Jokowi Ikut Perjanjian Pembangunan Kamp Militer Singapura di Indonesia

Jum'at, 22/03/2024 21:57 WIB
Presiden Jokowi saat memberikan pernyataan terkait arus balik, di Manggarai Barat, NTT. (Foto: BPMI Setpres)

Presiden Jokowi saat memberikan pernyataan terkait arus balik, di Manggarai Barat, NTT. (Foto: BPMI Setpres)

Jakarta, law-justice.co - Presiden Republik Indonesia Joko Widodo bertemu Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong untuk menekan kerja sama, termasuk kamp pelatihan militer Singapura di Indonesia.

Terdapat tiga kerjasama antar negara yang ditekan oleh Jokowi dan Lee.

Hal itu disampaikan melalui percakapan telepon antara Jokowi dengan Lee, yang dirilis oleh Kedutaan Besar Singapura di Indonesia pada Jumat 22 Maret 2024.

Perjanjian tersebut antara lain membahas mengenai "perluasan kerangka kerja" pada 2022 mengenai penataan kembali batas Wilayah Informasi Penerbangan (FIR), perjanjian ekstradisi buronan pada 2022 serta perjanjian kerja sama pertahanan pada 2007.

Jokowi menyambut baik perjanjian tersebut dan mengklaim sebagai tanda komitmen bersama kedua pihak untuk bekerja sama sebagai negara tetangga. Namun, secara tidak langsung Indonesia menempatkan pada posisi yang dilematis.

Pasalnya, RI-Singapura telah menyepakati pengambilalihan FIR di atas Kepulauan Riau dan Natuna dari Singapura pada akhir Januari 2022, dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan negara. Perjanjian tersebut mencakup wilayah seluas 249.575 kilometer persegi yang masih masuk ke dalam wilayah penerbangan Indonesia.

Pada satu sisi, Indonesia hanya mengendalikan ruang udara mulai 37.000 kaki ke atas sementara sebagian penerbangan komersial beroperasi 31.000 hingga 38.000 kaki.

Namun, pengamat hukum internasional Hikmahanto Juwana menilai bahwa perjanjian itu tak menguntungkan Indonesia karena memberikan delegasi pelayanan jasa penerbangan sepenuhnya ke Singapura.

"Singapura berstrategi bila perjanjian pertahanan bisa berlaku efektif, maka Singapura bersedia untuk menyerahkan kendali atas FIR Kepulauan Riau ke Indonesia, padahal Singapura telah berhitung secara cermat bahwa perjanjian pertahanan akan ditentang oleh publik, bahkan oleh DPR," ujar Juwana pada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.

Ia juga menduga bahwa Singapura menawarkan kesepakatan FIR tersebut melalui sistem paket dengan perjanjian ekstradisi dan Defence Cooperation Agreement (DCA) atau Kesepakatan Kerja Sama Pertahanan.

Indonesia dan Singapura sebenarnya pernah menekan perjanjian ekstradisi dan DCA pada 2007 lalu. Namun, perjanjian itu harus melalui proses pembahasan di DPR terlebih dulu. Namun, pembahasan di DPR sempat terganjal karena kedua perjanjian harus disepakati dalam satu paket dan dilihat lebih menguntungkan Singapura.

"Perjanjian ekstradisi itu diduga muncul dalam pembahasan karena diminta oleh pemerintah Indonesia karena Singapura memunculkan perjanjian pertahanan yang dikaitkan dengan perjanjian penyerahan kendali FIR," tambahnya.

Lain hal nya dengan perjanjian kerja sama pertahanan yang mencakup tentang pengadaan kamp latihan militer Singapura di Indonesia.

DPR pernah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah RI dan Singapura menjadi undang-undang pada Desember 2022.

Mulanya, kesepakatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kerja sama pertahanan antar dua negara. Namun, Guru Besar hukum internasional Universitas Padjajaran Atip Latipulhayat menyatakan perjanjian tersebut hanya menguntungkan Singapura.

Sebab, terdapat frase yang menyatakan Indonesia memberikan wilayah khusus untuk Singapura.

"Singapura sudah jelas dia dapat keuntungan. Memiliki wilayah untuk latihan, wilayah yang ada di kita, kemudian dengan durasi yang cukup panjang 25 tahun, sementara bagi Indonesia baru keuntungan yang diharapkan," ujar Latip mengutip CNNIndonesia.com.

Perjanjian-perjanjian tersebut secara tak langsung dapat mengancam kedaulatan Indonesia. Hanya satu dari tiga perjanjian yang secara struktural menguntungkan bagi Indonesia.

Ini dapat menjadi suatu hal yang harus diperhatikan pemerintah Indonesia agar tak dapat terkecoh oleh perjanjian internasional yang menjanjikan keuntungan sementara.**

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar