Rusdianto Samawa, Alumni Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Mataram

Soal Anomali Keadaban Hakim Konstitusi: Elektoral Justice System

Kamis, 07/03/2024 13:55 WIB
Ilustrasi Palu Hakim (Net)

Ilustrasi Palu Hakim (Net)

Jakarta, law-justice.co - “Kedua bahan tulisan ini, sebelumnya terpublikasi dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan tahun 2015 dan Jurnal Diplomasi Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) tahun 2015. Namun, masih relevan saya perbaharui. Ketika pemilu 2014, 2019 dan 2024 ini penuh insiden curang, pemindahan Suara, kejahatan demokrasi dan sistem sirekap. Sekaligus menakar independensi hakim konstitusi, apakah memilih selamatkan demokrasi untuk keadilan demi negara atau pilihan jalan pintas penuh culas amankan klan keluarga dan oligarki.”

Tampilan rezim sekarang, penuh darah syuhada Front Pembela Islam. Kasus itu belum tuntas hingga sekarang. Lembaga HAM seolah tak memiliki kemampuan menuntaskan. Lain pula, kasus korupsi semakin menggila dan menggilas rakyat. Masih dibiarkan saja, mereka seolah-olah tidak mengenal hukum.

Kasus penangkapan aktivis dan oposisi, masih menggantung. Masih proses penyelesaian. Kalau kritik sedikit. Jelas masuk penjara. Kasus rakyat ditangkap, penolak kehadiran tambang.

Juga masih banyak dalam penjara. Kasus petani yang pertahankan lahan, juga banyak di intimidasi. Kasus nelayan diberbagai tempat, dianggap melanggar hukum, masih banyak bertahan dalam penjara.

Kasus kecurangan pemilu, sumbernya pada kekuasaan. Semua instrumen negara diperalat oleh tuan paduka yang berkuasa untuk menangkan anaknya. Tentu, masih bejibun kasus yang lain.

Padahal seluruh kasus diatas tidak di inginkan dalam sistem demokrasi. Pondasi demokrasi dalam berbagai khazanah dan perkembangannya, bahwa keputusan itu berada pada rakyat.

Abraham Lincoln ingatkan: “government of the people, by the people, for the people.” Kejahatan yang bermunculan sangat merusak pilar – pilar demokrasi.

Keputusan politik menyangkut kehidupan rakyat ditentukan oleh rakyat. Sebaliknya, Indonesia dalam perkembangan demokrasinya, terutama pemilu 2024 ini, bukan lagi rakyat yang menentukannya.

Rakyat hanya berkewajiban datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan memilih pemimpin (presiden, gubernur, bupati) dan DPR melalui pemilu yang bebas dan fair (jurdil). Tetapi yang tentukan menang dan unggul adalah kekuasaan yang berpihak secara totalitas dan tidak fair.

Pemilu 2024 (Pilpres dan Pileg) penuh ancaman, curang yang menggila, dan kejahatan yang sempurna. Pemilu 2024 telah melucuti daulat suara rakyat, tidak lagi bebas dan fair dalam usaha mendapat mandat rakyat secara sah.

Pemerintahan kedepan, bisa tidak sah, apabila satu suara rakyat dilucuti dan dicurangi. Pemerintah yang ideal itu, lahir dari hasil pemilu yang berkeadilan, terbuka dan fair.

Apabila sekarang, tuntutan rakyat tidak berhasil melalui gerakan pressure group, hak angket, interpelasi, dan jalur sengketa Mahkamah Konstitusi.

Maka jalan lain ada dua yakni tuntutan ke Mahkamah Internasional dan gerakan rakyat lakukan pemakzulan. Jalan ekstremnya pembentukan pemerintahan transisi diluar otoritas lembaga negara.

Mengapa hal ini, lambat laun akan terjadi? karena kekuasaan menolak untuk keadilan pemilu. Tuan paduka penguasa masih ingin bercokol tanpa mengindahkan batas – batas regulasi kekuasaan negara.

Selain itu, kebuntuan lembaga DPR menjalankan tugas dan fungsi dalam Hal Angket.untuk mengawasi hasil pemilu 2024 ini. Pemerintah yang tidak dibenarkan adalah mementingkan kepentingan diri sendiri, keluarga, oligarki, diktator, dan korup.

Dengan demikian, pemilu (Pilpres dan Pileg) 2024 maupun pemikukada kedepan, merupakan proses politik secara konstitusional harus dijalankan bagi negara demokrasi seperti Indonesia sebagai amanat konstitusi UUD 1945 yang merupakan sarana wujudkan kedaulatan rakyat dan menghasilkan parlemen maupun pemerintahan yang representatif legitimate dari rakyat.

Namun, apabila hasil pemilu 2024 ini penuh kejanggalan, kecurangan, dan kejahatan. Maka pemilu wajib di ulang dengan syarat – syarat yang harus disepakati, seperti komitmen mendiskualifikasi pasangan calon yang bermasalah dan bagian dari kejahatan pemilu.

Belajar dari kompetisi pemilu 2014 dan 2019 bahwa koalisi menentukan arah politik Indonesia sekaligus masa depan demokrasi. Kompetisi memang ada menang – kalah, itu bagian dari dinamika politik.

Namun, berbagai kekuatan politik saling kontrol kekuatan dan mengintip kesalahan lawan. Akibatnya jalan demokrasi tak begitu bersih. Agenda luruskan kiblat demokrasi tak menemukan ending yang baik.

Situasi politik pasca pemilu presiden 2024 ini buat rakyat bingung dan marah karena penguasa bermain api. Dinamika transisi kekuasaan politik akan terus memanas, apabila partai politik komitmen pada jalur perubahan dan perbaikan.

Bisa juga, mereda seiring waktu, apabila suasananya terjadi dalam situasi tawar menawar posisi. yang akan terus mewarnai politik Indonesia lima tahun ke depan.

Pemilu yang bersih harus mampu akomodasi hak politik masyarakat (political right), wadah formal kompetisi politik, menghargai hak sipil, kebebasan media dan kaum minoritas dalam aktivitas politik. Perlu sekali, me-rethingking dinamika politik dan demokrasi pada pemilu 2024 yang berpotensi turbulensi.

Melihat fakta – fakta pemilu 2024 ini sebagai metodologi suksesi kepemimpinan politik semakin gamang, curang, jahat, pelanggaran dan kegagalan karena terang – terangan manipulasi mulai dari kampanye, aturan main, sampai pemungutan suara.

Keadaban Hakim Konstitusi

Kita ingat, prahara Akil Mochtar pernah menjabat Ketua MK yang terbukti menyimpan dan konsumsi narkoba divonis hukum penjara seumur hidup. Begitu juga, Patrialis Akbar yang terbukti korupsi, juga divonis hukum penjara.

Dari berbagai kasus menerpa Mahkamah Konstitusi sudah tak layak dipertahankan. Hukuman itu di jatuhi karena tekanan rakyat kepada Mahkamah Konstitusi soal etika dan moralitas.

Begitu juga, Anwar Usman sebagai ketua Mahkamah Konstitusi terbukti melanggar etika dan moralitas yang mendahulukan kepentingan keluarga dalam meloloskan syarat Capres – Cawapres Gibran Rakabuming Raka. Mestinya, hukumannya sama dengan Akil Mochtar dan Patrialis Akbar.

Dalam konteks perilaku hakim dalam memutus suatu perkara bisa menyimpang dari tujuan menegakkan hukum dan keadilan. Putusan itu semata-mata di landasi oleh alasan pokok yang untungkan diri sendiri, keluarga dan kelompok.

Sehingga putusan itu perwujudan dari etika dan moralitas hakim yang merugikan pihak lain. Maka dapat dikatakan melakukan accupational crime sehingga daya rusaknya sangat luas. Kejahatan ini tidak hanya merugikan pihak yang berperkara, juga merusak tatanan hukum yang berlaku.

Sikap hakim konstitusi seakan – akan melawan rasa keadilan masyarakat yang semakin perkuat kecurigaan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak beres dalam memutus perkara.

Jabatan hakim konstitusi itu merupakan alat kebebasan dan daulat rakyat untuk menghadirkan keadilan hukum yang kelak dipertanggung jawabkan kepada Tuhan langsung.

Bayangkan kalau majelis hakim konstitusi menjadi tolak ukur kesalahan putusan. Tentu membawa mudharat, kelemahan dan kebobrokan bagi perjalanan konstitusi dan hukum negara. Putusan hakim konstitusi yang tidak memenuhi rasa keadilan, maka mengacaukan sistem pemilu dimasa mendatang.

Memang tafsir hakim atas putusan hukum pidana dan perdata diberikan wewenang penuh. Namun, beda tafsir hakim konstitusi dalam menentukan sistem politik, demokrasi dan pemilu, tidak menggunakan tafsir. Tetapi kepastian, ilmiah, dan berkeadilan.

Karena tafsir yang paling dominan dalam pengambilan keputusan konstitusi adalah persamaan dan keadilan. Tingkat pengetahuan, integritas, nilai kejujuran dan keyakinan hakim konstitusi sangat menentukan kualitas penyelenggaraan pemerintahan.

Menurut Said (1989) bahwa apabila kepentingan pribadi hakim dalam suatu perkara sangat kuat, maka dapat di duga hasil putusan yang ambil tak akan cerminkan rasa keadilan.

Segala pertimbangan hukum yang dituangkan dalam putusan menjadi faktor pembenar bagi motif pribadi hakim. Semua perkara di tujukan untuk tujuan pribadinya. Tiada seorang pun yang dapat menjadikan hakim yang baik di dalam kepentingannya sendiri.

Kesalahan yang terus menerus ditradisikan disebabkan ketidaksabaran, minus integritas, hakim seperti ini menyempal dari rasa keadilan dan melabrak prosedur hukum yang sudah baku sehingga terjebak pada kepentingan diri sendiri, keluarga dan kelompok. Tak heran bila banyak orang skeptis untuk peroleh keadilan.

Tetapi, selama ini belum memunculkan upaya keadaban yang berkeadilan. Sengketa pemilu menimbulkan luka lama dan luka baru.

Penyebabnya terletak pada sikap yang ditunjukkan, sejauh mana tindakan hakim mewarnai putusan yang memiliki substansi keadilan sehingga dapat dinilai bahwa hakim tersebut tidak berusaha intervensi proses pemilu yang adil, jujur, terbuka dan fair.

Namun, karena pribadi hakim konstitusi sangat melekat dan dominan dalam putusan maka sangat mudah untuk mengetahui motifnya. Itulah proses konstitusi yang perlu diperbaiki.

Mahkamah konstitsui seharusnya melakukan perbaikan agar upaya pelurusan dapat berjalan sesuai koridornya. Tak hanya itu, negara dan lembaga legislatif juga harus turun tangan untuk antisipasi kekerasan politik.

Kalau perlu hakim konstitusi tak boleh menikah dengan keluarga presiden untuk mencegah menjalin komunikasi dalam merencanakan siasat kejahatan pemilu (politik).

Apabila hakim memakai logika hukum yang melekat dalam setiap putusan atau ketetapan yang wujudnya berupa teknis, atas kepentingan yang dijalankan oleh hakim maka perdebatan menjadi sulit dihentikan bahkan persoalan bergeser pada benturan antar lembaga negara, partai politik dan kelompok masyarakat yang sebelum memiliki dasar hukum yang kuat dan diatur oleh Undang-undang.

Manakala hakim konstitusi berkomplotan melakukan kejahatan, maka kerusakan Negara nyaris sempurna. Sebab kejahatan itu terbungkus rapat oleh hukum dan konstitusi itu sendiri.

Hal ini terjadi karena hakim konstitusi berusaha campuri pihak manapun dengan logika hukumnya sendiri. Apalagi menjalankan proses hukum oleh hakim memakai pendekatan kekuasaan dan tanpa control sehingga tak dapat dielakan dari cara-cara jahat pula.

Bila hakim manapun melakukan konspirasi bersama kekuasaan politik, maka peradaban hakim akan terkunyah zamannya sendiri tanpa bisa melahirkan konstitusi yang adil dan beradab.

Poros peradaban konstitusi selama ini, berada pada hakim. Bukan pada rakyat. Hal ini harus dipertanyakan kembali. Rakyat sendiri gandrung akan keadilan sehingga berharap konstitusi yang adil.

Agar keahlian hakim tidak menjadi tumpul, maka kemampuan yang sudah dimilikinya harus rasional dan ilmiah tanpa kepentingan apapun. Konstitusi diharapkan bisa penuhi rasa keadilan dan membentuk keadaban hakim yang jujur.

Upaya menciptakan keadilan, hakim konstitusi harus memiliki prinsip adil dan melihat fakta yang terjadi dilapangan serta merasakan langsung apa yang sedang menjadi kerisauan masyarakat.

Konstitusi dan hukum, jangan mensyaratkan pada kolaborasi kepentingan jahat. Moralitas hakim konstitusi terdepan diutamakan, karena penjaga keadilan masyarakat.

Tentu dengan integritas moral yang dimiliki secara otomatis keadaban hakim konstitusi tercipta dalam system yang berkeadilan dengan landasan moral ditegakkan.

Meminjam kata Sophocies, filosof Yunani bahwa bukan orang lain yang berkewajiban suci untuk mentaati dan mematuhi konstitusi dan hukum, selain dari pada mereka yang pekerjaannya membuat, mengubah, membatalkan dan menjalankan konstitusi.

Jika konstitusi tidak merubah metode tugas hakim, tak tertutup jalan hakim akan melakukan sikap tercela kedepannya. Tindakan para hakim yang sengaja demoralisasi konstitusi dan hukum, tentu berakibat pada matinya keadilan.

Kalau perilaku hakim berusaha mensamarkan fakta dan jungkir balikkan konstitusi. Maka kenyataan yang akan dihadapi adalah rusaknya peradaban dan keadaban hakim.

Apalagi hakim menyelinap melalui celah hukum yang dapat ditukarkan dengan kepentingannya. Maka sudah jelas kiblat konstitusi akan terjungkal dan rusak, bahkan masuk comberan lumpur hitam, keadilan pasti tergadaikan.

Dibalik putusan dan pernyataan hukum, atas nama keadilan dan kebenaran hakim harus bersih serta penguatan pada sikap independensi sehingga peradaban hakim dapat dimuliakan dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Kita hanya perlu keadaban hakim sehinggai keadilan.bisa hadir ditengah kehendak rakyat.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar