Nawaitu Redaksi

Urgensi Pansus Tambang DPR, Pintu Masuk Meringkus Para Mafianya

Minggu, 10/03/2024 00:01 WIB
Ilustrasi Mafia Tambang (Manado Post)

Ilustrasi Mafia Tambang (Manado Post)

Jakarta, law-justice.co - Hari hari terakhir ini jalanan di Jakarta ramai dengan spanduk yang berisi permintaan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar segera mengusut dugaan Mafia Tambang dan menangkap Menteri Bahlil Lahadalia. Seperti diketahui, Menteri Investasi / Kepala BKPM Bahlil Lahadalia saat ini sedang jadi sorotan gara-gara isu izin tambang yang diduga telah dimainkannya.

Sementara spanduk bertebaran dijalan jalan, pada saat yang sama di Gedung wakil rakyat Senayan bergulir wacana pembentukan Panitia Khusus (Pansus) untuk menelusuri dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pencabutan dan pengaktifan kembali izin usaha pertambangan (IUP) serta hak guna usaha (HGU) yang dilakukan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia.

Antara tuntutan masyarakat untuk pengusutan mafia tambang dan wacana wakil rakyat untuk membentuk Pansus DPR dugaan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat disektor pertambangan mengindikasikan adanya kebutuhan mendesak untuk mengusut fenomena mafia tambang yang selama ini disinyalir tengah merajalela bahkan hukumpun sepertinya sudah dibawah kendali mereka.

Benarkah mafia tambang itu sudah mengendalikan hukum di negara kita  ?. Bagaimana modus mafia pertambangan itu dalam menjalankan aksinya ?. Mengapa pembentukan Pansus ini dirasakan penting untuk diwujudkan segera ?

Mengendalikan Hukum

Sudah lama hukum itu disebut sebut sebagai panglima dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Orang kecil sampai pejabat negara seyogyanya tunduk pada hukum sebagai aturan main bersama. Namun hukum yang disebut sebagai penglima itu nyatanya hanya berhenti sampai di mulut saja.Kenyataannya, hukum dikendalikan oleh orang orang yang punya modal ataupun mereka yang punya kuasa.

Mereka yang mempunyai modal dan kuasa bisa mengendalikan hukum sesuai dengan keinginannya karena hukum ada dibawah cengkeramannya. Fenomena ini kadang memang sulit dibuktikan namun baunya begitu menyengat di hidung orang orang yang memandang keadilan sebagai tujuan hukum yang sebenarnya.

Sudah banyak kejadian yang menunjukkan bagaimana hukum tak lagi menjadi panglima terutama hal ini berlaku di dunia pertambangan yang dikenal sebagai sektor yang banyak mafianya. Sebagai contoh kasus penganiyaan terhadap Jurkani (60), seorang advokat dan juga seorang pensiunan perwira polisi, yang terjadi di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, hingga kemudian mengakibatkan korbannya tewas, hingga saat ini masih menimbulkan tanda tanya. 

Jurkani merupakan advokat PT Anzawara Satria. Dia meninggal karena dianiaya sejumlah orang ketika tengah membongkar aktivitas penambangan batu bara ilegal di area konsesi Anzawara Satria di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan yang merupakan kampung halamannya.

Menurut anggota tim advokasi Jurkani, Muhamad Raziv Barokah, aparat hukum terkesan ingin melindungi aktor intelektual dalam kasus pembunuhan tersebut.Menurut Raziv, polisi diduga melindungi aktor intelektualis kasus pembunuhan ini dengan mengumbar informasi melalui rilis kepada media bahwa dua tersangka dalam keadaan mabuk saat menganiaya Jurkani hingga akhirnya meninggal dunia.

Padahal, kata dia, ada tujuh saksi yang berada di lokasi kejadian telah memberikan keterangan bahwa pembacokan terhadap Jurkani dilakukan oleh banyak orang dan pelaku tidak mabuk seperti yang dinyatakan oleh polisi yang mengusutnya. "Mengapa yang diungkap hanya keterangan dari tersangka?" ujar dia.

Kejanggalan pun berlanjut setelah kasus ini memasuki persidangan untuk mengadili pelakunya. Pengadilan Negeri Batulicin menginformasikan perkara belum dilimpahkan ke pengadilan saat tim advokasi Jurkani mengajukan pemindahan tempat sidang. Padahal saat itu perkara sudah masuk pengadilan. "Hal yang bisa dilihat saja masih ditutupi oleh aparat penegak hukum," ujarnya.

Kejanggalan juga terlihat dalam proses sidang yang berjalan secara daring meskipun sebenarnya tidak ada kendala untuk sidang seperti biasa. Meski berjalan secara daring, persidangan seharusnya tetap terbuka untuk umum dan link-nya bisa diakses publik tapi  yang terjadi, kata Raziv, tim advokasi tidak diberi link untuk menyaksikan sidangnya.

 "Padahal kami sudah memintanya," ujarnya. "Akhirnya kami menimbrung saat pemeriksaan bersama LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban)."Saat persidangan, tim advokat yang hadir di pengadilan juga dilarang masuk ke ruang sidang. Tim advokat, kata dia, hanya diizinkan masuk ke satu ruangan yang berisi panitera dan monitor saja.

Pemeriksaan oleh hakim dalam proses persidangan juga terkesan janggal alias tidak biasa. Sebab, hakim tidak menggali keterangan dari saksi di lokasi kejadian perkara. "Padahal hakim melalui undang-undang kekuasaan kehakiman seharusnya menggali nilai keadilan atau substansi hukum. Bukan mengembalikan seperti itu," ucapnya.

Kasus pembunuhan Jurkani sampai saat ini memang masih tetap menjadi tanda tanya. Diduga keras ada orang kuat alias mafia tambang yang ikut bermain dalam penegakan hukum kasus Jurkani sehingga membuat aparat penegak hukum tidak berdaya. Hal ini terlihat selama proses penyelidikan hingga persidangan pembunuhan Jurkani dimana terlihat justru penegak hukum terkesan melindungi aktor utama tambang ilegal yang menggerakkan orang untuk membunuh Jurkani yang dianggap sebagai penghalangnya.

Kasus Jurkani membawa kita untuk mengingat kembali kasus pembunuhan mendiang Salim Kancil, seorang petani yang tewas di tangan para mafia penambang liar saat mempertahankan sepetak sawah yang menjadi haknya. 

Kasus pembunuhan yang dilakukan secara sadis dan keji oleh mafia penambang pasir terhadap seorang petani kecil bernama Salim Kancil di desa Selok Awar-awar, kecamatan Pasirian, kabupaten Lumajang, Jawa Timur, yang terjadi pada 25 September 2015 yang lalu, kasusnya tersebut hampir mirip dengan kasus yang menimpa Jurkani dimana penegakan hukum sarat rekayasa karena diduga di kendalikan oleh mafia.

Bahwa dunia mafia sudah menguasai sektor pertambangan paling tidak juga tercium melalui pengakuan seorang Ismail Bolong yang katanya pengusaha batubara. Ismail yang mengaku pensiunan Polisi dengan pangkat terakhir Aiptu membuat heboh publik terkait pernyataannya melalui rekaman videonya.

Sebab, Ismail Bolong mengaku pernah menyetor uang Rp. 6 Miliar kepada Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto. Selain itu dirinya juga mengaku pernah menyetor uang Rp. 200 Juta kepada salah satu pejabat Polres Bontang.Bahkan dirinya juga mengaku, bahwa, Setoran-setoran tersebut dilakukannya saat masih aktif menjadi polisi dengan jabatan Satintelkam Polres Samarinda.

Meskipun pada akhirnya Ismail Bolong mengklarifikasi sekaligus mencabut pengakuannya tersebut dengan sejumlah alasan namun publik nampaknya lebih  percaya dengan segala pengakuannya. Publik lebih percaya pengakuam Ismail Bolong tentang ilegalnya usaha tambang batubara miliknya. Sebab, saat masih aktif jadi polisi ternyata dirinya juga punya kerja sampingan "main batubara."Bahkan diakuinya, bahwa apa yang dilakukannya itu ilegal pula. Atau dalam artian, Ismail Bolong punya usaha tambang batubara tapi tidak ada ijinnya.

Kalau Ismail Bolong bisa main tambang batubara sementara untuk usaha batubara harus berizin, pasti ada praktik mafia perizinan disana, pasti ada mafia tambang juga yang mengatur semuanya sehingga hukum tidak berdaya.

Menurut pengakuan mantan Menkopolhukam Mahfud MD, merajalalenya mafia tambang itu karena  mafianya dilindungi oleh pejabat dan aparat negara. Dia membeberkan, pernah mengirim tim untuk mencabut IUP, tetapi dihalang-halangi mafia. "Bila `Ya cabut saja IUP-nya`, nah itu masalahnya. Cabut IUP itu banyak mafianya. Banyak mafianya. Saya sudah kirim tim ke lapangan. Ditolak. Sudah putusan Mahkamah Agung. Itu begitu," ungkap Mahfud seperti di kutip media.

Modus Mafia Tambang

Ternyata mafia tambang memang tidak hanya menguasai penegakan hukum saja tetapi juga sudah merambah pada sisi administrative perijinan sejak sebuah kawasan tambang belum beroperasi mengeduk hasil tambangnya.

Operasi mafia tambang itu berjalan begitu rapi sehingga seringkali sulit untuk bisa mendeteksi gerakannya namun bisa terasa. Modus mafia tambang untuk mengumpulkan pundi pundi fulusnya dijalankan dengan cara kongkalingkong bersama sama para pihak yang selama ini menjadi pemegang kuasa.

Dalam kaitan tersebut Wahana Lingkungan Hidup Indomnesia (WALHI) pernah merilis adanya beberapa indikasi modus mafia pertambangan dalam menjalankan aksinya. Adapun serangkaian modus yang dijalankan itu diantaranya:

Pertama, penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan izin pertambangan. Modus ini digunakan misalnya, seperti mengeluarkan izin pertambangan tanpa adanya izin pinjam pakai kawasan atau menerbitkan izin kepada pihak perusahaan yang belum memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Upaya Kelola LIngkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL), izin keluar duluan AMDAL diurus belakangan saja. Pada hal harusnya AMDAL dan UKL-UPL menjadi sarat perijinan sebelum usaha pertambangan boleh beroperasi sebagaimana mestinya.

Kedua, pemberian izin yang tak sesuai dengan peruntukannya. Kondisi ini telah menimbulkan adaya  tumpang tindih penggunaan lahan dengan dengan lahan masyarakat, perkebunan sawit dan juga izin Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Pemberian ijin yang tak sesuai peruntukan telah merusak lingkungan, tata ruang dan yang lainnya karena yang dikejar hanya uang semata.

Ketiga, Melakukan suap dan gratifikasi terhadap para pejabat negara dan aparat penegak hukum. Adanya tren korporatokrasi (perselingkuhan penguasa dan pengusaha) semakin merajalela. Fenomena perselingkuhan ini sebenarnya sudah berlangsung lama namun para pelakunya sulit di tangkap karena jaringan mafianya begitu kuat melibatkan aparat penegak hukum pada umumnya.

John Perkins dalam bukunya Confessions of an Economic Hitman, pemimpin ataupun calon pemimpin dan para pengusaha adalah gabungan yang sangat pas untuk menjalankan sistem ekonomi bahkan sistem politiknya dan ini lah yang dinamakan korporatokrasi yang secara garis besar digambarkan adalah keadaan dimana saat pemerintahan ”dikuasai” oleh kepentingan korporasi (pengusaha).

Keempat, Mengaburkan data terkait dengan produksi, royalti dan pajak pertambangan yang tidak jelas berapa nilainya. Masalah produksi misalnya, selama ini tidak semua instansi terkait memiliki data berapa hasil tambang yang dikelola oleh seorang pengusaha.Pada hal data ini sangat penting karena bisa untuk menghitung besaran pajak dan royalty yang mesti diterima oleh pemerintah yang telah mengeluarkan ijinnya.

Fenomena tersebut misalnya terjadi di Kalsel dimana pernah terjadi perbedaan  pendapat antara gubernur Kalsel dan kepala dinas terkait, tentang masalah pendapatan daerah dari royalty batubara. Gubernur mengatakan royalti yang didapat Kalsel adalah 100 miliar namun dinas pertambangan sendiri mengatakan bahwa royalty yang diterima provinsinya sebesar Rp1,4 triliun. Lalu mana yang benar 100 M, atau 1,4 triliun ? Kalau benar 1,4 triliun kemana kira kira selisihnya ?

Urgensi Pansus

Fenomena adanya mafia tambang dengan segala “kesaktiannya” memang sudah sering kita dengar ceritanya. Mereka itu begitu digdaya sampai sampai hukumpun tidak mampu menyentuhnya. Semestinya merebaknya isu mafia tambang haruslah segera ditindak lanjuti, sebab fakta sudah jelas membuktikan membuktikan keberadaan mereka. Dalam kasus pembunuhan Jurkani misalnya sebenarnya sudah terdeteksi aktor utamanya. Demikian juga dalam kasus Salim Kancil yang begitu viral dimasanya. Tapi yang diproses hukum hanya pelaku lapangan saja, itupun diproses penuh rekayasa seolah olah hanya untuk kamuflase bahwa kasus sudah di usut dan menemukan pelakunya.

Demikian halnya dalam kasus Ismail Bolong misalnya, yang disebut sebut melibatkan petinggi kepolisian, tapi kasusnya ternyata tidak berlanjut sampai membongkar dalang dan pelakunya. Bahkan Ismail Bolong yang jelas jelas mengaku sebagai pada waktu masih aktif jadi Polisi, ternyata "Dia" main tambang batubara secara ilegal, sehingga inilah yang semestinya perlu didalami oleh pihak berwenang, ternyata hal itu tidak juga ada tindaklanjutnya.

Pada hal Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit pernah tegas menyatakan akan memberantas mafia tambang, termasuk menegaskan tidak ada Polisi yang melakukan setoran-setoran alias pungli demi suatu hal di Kepolisian, tidak ada polisi yang jadi mafia tambang selama ia menjadi pimpinan korps bhayangkara. Tapi nyatanya apa yang pernah dicanangkan ini, tidak pernah dibuktikan, hanya sampai dibibir saja

Selain itu juga, pihak berwenang lainnya seperti KPK, harusnya merespon adanya fakta praktik mafia tambang dari viralnya beberapa kasus mafia tambang yang di ungkap oleh media, sehingga dalam hal ini pihak KPK semestinya perlu menindak lanjuti dengan mendalami atau menginvestigasi lebih detil untuk menyeret para pelakunya. Tapi faktanya ?

Akhir akhir ini isu mafia tambang kembali menyeruak setelah munculnya dugaan penyalahgunaan wewenang terkait pencabutan dan pengaktifan kembali izin usaha pertambangan (IUP) yang melibatkan Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia.

Salah satu media Nasional membongkar bahwa adanya penarikan fee Izin Usaha Pertambangan atau IUP yang dilakukan oleh Bahlil Lahadalia selaku Menteri Investasi dimana hal itu sebenarnya bukanlah menjadi kewenangannya.

Bahlil yang juga merangkap sebagai Kepala Koordinasi Penanaman Modal dituding mencabut ribuan IUP dan kemudian mematok fee hingga miliaran rupiah jika ada ingin memperbaruinya. Lalu,  apakah munculnya kasus ini pada akhirnya akan menguap juga seperti kasus kasus sebelumnya ?

Ditengah kemarau penanganan kasus mafia tambang yang tidak jelas ujungnya ini, muncul wacana pembentukan Panitia Khusus (Pansus) soal dugaan penyalahgunaan wewenang terkait pencabutan dan pengaktifan kembali izin usaha pertambangan (IUP) yang melibatkan Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia.

Adalah Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyatakan bahwa mendukung pembentukan Pansus ini agar bisa diwujudkan segera. Kabarnya Komisi VII DPR pun telah mengagendakan Rapat Kerja dengan Menteri ESDM, juga dengan Menteri Investasi dalam kapasitasnya sebagai Kepala Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi yang diduga ada kongkaligkong di dalamnya.

Urgensi pembentukan Pansus Tambang didasarkan pada kebutuhan mendesak untuk mencari jalan alternatif dalam rangka mendorong penuntasan masalah mafia tambang yang selama ini hanya ramai dipemberitaan saja. Sekurang kurangnya ada empat alasan mengapa Pansus Tambang perlu segera di realisasikan pembentukannya

Pertama, Mengungkap Penyalahgunaan Wewenang Oleh Pejabat Negara. Berdasarkan informasi yang berkembang, proses mengaktifkan kembali IUP  berbelit-belit prosesnya. Hal ini tentu memunculkan kecurigaan adanya cawe cawe dari pejabat negara sehingga kental nuansa penyalahgunaan kewenangannya.

Seperti diketahui secara kelembagaan Menteri yang berwenang memberikan dan mencabut izin terkait tambang adalah Menteri ESDM bukan Menteri Investasi. Tapi Menteri investasi terkesan ikut cawe-cawe terkait IUP ini sehingga menimbulkan tanda tanya. Fenomena ini harus di ungkap karena diduga ada penyalahgunaan kekuasaan yang melibatkan seorang pejabat negara. Kalau terbukti tentu harus ada sanksi politis dan hukum bagi pelakunya.

Dengan demikian pembentukan Pansus merupakan bagian dari implementasi fungsi pengawasan DPR untuk mengetahui apakah Undang Undang  yang dibentuk oleh lembaga legislatif itu sudah dapat dilaksanakan oleh pemerintah secara konsisten, agar maksud dan tujuan pembentukan Undang Undang tercapai tujuannya.  Apakah tidak ada penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh pejabat negara.

Selain itu untuk mengawasi apakah  pemerintah telah menjalankan good governance, sehingga pemerintahan yang baik, bersih, dan bebas korupsi dapat diwujudka dalam rangka efisiensi pembangunan untuk kesejahteraan rakyatnya.

Kedua, Potensi Besar Untuk Peningkatan Pendapatan Negara. Untuk diketahui bahwa Indonesia merupakan negara dengan potensi  hasil tambangnya yang luar biasa. Indonesia produsen tembaga ke-9 terbesar di dunia. Urutan ke-13 produsen bauxite di dunia serta urutan ke-2 produksi timah di dunia.Urutan ke-6 produksi emas di dunia. Urutan ke-16 produksi perak di dunia.Urutan ke-11 produksi gas alam di dunia. Urutan ke-4 produsen batu bara di dunia. Urutan ke-22 penghasil minyak di dunia dan seterusnya.

Indonesia memiliki cadangan besar dalam gas alam, batu bara, minyak, tembaga, emas, timah, bauxite, nikel, timber, serta kekayaan hayati dan biodiversitas yang luar biasa.Pendek kata, Indonesia ini dalam hal sumber daya alam adalah negara dengan kekayaan tambang terlengkap di dunia. Besarnya potensi pendapatan Negara dari sektor tambang pernah di ungkap oleh Abraham Samad,mantan Ketua KPK.

Dalam kesempatan berpidato di Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDI Perjuangan tahun 2013 di Hotel Ecopark Jakarta, Mantan Ketua KPK Abraham Samad pernah mengatakan bahwa potensi pendapatan negara dari sektor SDA bisa mencapai Rp 7.200 triliun setiap tahunnya.

Bahkan bila ditotal, kata Samad, pajak dan royalti yang dibayarkan dari blok migas, batubara, dan nikel pada setiap tahunnya dapat mencapai Rp 20.000 triliun jumlahnya.“Dengan jumlah sebesar ini, Indonesia bisa bebas utang dan apabila dana sebesar itu dibagi ke seluruh rakyat, maka pendapatan rakyat Indonesia per bulan bisa mencapai Rp 20 juta," begitu katanya.Data data yang diungkap oleh KPK berdasarkan hasil penelitiannya tersebut tentunya cukup valid alias tidak mengada ada.

Tetapi selama ini potensi pendapatan negara dari sektor tambang itu menguap alias tidak masuk ke kas negara. Salah satu penyebabnya adalah karena maraknya mafia tambang sehingga kekayaan alam dari sektor tambang hanya mampu menggemukkan isi kantong mereka sementara rakyat sengsara. Oleh karena itu pembentukan Pansus Tambang bisa dijadikan salah satu kekuatan penekan untuk mengungkap semuanya sehingga pada gilirannya diharapkan mampu meningkatkan pendapatan negara dari sektor tambang yang selama ini di kuasai oleh mafia.

Ke tiga, Mengungkap Praktek Haram Pengusaha Yang Menjadi Pejabat Negara. Memang tidak semua pejabat negara di Indonesia yang berlatar belakang pengusaha jelek kinerjanya. Tetapi rata rata pengusaha yang jadi pejabat negara adalah mereka para pemburu rente dari hasil selingkuh kepentingan dengan penguasa. Kebanyakan pengusaha kaya yang kemudian terjun ke politik bukan untuk semata masa  mengabdi pada kepentingan bangsa dan negaranya tapi dimanfaatkan untuk mengembangkan dan memperluas jaringan bisnisnya.

Sebagai pemburu rente, pengusaha yang menjelma menjadi  penguasa ini berupaya memperoleh akses terhadap sumber daya ekonomi, kebijakan publik, lisensi bisnis, kredit, bahkan monopoli usaha. Sementara itu, sebagai pejabat publik, pengusaha memiliki wewenang atas kebijakan publik, lisensi, dan kontrak proyek pemerintah yang dikuasainya. Pada akhirnya kebijakan dan sumber daya publik dinikmati oleh kelompok bisnisnya.

Dalam kondisi ketika perilaku belum dapat memisahkan kepentingan privat dan publik, penyalahgunaan kekuasaan sangat dimungkinkan terjadinya. Ditambah lemahnya aturan main dan tidak konsistennya penegakan hukum di Indonesia, semakin membuat peran ganda pejabat yang merangkap sebagai pengusaha kian merajalela.

Kongkalikong antara pelaku ekonomi dan aktor politik serta penguasa telah melahirkan tatanan ekonomi yang hanya menguntungkan kepentingan diri dan kelompok, tanpa memperdulikan kepentingan rakyat pada umumnya. Inilah banalitas kebijakan ekonomi yang masih mengganggu kemajuan bangsa Indonesia yang musti mendapat perhatian serius dari kita semua.  

Oleh karena itu pembentuk Pansus Tambang dirasakan penting untuk membongkar praktek praktek haram mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai pejabat negara sekaligus pengusaha. Karena saat ini disinyalir banyak pejabat negara yang bermain main dengan kewenangan yang dimilikinya seperti diduga dilakukan oleh pejabat seperti ET, LBP ataupun Bahlil Lahadalia.

Dugaan penyalahgunaan kewenangan oleh Bahlil boleh jadi hanya puncak gunung es dimana yang tampak di permukaannya saja. Diduga masih banyak pejabat lain yang memainkan fungsi gandanya sebagai pejabat negara sekaligus sebagai pengusaha. Peran ganda ini ditengah ketentuan yang masih longgar sanksinya tentunya menjadi lahan subur untuk perkembangannya.

Karena itu bagaimanapun pembentuk Pansus (meskipun tidak selalu ideal hasilnya) tetap tetap diperlukan sebagai bagian dari pelaksanaan fungsi pengawasan DPR yang selama ini sudah mandul pelaksanaannya. Paling tidak dengan adanya Pansus akan membuat gerah para pelakunya. Ibarat tikus di Gudang, paling tidak tikus tikus ini akan merasa risi dan terganggu keberadaannya kalau kondisi Gudang selalu gaduh dengan nyanyian nyanyian pengusir tikus tikus dan gerombolanya.

Ke empat, Mendukung Proses penegakan hukumnya. Bahwa seringkali penanganan masalah yang rumit melibatkan orang orang kuat tidak cukup hanya berdasarkan pendekatan hukum semata tapi perlu ada dukungan politis bagi aparat hukum yang menanganinya.

Dengan adanya Pansus Tambang yang nantinya akan melakukan pendalaman terkait kasus Bahlil Lahadalia maka bisa memberikan dorongan moral bagi penegak hukum semisal KPK untuk memprosesnya. Karena bagaimanapun lembaga seperti KPK kadang tidak mempunyai cukup nyali untuk mengusut kasus kasus yang melibatkan pejabata negara kalau tidak didukung oleh kekuatan politis dalam hal ini kekuatan rakyat melalui wakil wakilnya

Jangan sampai harapan rakyat untuk pengusutan mafia tambang hanya berhenti sampai pada pemasangan spanduk spanduk yang bertebaran di jalanan kota Jakarta. Paling tidak wakil rakyat di Senayan perlu meresponnya dengan pembentukan Pansus sebagai salah satu sarana untuk menguatkan kepercayaan diri  aparat penegak hukum dalam hal ini KPK untuk menjalankan kewajibannya mengusut penyelewengan mereka. Semoga.

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar