyadapan juga mengandung potensi besar untuk melanggar hak privasi dan kebebasan individu, terlebih jika tidak dilakukan dengan mekanisme pengawasan yang ketat dan batasan hukum yang jelas. Inilah yang membuat praktik penyadapan selalu berada dalam ketegangan antara kepentingan publik dan perlindungan hak asasi manusia.

Dalam konteks kejaksaan, yang kini memperkuat fungsi intelijen dan mengembangkan kerja sama teknis dengan operator telekomunikasi, muncul pertanyaan krusial: Bagaimana institusi ini menjamin bahwa penyadapan tidak akan disalahgunakan untuk kepentingan di luar hukum, seperti kepentingan politik, ekonomi, atau pribadi oleh oknum aparat?

Privasi adalah hak fundamental yang melekat pada setiap individu. Dalam konteks negara hukum seperti Indonesia, hak atas privasi bukan sekadar norma sosial, melainkan hak konstitusional yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28G ayat (1) dengan tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda. Lebih lanjut, Pasal 28F menjamin kebebasan setiap individu untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.

Namun, dalam praktiknya, hak ini bisa terancam salah satunya melalui aktivitas penyadapan. Sebagai bentuk intersepsi atas komunikasi pribadi, penyadapan yang dilakukan tanpa dasar hukum, tanpa prosedur yang sah, serta tanpa pengawasan yang memadai, sangat rentan melanggar hak-hak konstitusional warga negara.

Penyadapan, jika tak diatur secara ketat, bisa bergeser dari alat penegakan hukum menjadi instrumen kekuasaan. Dalam kondisi tanpa regulasi yang jelas, penyadapan dapat disalahgunakan untuk berbagai kepentingan di luar hukum: mulai dari intimidasi terhadap lawan politik, perdagangan informasi untuk manuver ekonomi, hingga aksi mata-mata terhadap pihak yang tidak bersalah. Bahkan, tidak menutup kemungkinan penyadapan digunakan untuk kepentingan pribadi, seperti dendam sosial atau relasi interpersonal yang menyimpang dari tujuan penegakan hukum.

Sayangnya, hingga kini belum ada regulasi teknis maupun undang-undang khusus yang mengatur secara eksplisit kewenangan Kejaksaan RI dalam melakukan penyadapan. Padahal, untuk menjaga agar praktik ini tidak melanggar prinsip negara hukum, setidaknya diperlukan lima batasan penting yang harus dipenuhi.

Pertama, penyadapan harus mendapat izin tertulis dari pengadilan. Proses perizinan ini harus dilalui berdasarkan permohonan yang disertai bukti awal yang cukup. Hal ini bertujuan mencegah penyadapan yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh aparat internal.

Kedua, penyadapan hanya dapat dilakukan dengan tujuan yang jelas dan terbatas, yaitu dalam konteks penegakan hukum pidana. Penyadapan tidak boleh digunakan untuk urusan politik, bisnis, atau bahkan kepentingan pribadi.

Ketiga, harus ditetapkan jangka waktu penyadapan yang terbatas. Misalnya, masa penyadapan tidak boleh melebihi 30 hari, dan hanya dapat diperpanjang dengan izin pengadilan yang baru. Penyadapan tanpa batas waktu menciptakan ruang gelap yang rawan disalahgunakan.

Keempat, pengawasan internal dan eksternal harus diberlakukan. Pengawasan ini dapat dilakukan melalui audit berkala oleh unit pengawasan internal Kejaksaan serta lembaga independen seperti DPR, Komnas HAM, atau lembaga ad hoc lainnya. Semua aktivitas penyadapan harus terekam secara metadata: siapa yang menyadap, kapan, kepada siapa, dan untuk tujuan apa.

Kelima, data hasil penyadapan yang tidak relevan dengan perkara hukum harus dimusnahkan dalam waktu tertentu. Penyimpanan data yang tidak diperlukan membuka potensi penyalahgunaan informasi pribadi dan melanggar hak warga negara atas privasi.

Mengingat belum adanya regulasi teknis yang mengatur secara khusus penyadapan oleh Kejaksaan, langkah ke depan yang paling mendesak adalah penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres) yang menetapkan tata cara penyadapan oleh lembaga ini. Di samping itu, diperlukan juga standar operasional prosedur (SOP) internal yang transparan dan dapat diaudit, serta pelibatan publik dan para ahli hukum dalam proses perumusannya. Keseimbangan antara keamanan negara dan perlindungan hak asasi manusia harus menjadi titik tolak dalam setiap regulasi yang disusun.

Pada akhirnya, penyadapan bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga mencerminkan sejauh mana negara ini menjunjung tinggi prinsip rule of law. Kejaksaan, sebagai lembaga penegak hukum yang memiliki reputasi dan integritas, harus menempatkan kewenangan penyadapan dalam kerangka yang konstitusional, terbatas, proporsional, dan akuntabel. Tanpa mekanisme perlindungan yang memadai, penyadapan dapat berubah menjadi alat represi. Namun bila dikelola dengan kepatuhan terhadap hukum, penyadapan justru bisa menjadi alat penting dalam menjaga keadilan dan ketertiban.

Di titik inilah, peran Kejaksaan diuji bukan hanya dalam menegakkan hukum, tetapi juga dalam menjaga dan menghormati hak asasi manusia sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keadilan itu sendiri.

Menjaga Asa Netralitas Sektor Swasta

Di era digital, sektor telekomunikasi memegang peran strategis dalam kehidupan masyarakat. Layanan komunikasi yang cepat, aman, dan andal menjadi kebutuhan dasar. Dalam menjalankan peran ini, penyedia layanan telekomunikasi idealnya bersifat netral tidak memihak, tidak tunduk pada tekanan kekuasaan tertentu, dan sepenuhnya berorientasi pada kepentingan publik. Netralitas inilah yang menjadi fondasi kepercayaan pengguna, sekaligus cermin komitmen terhadap perlindungan konsumen dan hak digital.

Namun, prinsip netralitas itu kini menghadapi tantangan serius. Ketika terjadi kerja sama formal antara operator telekomunikasi dan aparat penegak hukum, seperti Kejaksaan terlebih jika kerja sama tersebut mencakup pemasangan perangkat intersepsi atau pemanfaatan rekaman komunikasi maka potensi terkikisnya netralitas menjadi nyata. Dalam situasi semacam ini, operator sering kali terjebak di antara dua kutub yang bertolak belakang: memenuhi kewajiban hukum atau menjaga privasi dan kepercayaan pelanggan.

Kekhawatiran yang muncul pun tak bisa dianggap sepele. Apakah operator masih memiliki kekuatan untuk menolak permintaan akses yang tidak disertai prosedur hukum yang sah? Apakah data pengguna dapat diakses tanpa sepengetahuan atau persetujuan mereka? Dan apakah ada jaminan bahwa informasi yang diperoleh tidak akan digunakan untuk kepentingan di luar proses hukum?

Kerja sama semacam ini membuka ruang konflik kepentingan yang bersifat struktural. Di satu sisi, sebagai entitas hukum, operator wajib mematuhi permintaan aparat penegak hukum dalam rangka membantu proses peradilan. Namun, di sisi lain, mereka juga terikat oleh kewajiban hukum dan etika untuk melindungi data pengguna. Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), tanggung jawab tersebut semakin berat.

UU PDP mewajibkan pengendali data termasuk operator telekomunikasi untuk memastikan bahwa pemrosesan data didasarkan pada landasan hukum yang sah, disertai persetujuan eksplisit dari pemilik data, hanya digunakan untuk tujuan tertentu yang sah, dan dilindungi dari akses serta penyalahgunaan yang tidak sah. Tanpa aturan yang ketat dan transparan, kolaborasi antara sektor swasta dan aparat negara berisiko menimbulkan pelanggaran terhadap hak privasi dan melemahkan posisi hukum konsumen di hadapan institusi negara maupun korporasi besar.

Agar kerja sama antara kejaksaan dan operator tidak menimbulkan ekses negatif, maka sejumlah prinsip mendasar harus ditegakkan. Pertama, seluruh bentuk akses data harus melalui izin yudisial. Tanpa persetujuan pengadilan, operator tidak boleh memberikan akses atas dasar permintaan administratif atau informal. Hal ini untuk memastikan bahwa mereka tidak menjadi perpanjangan tangan kekuasaan yang tidak terkontrol

Kedua, akses data harus dibatasi secara ketat. Hanya informasi yang relevan dan diperlukan untuk kasus hukum tertentu yang boleh diambil, dengan protokol teknis yang jelas dan dokumentasi log aktivitas yang transparan. Ketiga, penting adanya audit dan pengawasan independen oleh lembaga seperti Komisi Informasi atau otoritas pelindungan data, guna mencegah penyalahgunaan.

Keempat, walaupun tidak selalu memungkinkan secara langsung, perlu diupayakan kewajiban pemberitahuan kepada individu yang datanya telah diakses, setelah proses hukum selesai. Ini merupakan bentuk akuntabilitas yang sudah dipraktikkan di berbagai negara demokratis.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar