Ekonomi Kelas Menengah Mulai Tertekan, Ini Penyebabnya

Rabu, 27/03/2024 18:33 WIB
Mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri. (indopolitica)

Mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri. (indopolitica)

Jakarta, law-justice.co - Kondisi ekonomi kelas menengah di Indonesia mulai tertekan. Hal ini tercermin dari penjualan barang-barang bertahan lama atau durable goods yang anjlok drastis.

Kondisi ini menimbulkan ancaman serius di balik melemahnya daya beli masyarakat kelas menengah.

Demikian disampaikan Ekonom Senior yang juga mantan Menteri Keuangan Muhamad Chatib Basri.

Pernyataan ini, dia sampaikan mengomentari sorotan khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani terhadap penjualan motor dan mobil sebagai durable goods yang turun tajam pada awal-awal tahun ini.

"Saya sudah sampaikan concern saya mengenai tekanan terhadap daya beli kelas menengah. Tampaknya concern saya mulai terlihat," ujar Chatib Basri dikutip dari akun X @ChatibBasri, Selasa 26 Maret 2024.

Chatib memang kerap kali dan telah lama menyoroti secara khusus kondisi kelas menengah. Ia berbicara mulai dari potensi risiko tekanan kelas menengah terhadap stabilitas politik hingga sosial, maupun sarannya terhadap pemerintah untuk segera mengurus ekonomi kelas menengah, dengan cara pemberian perlindungan sosial untuk kalangan itu, tak hanya bagi kelas menengah ke bawah ataupun miskin.

Misalnya, dia membahas topik terkait permasalahan kelas menengah yang harus diurus itu saat menjadi pembicara di acada Seminar Nasional Outlook Perekonomian Indonesia yang digelar Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada awal tahun ini.

Saat itu, Chatib Basri mengatakan pemerintah perlu mulai turut fokus memperhatikan kondisi ekonomi dan kepentingan kelas menengah Indonesia. Chatib menyinggung fenomena Chilean Paradox ketika kepentingan kelas menengah terabaikan oleh pemerintah yang terlalu fokus pada kelompok miskin atau kelas menengah ke bawah saja.

Chatib juga mulanya menceritakan kondisi sebagian masyarakat Indonesia yang mulai menggunakan tabungannya untuk konsumsi. Dia mengatakan kondisi ini dialami oleh masyarakat kelas menengah ke bawah Indonesia.

Namun, pemerintah saat ini baru mengurus golongan miskin melalui pemberian bantuan sosial. Sementara, kelas menengah yang daya belinya juga turun tak mendapatkan perhatian serius.

Komisaris Utama Bank Mandiri itu menceritakan pada September lalu sempat satu forum dengan mantan Presiden Chile Michelle Bachelet di Harvard Ministerial Forum di Harvard University. Michelle saat itu bercerita tentang kemampuan negaranya mampu mereformasi perekonomian secara gemilang dengan mengurus kalangan masyarakat miskin, namun krisis sosial tetap terjadi yang nyaris menyebabkan revolusi di negara itu.

Dilansir dari CNBC Indonesia, Chatib bilang krisis di Chile yang dijuluki The Chilean Paradox oleh Ekonom asal Amerika Serikat Sebastian Edwards terjadi ketika kondisi ekobomi negara itu sedang bagus-bagusnya. Chile merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Amerika Latin. Negara kaya minyak itu juga berhasil menurunkan kemiskinan dari 53% menjadi 6%. "Lebih baik dari Indonesia," ujar dia.

Meski dengan semua pencapaian itu, pada Oktober 2019 meletus kerusuhan sosial yang hampir berujung pada revolusi. Kerusuhan tersebut dimotori oleh kelas menengah Chile yang merasa tidak puas dengan pemerintahan. Chatib mengatakan kebijakan-kebijakan pemerintah Chile saat itu memang terlalu fokus kepada 10% masyarakat terbawah. Sementara, kebutuhan kelas menengah terhadap pendidikan yang bagus dan fasilitas umum yang layak kurang mendapatkan perhatian.

"Sebagian policy-nya itu fokus pada sepuluh persen ke bawah," ungkapnya

Chatib mengatakan pemerintah Indonesia harus belajar dari peristiwa ini. Dia bilang dalam beberapa tahun ke depan kelas menengah akan mendominasi penduduk Indonesia dan bahkan bisa mempengaruhi lingkungan politik hingga sosial. Ia menyebut kelas menengah ini akan menjadi pengeluh profesional atau professiobal complainer yang semakin berpengaruh, seperti di media sosial saat ini.

"Mereka akan butuh lebih pada kualitas pendidikan yang baik, sarana transportasi yang lebih baik. Ini yang akan menjadi isu political economy ke depan," jelasnya.

"Saya ga akan terkejut kalau 10 tahun lagi orang bisa terpilih jadi presiden kalau dia bisa menyelesaikan masalah sampah, parkir dan fasilitas umum karena urbanisasi yang terjadi," lanjut dia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyoroti secara khusus tren penjualan mobil dan motor yang anjlok drastis pada akhir Februari 2024. Meskipun ia meyakini tingkat konsumsi masyarakat masih sangat baik.

Ia mengatakan, penjualan mobil telah terkontraksi delapan bulan berturut-turut hingga akhir Februari penjualannya minus 18,8% secara tahunan atau year on year. Sementara itu, penjalan sepeda motor telah terkontraksi selama enam bulan berturut-turut hingga ke level minus 2,9%.

"Ini berarti untuk pembelian barang durable goods seperti mobil dan motor mengalami tekanan. Meski, consumer index kuat. Ini yang perlu kita jaga" kata Sri Mulyani saat konferensi pers APBN Senin 25 Maret 2024.

Di tengah lesunya pembelian barang-barang bertahan lama itu, Sri Mulyani memastikan indeks keyakinan konsumen (IKK) masih di level optimistis di level 123,1 per Februari. Sementara itu Mandiri Spending Index menurutnya masih di level yang menunjukkan konsumsi terjaga tinggi di level 43.

Adapun indeks penjualan riil juga masih tumbuh menguat, karena menurutnya terjaga di kisaran 3,6, Purchasing Manager`s Index atau PMI Manufaktur juga masih di level ekspansif di level 52,7. Konsumsi listrik ia akui melemah untuk kalangan industri yang terkontraksi 0,8%, sedangkan di sisi bisnis masih tumbuh 10,5%.

"Jadi dari sisi agregat demand prospek pertumbuhan ekonomi kita dari jangka pendek masih kuat dan cukup resilient," papar Sri Mulyani.***

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar