Janggal Kekuasaan Berlebih Menteri Bahlil dalam Izin Tambang

Minggu, 17/03/2024 21:08 WIB
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia memberikan keterangan pers, di Jakarta, Senin (31/07/2023). (Foto: Humas Setkab/Rahmat)

Menteri Investasi Bahlil Lahadalia memberikan keterangan pers, di Jakarta, Senin (31/07/2023). (Foto: Humas Setkab/Rahmat)

Jakarta, law-justice.co - Dugaan praktik jual-beli Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dilakukan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia menyeruak setelah dirinya berstatus sebagai Ketua Satgas Investasi berdasar diskresi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sejumlah beleid hukum yang menempatkan Bahlil sebagai ketua satgas dianggap sebagai cara melegalisasi korupsi izin tambang. 

Diskresi Jokowi memberi kewenangan berlebih kepada Bahlil dalam urusan perizinan tambang diawali pada Mei 2021, seiring terbitnya Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Percepatan Investasi. Berbekal Keppres itu, Bahlil memiliki otoritas untuk memetakan semua izin tambang dan perkebunan yang tidak produktif dieksplorasi lahannya. Usai diberi wewenang mapping izin pertambangan di berbagai konsesi lahan dan melaporkannya kepada Istana, Jokowi lantas memberikan diskresi keduanya, yakni Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2022 tentang Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.

Dalam beleid pada 2022 itu lah, Bahlil diberi wewenang untuk mencabut izin tambang. Kementerian Bahlil pada tahun yang sama sempat merilis telah mencabut 180 IUP dengan rincian 112 IUP sektor tambang mineral dan 68 IUP tambang batu bara. Wewenang Bahlil sebagai pemegang kendali perizinan tambang disempurnakan Jokowi melalui Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi. Dari dua beleid pada 2022 dan 2023 ini pula, Bahlil bisa mengalihkan izin tambang kepada ormas, koperasi dan organisasi lainnya—sesuatu hal yang sebelumnya tak pernah berlaku.

Bahlil sendiri tidak terlepas dari identitasnya sebagai pengusaha tambang. Dari penelusuran Transparency International Indonesia (TII), sosok Bahlil begitu familiar dengan masyarakat dan pejabat daerah di kawasan Indonesia Timur. Adapun salah satu korporasi tambang nikel milik Bahlil adalah PT Meta Mineral Pradana yang menguasai konsesi lahan seluas 470 hektar yang berlokasi di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Saham korporasi itu dimiliki oleh PT Bersama Papua Unggul dan Rifa Capital. Adapun Bahlil menguasai 90 persen saham Bersama Papua Unggul yang berlokasi di Papua. Juga memiliki saham di Rifa Capital yang menjadi perusahaan induk milik mantan Ketua HIPMI ini dengan rincian 10 anak usaha.  

Namun, dari temuan Greenpeace yang mengakses pencitraan jaringan satelit, didapati bahwa konsesi lahan tambang Meta Mineral masih berwarna hijau alias belum tersentuh aktivitas atau eksplorasi pertambangan. Jika yang menjadi rujukan pemerintah dalam pencabutan izin pertambangan adalah tak produktifnya lahan yang dimiliki suatu perusahaan, maka perusahaan Bahlil itu masuk dalam kriteria. Akan tetapi, hingga kini Bahlil tak mencabut izin perusahaannya sendiri.

Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mempertanyakan keabsahan tiga beleid hukum yang dikeluarkan Jokowi untuk Bahlil. Selama ini, urusan pertambangan menjadi domain Menteri ESDM dengan merujuk UU Minerba. Terbitnya satu Keppres dan Perpres soal izin tambang dinilai Jamil menabrak aturan yang sudah ada sehingga patut dikatakan cacat prosedural hukum yang mengarah pada kepentingan tertentu.

Jamil mewanti-wanti peralihan kewenangan dari Menteri ESDM ke Bahlil soal urusan izin tambang pada 2021 dan 2022 hanya melalui Permen ESDM saja. Padahal seharusnya, peralihan kewenangan berdasar UU. “Itu kan enggak setara regulasi yang digunakan. Itu secara kewenangan, menyalahi hukum dan bertentangan dengan asas-asas pemerintahan yang baik dan UU Administrasi Pemerintahan,” kata Jamil kepada Law-justice, Kamis (14/3/2024).

Dari kejanggalan diskresi Jokowi ke Bahlil ini, lantas mekanisme pencabutan maupun penerbitan izin menjadi serampangan. Jamil menekankan tidak adanya kriteria dan mekanisme pakem dalam pencabutan IUP. Sehingga dengan kata lain pencabutan izin berdasarkan subjektifitas atau kepentingan Bahlil. Padahal, jika merujuk PP No.96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, proses pencabutan IUP tidak sekonyong-konyong karena mesti melalui rangkaian tahapan, mulai dari proses teguran, penghentian sementara hingga akhirnya pencabutan izin yang memerlukan rentang waktu puluhan sampai ratusan hari. Akan tetapi, pada Februari 2022, Kementerian Investasi/BKPM menyatakan telah mencabut ratusan IUP. Proses pencabutan izin disebut mulai dilakukan sejak Januari.

Jamil bilang pemerintah agaknya melek hukum karena melihat celah dari dua Keppres sehingga menerbitkan Pepres yang secara norma hukum bisa setara dengan UU. Meski Jokowi mengeluarkan Perpres pada 2023, kata Jamil, perbuatan Bahlil dalam mencabut ratusan izin tanpa mengindahkan aturan yang mengikat dalam UU Minerba, tidak bisa dibenarkan. Sebab, selain kacau dari prosedural tahapan, proses pencabutan IUP juga tidak berdasar kriteria yang berpihak pada masyarakat dan lingkungan.

Jika merujuk UU Minerba, seharusnya izin tambang setidaknya dinyatakan layak secara lingkungan hidup berdasar Amdal yang mengukur potensi daya rusak dan dampaknya bagi masyarakat sekitar kawasan tambang. Ditambah ditilik dari kelayakan secara teknis, apakah korporasi melakukan eksplorasi dengan memperhatikan potensi konflik agraria dengan masyarakat setempat.

“Izin-izin yang dicabut tidak berkolerasi dengan penderitaan rakyat. Contoh aktivitas tambang dilarang di pulau kecil dan pesisir. (Atau) karena perusahaan berkonflik dengan masyarakat setempat karena merampas lahan. Itu (yang) semestinya dicabut,” kata Jamil.

“Misalnya izin tambang PT GKP (Gema Kreasi Perdana) di Pulau Wawonii masih ada. Izin tambang di pulau kecil Sangihe (masih ada). Atau izin tambang yang menurut kami terlantar lahannya semisal milik PT Dairi Prima Mineral di Dairi itu enggak tersentuh. Apalagi tambang-tambang raksasa, yang melalui kontrak karya atau izin pertambangan khusus. Itu kan ada banyak seperti PT Arutmin, Kaltim Prima Coal. Ada juga Berau caoal di Kalimantan yang luar biasa konfliknya dengan masyarakat, (yang) luar biasa dosa-dosanya,” ia menambahkan.

Jamil mengatakan celah dari tiga beleid hukum ini dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Dia menyoroti Keppres No.11/2022 dan Perpres 70/2023 yang terang-terangan memberi kewenangan bagi Bahlil untuk mengalihkan izin tambang ke ormas. Menariknya, rentang waktu munculnya beleid ini tak jauh dari tahun politik jelang Pemilu 2024. “Padahal izin tambang itu enggak begitu saja (diberikan), harus melalui lelang dan diberikan kepada perusahaan yang capable menjalankan. Apa hubungannya sama ormas kalau bukan itu kepentingan politik jelang pemilu. Apakah ini sebuah by desain,” kata Jamil. 

Bicara soal dugaan praktik jual-beli izin, beleid hukum yang diberi Jokowi ke Bahlil juga memungkinkan terjadinya celah praktik lancung itu. Sebab, dengan tidak adanya kriteria pakem pencabutan izin, maka pengusaha bisa saja mengajukan gugatan atau keberatan secara hukum ketika perusahaannya ditutup IUP-nya. Kata Jamil, hal ini terbukti pada banyaknya gugatan yang dilayangkan pengusaha kepada Bahlil melalui mekanisme di Ombudsman dan PTUN.

Nah pada saat perusahaan tambang mengajukan keberatan, di situlah proses ruang transaksi ke bahlil terbuka,” ujar Jamil.

"Keberatannya itu biasanya menggunakan mekanisme di ombudsman karena lebih simple prosesnya. Tapi kan ombudsman cuma bisa beri rekomendasi bahwa pencabutan itu maladministrasi karena pencabutan cacat kewenangan dan cacat prosedur. (Tapi) ujungnya kan minta ke Bahlil juga untuk SK pengaktifan kembali,” kata dia lagi.

Adapun melalui PTUN, Jatam mencatat ada 180 perkara sejak Bahlil menjadi Ketua Satgas Investasi soal urusan izin tambang ini. Dari ratusan perkara, sekira hampir 80 persennya berkutat soal izin tambang. “Mekanisme melalui PTUN ini membuka ruang transaksi juga. Ketika pengadilan putuskan Bahlil kalah dan meminta Bahlil untuk penerbitan SK pengaktifan kembali, maka artinya pengusaha harus bertemu Bahlil lagi untuk eksekusi SK (pengaktifan). Jika Bahlil ok, ya selesai, tapi kalau enggak bisa sampai PK dan kasasi bertahun-tahun,” ujarnya.

Peneliti Transparency International Indonesia, Gita Ayu Atikah, mengatakan korupsi di industri tambang nikel semasa rezim Jokowi ini sudah menjadi korupsi yang tersistematis. Dia menitikberatkan kekuatan oligarki di dalam pemerintahan yang melanggengkan laku korupsi. “Kalau dikaitkan dengan kasus Bahlil, terlihat semakin menguatnya conflict of interest. Kondisi dimana pejabat pemerintahan memiliki kepentingan pribadi untuk keuntungannya sendiri,” kata Gita kepada Law-justice, Kamis.

Menurutnya, beleid hukum yang memberi Bahlil wewenang dalam izin pertambangan merupakan bentuk state capture coruption—korupsi yang dilegalisasi melalui peraturan. Gita tidak menafikan bahwa munculnya potensi praktik jual-beli izin di bawah kendali Bahlil besar terjadi, seiring otoritas berlebih yang diotorisasi Jokowi.

Dalam hal state capture corruption, praktik korupsi terjadi secara struktural sehingga tidak dapat dicegah dan diatasi secara tuntas dengan cara-cara lama yang biasanya dicegah dengan upaya reformasi birokrasi. Gita menekankan, kejahatan tersebut secara sistematis juga dilakukan bersama antara pimpinan negara dengan pejabat kabinet dengan rencana melanggengkan kekuasaan penguasa tertinggi.

“Ya bisa dilihat dari jabatannya (Bahlil) sekarang yang merangkap ketua satgas (percepatan investasi). Itu bisa dilihat semacam modus korupsi yang sudah dirancang atau tersistematis. Kemudian dilegalisasi peraturan kebijakan sehingga membuat Bahlil leluasa mengatur,” tutur Gita.

Senada dengan Jamil, Gita juga menekankan tidak adanya kriteria sahih pencabutan izin yang dilakukan Bahlil. Justru, katanya, beberapa perusahaan Bahlil yang bergerak di sektor tambang bermasalah legalitasnya. Dalam dokumen Minerba One Data Indonesia (MODI) tidak ditemukan lampiran lokasi operasi produksi nikel oleh PT Meta Mineral Pradana dengan anak usahanya PT Rifa Capital di Kabupaten Halmahera Timur dan Tengah. Selain itu, perusahaan lain milik Bahlil yakni PT MAP Surveillance juga tak tercatat di dokumen MODI tersebut.

Padahal MAP Surveillance dari berbagai sumber telah melakukan aktivitas eksplorasi hingga operasi produksi sejak tahun 2011 di di pulau Pakal, Halmahera Timur. Korporasi ini pula diketahui merupakan salah satu sub kontraktor dari BUMN PT Antam yang melakukan operasi produksi nikel di pulau yang sama.

“Pertanyaannya bagaiamana bisa perusahaan seorang menteri tidak punya izin. Perpes No.70/2023 memberikan keleluasaan bagi Bahlil untuk mencabut izin tambang tapi enggak jelas yang dicabut itu yang seperti apa. Itu sudah memperlihatkan motif yang seolah diada-adakan. Semakin kuat afiliasi antara pebisnis dan penguasa dalam pemerintahan Jokowi,” kata Gita.

Atas semua kejanggalan hukum yang diterbitkan Jokowi untuk Bahlil, Jamil menduga adanya praktik politik balas budi. Jamil mengingatkan nama Bahlil secara tidak langsung menjadi penyumbang dana kampanye cukup besar bagi Jokowi saat Pilpres 2019. Merujuk LPPDK TKN Jokowi-Ma’ruf yang dirilis KPU, Jatam mencatat ada dua korporasi yang terafiliasi dengan Bahlil sebagai penyumbang dana kampanye. Perusahaan tersebut bernama PT Cendrawasih Artha Teknologi dan Tribashra Sukses Abadi. Keduanya mengucurkan sumbangan dengan total Rp30,2 miliar.

Jamil menitikberatkan sosok Bahlil yang kini menjabat posisi strategis dalam urusan investasi dan dunia bisnis tambang tak terlepas dari rekam jejaknya. "Inilah yang sering kami bilang adalah oligarki tambang di balik paslon dan politik ijon. Karena setelah menjabat (paslon yang menang), dia (pendukung) akan diberi posisi tertentu. Bahlil bukan ujug-ujug dinilai punya kepemimpinan lalu ditunjuk, enggak,” katanya.

Menurut Jamil, dugaan praktik jual-beli izin dan relasinya dengan politik balas budi yang dilakukan Jokowi mesti diusut oleh penegak hukum. Sebab, katanya, pemegang kendali pencabutan dan pengaktifan izin sebenarnya adalah Jokowi. “Levelnya Bahlil adalah operator yang menerima mandat. Karena Bahlil terima kuasa dari Jokowi,” kata dia.

Tak hanya itu, penegakan hukum juga mesti menyasar para pebisnis, aparat penegak hukum dan pejabat daerah. Jamil bilang suksesi di balik pengaktifan kembali IUP bisa melalui tiga aktor tersebut. Izin-izin yang dicabut oleh Bahlil itu bisa diaktifkan kembali lewat rekomendasi Gubernur setempat berdasarkan legal opini dari Kejaksaan Tinggi. “Lalu gubernur mengirimkannya ke Bahlil. Itu di-copy paste di Maluku Utara dan ditangkap gubernurnya,” ujar Jamil.

 

Catatan redaksi: Tulisan ini merupakan bagian dari artikel bertajuk "Menelisik Akrobat Bahlil di Izin Tambang Berkedok Penataan Investasi". Tulisan dimuat terpisah untuk penekanan konteks dan narasumber tertentu.

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar