Analisis Hukum dari Tanggungjawab Hukum Para Penyelenggara Pemilu

Sabtu, 09/03/2024 00:02 WIB
Aksi Demo Menolak Pemilu Curang (Duta.co)

Aksi Demo Menolak Pemilu Curang (Duta.co)

Jakarta, law-justice.co - Pelaksanaan pemilu 2024 saat ini sudah selesai dilakukan tinggal menunggu hasilnya saja. Proses penghitungan suara hasil coblosan saat ini sedang berlangsung baik untuk pemilu legislatif maupun pemilihan presiden (Pilpres), meskipun secara resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum mengumumkan hasilnya.

Ditengah tengah proses penghitungan suara dan sinkronisasi suara hasil pemilu yang sedang berlangsung, narasi terjadinya pemilu curang hampir menggema dimana mana. Banyak suara suara ketidakpuasan, protes dan tuntutan mengenai proses dan hasil pemilu yang saat ini sangat dinantikan nantikan pengumuman resminya.

Beberapa elemen masyarakat bahkan menggelar demo menuntut supaya pemilu curang ini dibatalkan hasilnya. Ada juga yang menuntut supaya pemilu di ulang pelaksanaannya supaya bisa dilaksanakan secara lebih jujur dan adil sesuai harapan mereka.

Ketika narasi pemilu curang tengah dikumandangkan maka pihak yang paling menjadi sorotan adalah mereka yang menjadi penyelenggara pemilunya. Karena sebagai subjek Pemilu, penyelenggara Pemilu, memang mengemban amanah untuk menjamin terlaksananya Pemilu yang aman, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan yang ada.

Siapa yang masuk kategori sebagai penyelenggara pemilu itu dan apa tugas mereka ?, Apa bentuk pelanggaran pemilu yang sering dilakukan oleh para penyelenggara pemilu dan sanksi untuk mereka ?. Apakah sejauh ini sanksi tegas sudah dikenakan kepada para penyelenggara pemilu yang menyimpang dari fungsi dan tugasnya. 

Penyelenggara Pemilu

Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yaitu para pihak yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan Pemilu. Dikutip dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat.

Ada tiga pihak yang menjadi penyelenggara Pemilu, yaitu: Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

1.Komisi Pemilihan Umum (KPU)

KPU merupakan lembaga yang mempunyai tugas utama dan kewenangan dalam menyelenggarakan Pemilu di Indonesia. KPU memegang peran menjamin setiap proses dan tahapan Pemilu yang adil, transparan, bebas, dan jujur serta mampu menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap hasil pemilu.

KPU adalah lembaga yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Hal ini merupakan amanat dari konstitusi UUD 1945 Pasal 22F ayat (5), yang menyebutkan bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”.

Dalam Pasal 12 Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas diantaranya :

  1. Merencanakan program dan anggaran serta menetapkan jadwal.
  2. Menyusun tata kerja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan KPPSLN.
  3. Menyusun peraturan KPU untuk setiap tahapan pemilu.
  4. Mengoordinasikan, menyelenggarakan, mengendalikan, dan memantau semua tahapan pemilu.
  5. Menerima daftar pemilih dari KPU Provinsi.
  6. Memutakhirkan data pemilih berdasarkan data pemilu terakhir dengan memperhatikan data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh pemerintah dan menetapkannya sebagai daftar pemilih.
  7. Membuat berita acara, dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara, serta wajib menyerahkannya kepada saksi peserta pemilu dan Bawaslu.
  8. Mengumumkan calon anggota DPR, calon anggota DPD, dan pasangan calon terpilih serta membuat berita acaranya.
  9. Menindaklanjuti dengan segera putusan Bawaslu atas temuan dan laporan adanya dugaan pelanggaran atau sengketa Pemilu dan seterusnya.

Dalam menjalankan proses Pemilu, KPU dibantu oleh beberapa lembaga sementara yang disebut sebagai badan ad hoc. Berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2022 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Badan Ad hoc Penyelenggara Pemilu, badan ad hoc penyelenggara pemilu terdiri dari anggota dan sekretariat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), dan Panitia Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP/Pantarlih).

Selain itu, Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN), Panitia Pemutakhiran Data Pemilih Luar Negeri (PPDP/Pantarlih LN), serta Petugas Ketertiban Tempat Pemungutan Suara dalam Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan.

Badan ad hoc pemilu merupakan tulang punggung dan garda terdepan pelaksanaan pemilu. Badan ini bekerja di tingkat paling bawah dan bersinggungan langsung dengan masyarakat. Umumnya, mereka yang tergabung dalam badan ini dilatarbelakangi oleh dasar sukarelawan untuk berkontribusi di lingkungan tempat mereka tinggal dan sudah memiliki pengalaman sosial di masyarakat dan lingkungannya sehingga memudahkan kerja-kerja badan ad hoc ini.

  1. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)

Bawaslu merupakan salah satu lembaga penyelenggara Pemilu yang memiliki tugas pokok dan fungsi melakukan pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelengaraan Pemilu di seluruh Indonesia. Bawaslu bersifat tetap dan independen.

Berbeda dengan lembaga KPU yang tugas utamanya terkait koordinasi dan penyelengaraan pemilu. Sesuai namanya, titik utama kehadiran Bawaslu dalam pemilu adalah pada fungsi pengawasannya. Wewenang Bawaslu berada pada kapasitas pencegahan dan penindakan pelanggaran pemilu.

Sebagai pengawas, lembaga ini memiliki kewenangan utama mengawasi pelaksanaan berbagai tahapan pemilu, menerima pengaduan, serta menangani kasus-kasus pelanggaran administrasi, pidana Pemilu, dan kode etik.

Dengan demikian, Bawaslu memiliki peran yang sangat strategis dalam mewujudkan proses dan hasil pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil). Bertanggung jawab dalam melakukan pencegahan dan penindakan, menjadi kunci atas berlangsungnya tahapan pemilu yang berintegritas. Pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemilu sendiri merupakan suatu kehendak yang didasari perhatian luhur demi tercapainya pemilu yang berkualitas

Pada Pemilu 2024, berdasarkan amanat UU Pemilu tahun 2017, Bawaslu mempunyai berbagai tugas, diantaranya:

  1. Menyusun standar tata laksana pengawasan penyelenggaraan Pemilu untuk pengawas Pemilu di setiap tingkatan.
  2. Melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran Pemilu dan sengketa proses Pemilu.
  3. Mengawasi persiapan penyelenggaraan Pemilu.
  4. Mengawasi pelaksanaan tahapan penyelenggaraan Pemilu.
  5. Mencegah terjadinya praktik politik uang.
  6. Mengawasi netralitas aparatur sipil negara, netralitas anggota Tentara Nasional Indonesia, dan netralitas anggota Kepolisian Republik Indonesia.
  7. Mengawasi pelaksanaan putusan/keputusan.
  8. Menyampaikan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu kepada DKPP.
  9. Menyampaikan dugaan tindak pidana Pemilu kepada Gakkumdu.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai pengawas Pemilu, Bawaslu juga membentuk sejumlah badan pengawas sementara di tingkat daerah, yaitu:

  1. Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kecamatan, panitia yang dibentuk oleh Bawaslu Kabupaten/Kota untuk mengawasi Penyelenggaraan Pemilu di wilayah kecamatan.
  2. Panwaslu Kelurahan/Desa, petugas untuk mengawasi Penyelenggaraan Pemilu di kelurahan/desa.
  3. Panwaslu Luar Negeri (LN), petugas yang dibentuk Bawaslu untuk mengawasi Penyelenggaraan Pemilu di luar negeri.
  4. Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS), petugas yang dibentuk Panwaslu Kecamatan untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di tingkat TPS.

 3.Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)

DKPP adalah lembaga yang dibentuk untuk menangani pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. Kehadiran lembaga DKPP berdiri di atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pada Pasal 1 dituliskan bahwa lembaga DKPP, bersamaan dengan lembaga KPU dan Bawaslu, termasuk dalam kesatuan struktur yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan pemilu. DKPP bersifat tetap dan berkedudukan di ibu kota negara.

DKPP menjadi benteng terakhir dalam menjaga kehormatan penyelenggara pemilu. Lembaga ini harus memastikan penyelenggaraan Pemilu, mulai dari yang paling kecil dilakukan oleh penyelenggara yang penuh integritas agar proses dan hasil pemilu kredibel serta dipercaya masyarakat.

Ditegaskan pada Pasal 155 ayat (2), DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutus aduan dan/atau laporan dugaan pelanggaran kode etik. Pihak yang wajib memenuhi kode etik dalam hal ini adalah anggota KPU dan anggota Bawaslu di berbagai tingkatan (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota). Artinya, tujuan pembentukan DKPP adalah untuk menjaga kemandirian, integritas dan kredibilitas KPU dan Bawaslu agar Pemilu tentu berjalan dengan baik dan benar.

Dengan tugas dan tujuan pembentukan demikian, DKPP juga mengusung sejumlah wewenang. Mengacu Pasal 159 ayat (2), wewenang DKPP yang pertama adalah memanggil penyelenggara pemilu (anggota KPU dan Bawaslu) yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan.

Kedua, apabila terdapat pelaporan, memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain. Wewenang ketiga, memberikan sanksi kepada penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik. Terakhir, apabila keterangan dan laporan yang telah dikumpulkan terbukti, DKPP berwenang untuk memutus pelanggaran kode etik.

Berbagai tugas dan wewenang tersebut diusung DKPP sembari tetap mengacu pada kewajiban kelembagaan. DKPP harus menerapkan prinsip keadilan, kemandirian, imparsialitas, dan transparansi; menegakkan kaidah atau norma etika yang berlaku bagi penyelenggara pemilu; bersikap netral, pasif, dan tidak memanfaatkan kasus untuk popularitas pribadi; serta menyampaikan putusan kepada pihak terkait untuk ditindaklanjuti.

Dalam menjalankan fungsinya, DKPP dibantu oleh Tim Pemeriksa Daerah (TPD). TPD adalah kepanjangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang dibentuk dari unsur masyarakat. TPD mengemban tugas untuk menyelenggarakan sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu di daerah.

Tugas tunggal dari DK-KPU adalah memeriksa pengaduan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU. Tugas ini dijalankan oleh tiga orang anggotanya, yang terdiri atas seorang ketua dan dua anggota yang dipilih oleh anggota KPU. Dari hasil pemeriksaan, DK-KPU lantas menyerahkan rekomendasi kepada KPU.

DKPP dibangun dengan struktur yang lebih profesional dengan jangkauan tugas dan kewenangan yang juga diperluas. DKPP menjangkau seluruh jajaran penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), baik level pusat sampai tingkat kelurahan/desa.

Pada tahun 2017, DKPP kembali memperoleh penguatan untuk menjalankan fungsinya. Hal tersebut dilakukan dengan menambahkan lembaga kesekretariatan pada tubuh DKPP melalui UU Nomor 7 Tahun 2017. Sebelumnya, persoalan kesekretariatan DKPP masih bergantung pada dukungan dari Sekjen Bawaslu. Dengan hadirnya kesekretariatan ini, DKPP dapat berdiri semakin mandiri dalam mengerjakan tugas dan wewenangnya.

Pelanggaran Pemilu oleh Penyelenggara Pemilu

Sebagai panitia suksesi nasional itu, kinerja penyelenggara Pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kerap mendapat perhatian publik maupun masyarakat sipil pada umumnya.

Berkaca pada pengalaman pelaksanaan pemilu pemilu sebelumnya termasuk pada pemilu yang saat ini tengah berlangsung,tidak sedikit timbul kecurigaan dan tuduhan dari publik bahwa telah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu.

Pertanyaan tentang netralitas penyelenggara pemilu sudah menjadi isu rutin yang sering muncul pada masa tahapan Pemilu maupun Pilkada. Laporan pelanggaran oleh penyelenggara Pemilu nyatanya banyak ditemukan di daerah mulai tingkat provinsi, kabupaten/kota.

Upaya mitigasi potensi pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu ini telah ada di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menetapkan 11 (sebelas) prinsip penyelenggara pemilu (mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efisien) sebagai pranata kepemiluan (struktur), secara regulatif membatasi (constraining) tingkah laku penyelenggara Pemilu.

Konsekuensi hukum yang dijatuhkan kepada para pelanggarnya pada dasarnya untuk memberikan efek jera kepada penyelenggara pemilu agar tidak mencoba melakukan pelanggaran lagi pada kesempatan berikutnya

Berdasarkan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum, pelanggaran pemilu adalah tindakan yang bertentangan, melanggar, atau tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemilu.

Adapun bentuk pelanggaran pemilu bermacam-macam. Mengacu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, secara umum terdapat tiga bentuk pelanggaran pemilu, yakni pelanggaran kode etik, pelanggaran administratif, dan tindak pidana pemilu.

Pelanggaran Administrasi Pemilu

Pelanggaran administratif merupakan pelanggaran yang meliputi pelanggaran tata cara, prosedur atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu. Penyelesaian pelanggaran administratif pemilu berupa: perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme sesuai peraturan perundang-undangan; teguran tertulis; tidak diikutkan pada tahapan tertentu dalam penyelenggaraan pemilu; dan sanksi administratif lainnya sesuai undang-undang

Dalam pelanggaran administrasi pemilu, menurut Undang-Undang (UU) Pemilu meliputi pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.

Secara teknis ketentuan mengenai tata cara, prosedur, atau mekanisme administrasi pelaksanaan pemilu ini, lanjutnya, diatur di dalam UU Pemilu; Peraturan KPU (PKPU); dan keputusan-keputusan KPU.

Jadi pelanggaran administrasi pemilu merupakan pelanggaran terhadap norma UU Pemilu, Peraturan KPU, dan/atau Keputusan KPU yang mengatur mengenai tata cara, prosedur, atau mekanisme pelaksanaan pemilu. Pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu contohnya KPU memasukkan masyarakat yang belum memenuhi syarat sebagai pemilih ke dalam daftar pemilih tetap (DPT).

Bisa juga KPU menetapkan seseorang yang mantan terpidana korupsi yang belum menjalani masa jeda selama lima tahun setelah dinyatakan bebas dari hukuman penjara maupun denda dalam daftar calon tetap (DCT) untuk calon Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Pelanggaran Kode Etik Pemilu

Pelanggaran kode etik merupakan pelanggaran etika penyelenggara pemilu terhadap sumpah dan janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu. Pelanggaran ini ditangani oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Putusannya berupa sanksi teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian tetap, atau rehabilitasi yang diputuskan dalam rapat pleno DKPP.

Upaya untuk mitigasi potensi pelanggaran seperti ini telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menetapkan 11 (sebelas) prinsip penyelenggara pemilu (yang mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efisien) sebagai pranata kepemiluan (struktur), secara regulatif membatasi (constraining) tingkah laku penyelenggara Pemilu.

Konsekuensi hukum yang dijatuhkan kepada para pelanggarnya pada dasarnya untuk memberikan efek jera kepada penyelenggara pemilu agar tidak mencoba melakukan pelanggaran etik. Sanksi akan dijatuhkan kepada penyelenggara pemilu yang melanggar dengan tujuan  untuk menjaga integritas penyelenggaraan pemilu. Sebab, jika integritas penyelenggara pemilu rendah maka akan mengakibatkan terjadinya delegitimasi dan ketidakepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu dan juga hasilnya.

Kode etik penyelenggara pemilu di atur di dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 yaitu suatu kesatuan asas moral, etika, dan filosofi yang menjadi pedoman perilaku bagi penyelenggara pemilu berupa kewajiban atau larangan, tindakan dan/atau ucapan yang patut atau tidak patut dilakukan oleh penyelenggara pemilu.

Etik menjadi standar nilai kepatutan dan kepantasan seorang penyelenggara Pemilu dalam berperilaku. Ia mengisi ruang-ruang kosong yang tidak diisi oleh aturan hukum. Berbeda dengan sanksi hukum yang bermaksud untuk menyakiti pelaku, sanksi dari kode etik untuk menjaga kehormatan dan kepercayaan publik terhadap institusi penyelenggara pemilu.

Dengan adanya kode etik, terlepas apakah penyelenggara pemilu memiliki kesadaran untuk mengamalkannya atau tidak, penyelenggara pemilu “dipaksa” untuk mematuhi aturan-aturan etik itu. Ini merupakan konsekuensi logis dari adanya sumpah jabatan dan komitmen mereka sedari awal sebagai penyelenggara pemilu.

Sebagai subjek hukum kepemiluan, tingkah laku penyelenggara pemilu mestinya taat dan patuh pada kode etik. Tetapi kenyataannya tidak selalu demikian adanya. Sampai saat ini, penyelenggara pemilu masih sering didapati melakukan pelanggaran-pelanggaran etik. Disengaja atau tidak, dengan atau tanpa maksud tertentu, pelanggaran itu terjadi dengan pelbagai macam bentuk dan cara.

Pemilihan umum sebagai arena pertarungan aktor dan kelompok kepentingan yang seyogianya dikelola oleh orang-orang netral dan imparsial kenyataannya justru sering menjadi pelaku pelanggaran. Terlihat di sini bahwa intervensi partai politik masih cukup kuat kepada penyelenggara pemilu. Padahal, penyelenggara pemilu dibentuk secara profesional oleh kepanitiaan yang independen. Tetapi nyatanya intervensi partisan dari eksternal Lembaga masih sering terjadi

Kekuatan partai politik dengan jaringan dan kapitalnya sejauh ini  telah menggiurkan penyelenggara pemilu yang tidak bermoral dan punya kepentingan politik sendiri. Perilaku yang bersifat partisan di kalangan penyelenggara pemilu ini sering dijadikan sebagai investasi politik jangka panjangnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa jabatan penyelenggara pemilu dilihat oleh sebagian individu penyelenggara pemilu sebagai “batu loncatan” menuju karir politiknya.

Mereka yang melakukan pelanggaran itu bukan karena mereka tidak tahu tetapi kebanyakan pelakunya cukup tahu dan mengerti, tetapi tidak menyadari efek yang akan ditimbulkannya nanti. Hal yang dipikirkan adalah kepentingan individualnya bukan kepentingan lembaga dimana ia bekerja. Rupanya terciderainya legitimasi pemilihan umum, tidak menjadi bahan refleksi bagi mereka.

Terkait dengan masalah kode etik ini, pada September 2017, DKPP RI telah mengeluarkan Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum. Di mana di dalamnya memberikan wewenang kepada DKPP untuk memberikan sanksi terhadap penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu berupa; teguran tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap. Kini, lembaga penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) telah menjadi lembaga karir yang memiliki aturan hukum dan kode etik yang terlembaga dengan baik.

Pelanggaran Pidana Pemilu

Di dalam UU Pemilu tidak mengatur mengenai definisi dari tindak pidana pemilu. Tetapi kemudian, dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 memuat ketentuan  77 tindak pidana yang diatur dari Pasal 488 sampai Pasal 553.

Dalam norma tindak pidana pemilu, subjek paling banyak yang dikenai adalah penyelenggara pemilu. Terdapat 26 norma yang subyek pidananya adalah penyelenggara pemilu, terdiri dari 23 (norma) untuk jajaran penyelenggara KPU dan tiga  norma untuk jajaran Bawaslu

Adapun perbuatan pidana yang dapat dilakukan oleh penyelenggara pemilu khususnya petugas KPU, baik KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS dan PPLN, antara lain meliputi :

  1. Tidak menindaklanjuti temuan Bawaslau, Panwaslu provinisi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Penwaslu Kecamatan, PPL, PPLN dalam melaku pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang merugikan WNI yang memiliki hak pilih (pasal 264);
  2. Anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak menindak-lanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota dalam melaksanakan verifikasi papol calon Peserta Pemilu (Pasal 267);
  3. Anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak menindak-lanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota dalam pelaksanaan verifikasi parpol calon Peserta Pemilu dan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota (pasal 268);
  4. Anggota  KPU,  KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindak pidana Pemilu dalam pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) (pasal 275)
  5. Penetapan jumlah surat suara yang dicetak melebihu jumlah yang ditentukan oleh Ketua KPU (pasal 283)
  6. Ketua dan anggota KPPS/KPPSLN yang tidak memberikan surat suara pengganti apabila surat suara rusak atau tidak mencatat surat suara di dalam berita cara. (pasal 294)
  7. KPU Kabupaten/Kota yang tidak menetapkan pemungutan suara ulang di TPS (pasal 296 ayat (1))
  8. Ketua dan anggota KPPS yang tidak melaksanakan ketetapan KPU kabupaten/ kota untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di TPS. (pasal 296 ayat (2))
  9. Angota KPU, KPU provinsi, KUP kabupaten/kota dan PPK yang karena kelalaianya mengakibatkan hilang atau berubahannya berita acara hasil rekapiltulasi perhitungan perolehan suara/atau sertifikat perhitungan suara (pasal 299 ayat (1) dan jika dilakukan dengan sengaja, pidana ditambah menjadi 2 kali lipat.
  10. Ketua dan anggota KPPS/KPPSLN yang tidak membuat dan menandatangani berita acara perolehan suara peserta pemilu dab calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. (pasap 301)
  11. KPPS/KPPSLN yang tidak memberikan salinan satu eksemplar berita acara pemungutan dan perhitungan suara, dan sertifikat hasil pemungutan suara kepada saksi pemilu, pengawasa pemilu lapangan, PPS, dan PPK melalui PPS. (pasal 302)
  12. KPPS/KPPSLN yang tidak menjaga, mengamankan keutuhan kotak suara, dan menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara pemungutan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara, kepada PPK melalui PPS atau kepada PPLN bagi KPPSLN pada hari yang sama (pasal 303);
  13. Setiap Pengawas Pemilu Lapangan yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara tersegel kepada PPK dan Panwaslu kecamatan yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara tersegel kepada KPU kabupaten/kota (pasal 304)
  14. PPS yang tidak mengumumkan hasil penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah kerjanya (pasal 305).
  15. KPU tidak menetapkan perolehan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota secara nasional. (pasal 306)
  16. Ketua dan anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (pasal 309)
  17. Ketua dan anggota Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, dan/atau Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri yang dengan sengaja tidak menindaklanjuti temuan dan/atau laporan pelanggaran Pemilu yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS/PPLN, dan/atau KPPS/KPPSLN dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu. (pasal 310)
  18. Anggota PPS/PPLN yang dengan sengaja tidak mengumumkan dan/atau memperbaiki Daftar Pemilih Sementara (DPS) setelah mendapat masukan dari masyarakat dan/atau Peserta Pemilu, diancam pidana penjara maks. 6 bulan serta denda maks Rp 6 juta. (pasal 489)
  19. Anggota KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak memberikan surat suara pengganti hanya 1 kali kepada penerima surat suara rusak dan tidak mencatat itu dalam berita acara, diancam pidana kurungan maks. 1 tahun serta denda maks 12 juta (pasal 499)
  20. Anggota KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak membuat dan menandatangani berita acara kegiatan (pemungutan dan penghitungan serta sertifikat rekapitulasi suara), diancam pidana kurungan maks. 1 tahun serta denda maks. Rp 12 juta (pasal 503)
  21. Anggota KPPS/KPPSLN yang tidak menjaga, mengamankan keutuhan kotak suara, dan menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara pemungutan suara, dan sertifikat hasil pemungutan suara kepada PPS/PPLN bagi KPPSLN pada hari yang sama, diancam pidana penjara maks. 1 tahun 6 bulan serta denda maks Rp 18 juta (pasal 537) 

Sanksi Bagi Penyelenggara Pemilu Yang Menyimpang

Maraknya tuduhan pemilu curang yang berlangsung akhir akhir ini telah menempatkan Lembaga penyelenggara pemilu sebagai “tersangkanya”. Penyelenggara pemilu yang perannya sering diidentikkanan dengan wasit didalam dunia olah raga dinilai justru ikut bermain sehingga membuat pemilu menjadi sangat buruk kualitasnya. Bahkan pemilu tahun 2024 ini dinilai sebagai pemilu paling brutal karena penyelenggara pemilu khususnya KPU dan Bawaslu telah berperan sebagai pihak yang tidak netral dalam menjalankan peran dan fungsinya

Kebanyakan pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh para penyelenggara pemilu tersebut berkubang pada masalah pelanggaran etika sementara untuk aspek pelanggaran administratif dan pidana kurang mengemuka.

Pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu hampir merata mulai tingkat atas sampai tingkat bawah dengan beragam cara yang dilakukannya.Contoh kasus pelanggaran etik yang menyita perhatian terjadi di Provinsi Jawa Timur yaitu di Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura dan di Kabupaten Situbondo.

Kasus yang ditemukan di Kabupaten Bangkalan Pulau Madura dilakukan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemugutan Suara (PPS). Sementara itu, yang terjadi di Kabupaten Situbondo melibatkan KPU sebagai pihak yang diadukan.

Kasus serupa juga ditemukan di wilayah bagian timur Indonesia yaitu Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara di mana terjadi kasus pelanggaran yang juga melibatkan PPK setempat.

Pada kasus pertama di Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur ditemukan sebanyak 57 orang anggota PPK dan PPS yang terlibat pelanggaran saat proses coklit periode Februari-Maret 2023.

Selain itu, juga ditemukan pelanggaran di mana PPS tidak menghasilkan Berita Acara Pleno Rekapitulasi, hingga PPS yang secara sengaja tidak mengundang Panwaslu Desa/Kelurahan saat menggelar acara rekapitulasi.

Setelah kasus ini ditindaklanjuti, berdasarkan rekomendasi yang dikeluarkan pihak Panwaslu Kecamatan, Bawaslu meminta KPU menindak 57 Petugas PPK dan PPS secara etik. Sedangkan untuk pelanggaran administrasinya, Bawaslu mendesak agar tingkat desa dan kecamatan setempat melakukan rekapitulasi ulang.

Kasus kedua yang terjadi di Kabupaten Situbondo diketahui saat DKPP menggelar sidang virtual pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu terhadap KPU Situbondo perkara nomor 27-PKE-DKPP/II/2023 pada 12 April 2023. Perkara ini diadukan oleh Abdul Hannan yang mengadukan Marwoto, Syamsul Hidayat, Imam Nawawi, Usman Hadi, dan Iwan Suryadi (masing-masing sebagai Ketua dan Anggota KPU Kabupaten Situbondo) sebagai Teradu I sampai V. Para Teradu didalilkan Abdul Hannan tidak profesional dalam rekrutmen PPK dengan nomor pendaftaran terpilih.

Selain itu para Teradu juga disebut berlaku tidak adil terhadap peserta tes (dkpp.go.id, 12 April 2023). Kasus lain terjadi di Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara ialah ditemukannya sejumlah ketua dan anggota PPK yang diperiksa atau diminta klarifikasi oleh KPU Halmahera Selatan karena mereka terlibat dalam aksi demonstrasi terkait masalah biaya operasional Pemilu 2024 di Kantor KPU.

Menurut KPU, jika ada permasalahan yang terjadi hal tersebut dapat langsung disampaikan kepada KPU tanpa melakukan demo yang mengundang banyak perhatian masyarakat luar. Hal ini karena PPK adalah bagian dari KPU sehingga tindakan demikian termasuk dalam kategori pelanggaran etik kinerja dan tugas PPK (Rakyat Merdeka, 12 April 2023).

Sementara itu nasib `apes` menimpa Ketua Bawaslu Kota Surabaya Muhammad Agil Akbar. Jelang Pemilu 2024 yang lalu, Agil dipecat oleh DKPP RI, karena terbukti bersalah, melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP). DKPP menyatakan, Agil diberhentikan lantaran terbukti bersalah dalam transaksi uang saat proses seleksi Anggota Panwaslu Kecamatan Sukolilo. Agil merupakan teradu atas dugaan pelanggaran KEPP perkara Nomor 112-PKE-DKPP/IX/2023.

Dari rangkaian pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, agaknya sanksi yang dikenakan kepada mereka selain masih tergolong ringan juga tidak merata. Dibandingkan dengan banyaknya pelanggaran yang telah dilakukan, sanksi yang diterima oleh para penyelenggara pemilu itu termasuk minim jumlahnya. Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang sampai dipecat atau masuk penjara karena pelanggaran yang dilakukannya.

Sebagian besar pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh para penyelenggara pemilu sepertinya berlalu begitu saja tanpa adanya sanksi tegas yang bisa membuat mereka menjadi jera. Barangkali kita semua bisa menyaksikan betapa pelanggaran yang menunjukkan buruknya kinerja penyelenggara pemilu terlihat secara nyata. Sebagai contoh pada saat minggu tenang sebelum coblosan, terdapat fenomena gelontoran bantuan sosial dan politik uang yang massif terjadi dimana mana.

Namun dalam hal ini sepertinya Lembaga pengawas pemilu seperti Bawaslu mendiamkan saja. Tidak melakukan tindakan apa apa terhadap para peserta pemilu yang nyata nyata melakukan pelanggaran dalam mencari suara. Begitu pula KPU yang tidak melakukan apa apa menyaksikan itu semua.

Sungguhpun demikian, KPU pernah mendapatkan sanksi peringatan keras dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapresnya Prabowo pada hal keputusan itu disandarkan pada keputusan MK yang dinyatakan melanggar etika oleh hakim MKMK.

Peringatan keras dari DKPP terhadap kominisioner KPU nyaris tidak mempunyai konsekuensi apa apa karena toh tidak menggugurkan pencalonan Gibran sebagai wakil presiden dari Capres Prabowo Subianto yang saat ini disebut sebut menjadi pemenang pilpres untuk sementara.

Nampak begitu nyata bahwa pelanggaran yang sifatnya TSM (terstruttur , sistematis dan massif) terjadi dalam pemilu 2024 namun sanksi terhadap penyelenggara pemilu yang terkesan melakukan pembiaran tidak ada konsekuensi hukum yang harus diterimanya. Seolah olah pembiaran perbuatan curang itu dianggap sebagai hal yang biasa biasa saja.

Terhadap pelanggaran yang sifatnya TSM, Lembaga pengawas pemilu seperti Bawaslu sudah kehilangan nyalinya. Pada hal manakala pelanggaran seperti ini,terjadi, pihak yang berkuasa hampir selalu menyarankan penyelesaiannya ke Bawaslu bukan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dari fenomena tersebut diatas terlihat jelas bahwa pemberian sanksi pelanggaran pemilu terhadap penyelenggara pemilu yang menyimpang baik secara administrative, etika maupun pidana tidak terlalu berpengaruh kepada upaya untuk membuat efek jera apalagi ringan sanksinya. Sehingga pada akhirnya tidak mempengaruhi kualitas penyelenggaraan pemilu. Artinya kualitas pemilu tetap buruk disebabkan oleh faktor penyelenggaranya yang tidak adil dan independent dalam menjalankan peran dan fungsinya.

Banyaknya pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh peserta pemilu sebagai akibat lemahnya kinerja penyelenggara pemilu biasanya memang tidak pernah lepas kaitannya dengan campur tangan pemerintahan yang sedang berkuasa seperti halnya yang terjadi pada zaman orde baru (Orba).

Saat ini fenomena tersebut nampaknya kembali terulang dimana pemilu curang kental terjadi sebagai konsekuensi adanya campur tangan kekuataan / cawe cawe pemerintah yang sedang berkuasa. Manakala hal ini terjadi maka penegakan hukum pelanggaran pemilu baik secara administrative, etika atau pidana yang ditujukan kepada penyelenggara pemilu tidak memiliki efek serius apalagi yang ditegakkan hukumnya hanya pelaku lapangan yang sifatnya individual belaka.

Kiranya akan lebih mengena manakala penegakan hukum itu menyasar pada elite politik penyelenggara pemilu yang menjadi hulunya, dengan hukuman yang tegas sampai dengan pemecatan atau hukuman penjara. Baru hal ini akan bisa menimbulkan efek jera dan besar pengaruhnya.

Jika pelanggaran pemilu yang sifatnya TSM yang terkait bukan saja penyelenggara pemilu tetapi diduga ada anasir anasir penguasa yang ikut bermain didalamnya maka penyelesaiannya bukan hanya di ranah hukum belaka tetapi perlu juga ditarik ke ranah politik untuk bisa menyasar pihak pihak diluar penyelenggara pemilu yang ikut mempengaruhi jalannya pemilu sehingga terjadi kecurangan dimana mana.

Jika kondisi yang disebutkan terakhir ini terjadi maka salah satu jalan diantaranya melalui pelaksanaan hak angket di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengungkap semua yang terjadi sehingga terbuka semuanya.

Jika benar nantinya terbukti ada intervensi penguasa yang menyebabkan pemilu tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya, maka proses pemakzulan bisa dilakukan sesuai dengan ketentuan dan mekanisme yang ada. Rasanya hanya dengan cara demikian pemilu yang benar benar adil, transparan dan jujur diwujudkan di Indonesia.

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar