Ray Wagiu Basrowi, pengajar di Program Magister Kedokteran Kerja Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI

Mengendalikan Food Waste Lewat Literasi Konsumsi yang Berkelanjutan

Selasa, 26/03/2024 18:56 WIB
Ilustrasi sampah makanan (Dok.. (iStockphoto/Mukhina1)

Ilustrasi sampah makanan (Dok.. (iStockphoto/Mukhina1)

Jakarta, law-justice.co - Menteri Pertanian menyebut, Indonesia berpotensi menghadapi ancaman darurat pangan. Di saat bersamaan, Program Lingkungan PBB (UNEP) menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil sampah sisa makanan tak habis konsumsi atau food waste terbesar di Asia Tenggara, setara dengan 20,93 juta ton sampah makanan setiap tahun, sejak tahun 2022. Sebuah paradoks miris.

Angka yang fantastis ini menjadi lebih menyedihkan ketika melihat komparasi ilustratif Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional yang menggambarkan tumpukan sampah makanan tak habis konsumsi di Indonesia melampau ketinggian Tugu Monas. Sampah makanan ini banyak berasal dari produk akhir pangan yang tidak dapat diolah dengan proses pengolahan limbah di sentra penampungan sampah karena mengandung komponen tidak ramah lingkungan.

Kondisi ini berpotensi merugikan negara Rp 213 triliun per tahun atau setara 4% Produk Domestik Bruto (PDB). Sungguh suatu kondisi kronis yang butuh solusi strategis mendesak. Sebelum memusatkan orientasi solusi penanganan food waste di hilir, penting untuk merunut sumber utama penghasil sampah sisa makanan ini sejak di titik hulu.

Kajian epidemiologis menunjukkan kontributor utama pembuang makanan tak habis konsumsi di tanah air berasal dari hotel, rumah makan, baik itu restoran maupun kantin sektor informal, swalayan, dan tak kalah signifikannya adalah perilaku masyarakat yang cenderung gemar menyisakan makanan. Berbagai kajian ilmiah menyebut, perilaku konsumsi masyarakat merupakan faktor kunci intervensi pengendalian sampah makanan.

Konsumsi Sayur dan Buah

Menurut konsep pangan berkelanjutan, pola dan perilaku makan memiliki hubungan yang sangat erat dengan potensi reduksi sampah makanan. Penelitian Conrad dkk yang dipublikasikan PloS One tahun 2018 menjelaskan, kelompok individu yang menerapkan perilaku makan sehat, terencana dan ramah lingkungan, secara klinis dan statistik memiliki luaran sampah sisa makanan yang jauh lebih rendah dibanding kelompok individu yang menerapkan pola makan seperti layaknya standar perilaku konsumsi masyarakat umum.

Kelompok individu yang mengonsumsi buah dan sayur secara teratur, 1-2 kali sehari, menghasilkan sisa pangan tak habis konsumsi jauh lebih sedikit dibanding yang tidak gemar makan buah dan sayur. Secara medis dapat dijelaskan dengan lugas, bahwa serat berperan mengeyangkan dengan menunda gastric emptying atau pengosongan lambung, sehingga mencegah seseorang untuk makan dan menyimpan stok makanan berlebih.

Indikator konsumsi buah dan sayur kemudian menjadi salah satu konteks perilaku berkelanjutan yang dipromosikan besar-besaran di negara maju. Bahkan di beberapa negara Skandinavia, buah dan sayur termasuk dalam kebijakan subsidi kesehatan.

Aspek kebijakan aksesibilitas dan keterjangkauan pangan di negara maju dinilai menjadi penentu kesuksesan program.

Tentunya dibarengi program edukasi sustainable eating sistematis yang menyasar institusi pendidikan dasar yang melibatkan komunitas dan keluarga sebagai faktor pendukung yang sangat krusial.

Dampaknya terlihat dari standar food waste yang menempatkan negara-negara di kawasan ini berada pada posisi rendah secara global. Kampanye makan buah dan sayur adalah strategi intervensi pengendalian food waste di hulu yang terbukti efektif secara ilmiah dan efisien dalam penerapannya.

Bagaimana dengan Indonesia? Survei Sustainability Eating Intention Index yang dilakukan Health Collaborative Center (HCC) pada tahun 2023 sedikit banyak menggambarkan kondisi perilaku konsumsi dan probabilitas individu untuk cenderung membuang sisa makanan tak habis konsumsi.

Studi yang dilakukan pada 2531 responden ini menunjukkan dari delapan item sustainabile eating yang menjadi standar global sesuai rekomendasi WWF, secara total statistik memperlihatkan mayoritas warga Indonesia berada pada angka di luar rentang yang bisa dikategorikan sustainable atau berkelanjutan.

Perilaku yang dinilai paling tidak sustainable adalah aspek pilihan jenis bahan makanan. Mayoritas masih mengonsumsi makanan tinggi lemak dengan minyak olahan dan cenderung rendah konsumsi sayur. Data Riskesdas 2013 juga menunjukkan gambaran rendahnya tingkat konsumsi buah dan sayur masyarakat Indonesia.

Dari aspek ini terlihat bahwa fokus promosi kesehatan terkait perilaku makan sehat tinggi buah dan sayur menjadi potensi intervensi yang masih harus dioptimalkan pemerintah. Pesan gizi seimbang dalam kampanye "Isi Piringku" mungkin dapat dikembangkan, tidak hanya memberi dampak kesehatan diri, tetapi juga manfaat multi dimensi terhadap kesehatan lingkungan, salah satunya mereduksi sampah sisa makanan.

Makan sayur dan buah bukan hanya sehat tetapi juga membantu menjaga lingkungan. Sesederhana itu.

Strategi Kebijakan Sustainable Eating Global

Sejumlah penelitian kedokteran komunitas di berbagai negara merangkum strategi jitu promosi pola dan perilaku makan berkelanjutan yang secara ilmiah terbukti menurunkan tingkat sampah makanan tak habis konsumsi. Di Jerman, kebijakan Meal Planning atau perencanaan menu makanan secara masif di tingkat keluarga terbukti membantu mengurangi pembelian makanan berlebihan dan meminimalkan sisa makanan yang dibuang.

Kebijakan Integrated Urban Food Strategy dalam rentang dua dekade, secara signifikan mengurangi kontribusi food waste pada total produksi sampah nasional. Individu dapat membuat daftar belanja sesuai kebutuhan sehari-hari, mengikuti rencana makan yang telah disusun.

Di beberapa negara bagian Amerika Serikat, keleluasaan state government menerapkan kebijakan kampanye Sistem First In, First Out (FIFO) di tingkat pelaku usaha boga terbukti menurunkan produksi sampah pangan secara signifikan hanya dalam periode kurang dari satu dekade. Prinsip FIFO diterapkan dalam penyimpanan makanan di setiap rumah makan, restoran, kantin, dan swalayan lewat aturan mengelola stok pangan yang akan diolah atau dipajang di rak swalayan.

Prinsip FIFO ini adalah kebijakan promosi kesehatan yang sangat aplikatif untuk diterapkan di demografi urban dan pelaku usaha restoran di Jakarta atau kota-kota besar lainnya di Indonesia. Sistem manajemen penyimpanan makanan dan produk pangan di restoran dan jasa boga perlu diperbaiki.

Ini terutama karena sektor tersebut memberi kontribusi terbesar dalam menyumbang sampah makanan tak habis konsumsi. Perbaikan manajemen berpotensi mengurangi risiko makanan menjadi kedaluwarsa sehingga produk pangan olahan tidak perlu berakhir di tempat pembuangan sampah.

Pertanyaan kritis mungkin saja muncul terkait besaran dampak dari upaya mempromosikan pola makan berkelanjutan dengan pengendalian beban sampah sisa makanan di tempat pembuangan akhir. Perubahan pola dan perilaku konsumsi di tingkat individu dan komunitas bukanlah jenis investasi yang cepat memberi dampak.

Pengalaman di beberapa negara maju dengan sistem kebijakan publik yang mapan, kebijakan promosi perilaku sehat membutuhkan beberapa dekade implementasi untuk memberi hasil penurunan jumlah sampah makanan yang terukur. Target jangka pendek mereduksi food waste dan menghentikan kerugian kronis yang ditimbulkan sudah sangat mendesak, tentu dengan salah satu langkah cepat adalah mengaktivasi teknologi pengolahan limbah.

Namun, perubahan perilaku hidup sehat adalah langkah fundamental yang menyasar asal-muasal dari darurat sampah sisa makanan di Indonesia. Investasi kampanye kesehatan terintegrasi berbasis sekolah dan keluarga harus digenjot, dengan ekspektasi utama meningkatkan literasi perilaku konsumsi makanan yang berkelanjutan.***

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar