WA Wicaksono, Storyteller, Analis Iklan dan Pencitraan

Akankah Politik Gentong Babi Akan Diulang di Pilkada 2024?

Minggu, 03/03/2024 15:23 WIB
Ilustrasi Pilkada Serentak. (istimewa).

Ilustrasi Pilkada Serentak. (istimewa).

Jakarta, law-justice.co - Akankah Pilkada 2024 menandai sebuah perubahan paradigma dalam politik Indonesia, terutama setelah fenomena yang menggemparkan dalam Pilpres 2024 yang lalu.

Salah satu strategi politik yang menarik perhatian adalah yang dikenal sebagai “politik gentong babi”. Pertanyaan yang muncul sekarang adalah, apakah strategi ini akan diulang dalam Pilkada 2024?

Tetiba strategi politik gentong babi mencuat dan menjadi topik hangat setelah kesuksesannya dalam mengantarkan pasangan Prabowo-Gibran sebagai kandidat pemenang sementara dalam Pilpres 2024 kemarin.

Dalam konteks Pilpres tersebut, politik gentong babi ini merujuk pada pemberian bantuan sosial (bansos) secara masif kepada masyarakat dengan harapan mendapatkan dukungan politik darinya.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan yang cukup kompleks. Apakah kesuksesan sementara politik gentong babi dalam Pilpres 2024 akan diulang dalam Pilkada 2024? Tentunya jawabannya tidaklah sederhana dan membutuhkan analisis yang cermat.

Pertama-tama, perlu dipahami bahwa keberhasilan politik gentong babi dalam Pilpres 2024 sangat terkait dengan konteks politik dan sosial yang ada pada saat itu.

Pasangan Prabowo-Gibran mampu memanfaatkan momentum politik dan dinamika sosial tertentu untuk menerapkan strategi ini dengan efektif. Namun, hal ini tidak bisa dijadikan sebagai jaminan bahwa strategi serupa akan berhasil dalam Pilkada 2024.

Kedua, efektivitas politik gentong babi juga sangat tergantung pada respons dan reaksi masyarakat. Meskipun bansos dapat memberikan dampak positif secara langsung bagi penerima, namun apakah hal ini akan berdampak pada pilihan politik mereka dalam jangka panjang masih menjadi tanda tanya.

Pemilih memiliki kecenderungan untuk menilai kinerja pemimpin berdasarkan kriteria yang lebih kompleks daripada sekadar pemberian bantuan sosial.

Ketiga, ada faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan, seperti regulasi dan aturan yang mengatur kampanye politik dan pemberian bantuan sosial. Pemerintah dan lembaga terkait dapat mengeluarkan kebijakan yang membatasi atau mengatur ulang cara kampanye politik dilakukan, termasuk penggunaan bantuan sosial sebagai alat politik.

Terbukti banyak tudingan bahwa pemberian bansos di masa kampanye Pilpres 2024 kemarin merupakan salah satu wujud kecurangan yang sangat tidak fair.

Hal ini terlihat dari maraknya demo menolak hasil pemilu yang dianggap curang, mulai dari aksi demonstrasi di jalanan hingga rencana mengajukan hak angket yang dianggap konstitusional.

Tidak dapat diabaikan bahwa politik gentong babi menimbulkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan kebijakan sosial demi kepentingan politik.

Keberhasilan strategi ini dalam Pilpres 2024 memberikan sinyal kepada kontestan Pilkada 2024, terutama yang memiliki akses, dukungan, dan kedekatan dengan pemerintah yang masih berkuasa.

Karena itu, penggunaan strategi semacam ini harus diimbangi dengan integritas, transparansi, dan pertanggungjawaban yang tinggi demi menjaga keseimbangan antara kepentingan politik dan kesejahteraan masyarakat.

Dalam konteks Pilkada 2024, faktor-faktor seperti popularitas, rekam jejak kinerja, dan visi kepemimpinan tetap menjadi penentu utama dalam memenangkan hati pemilih.

Sementara politik gentong babi mungkin saja menjadi salah satu strategi yang kembali digunakan karena karakteristik masyarakat yang pragmatis dan kurang berpendidikan.

Hanya saja, mungkin kali ini kesuksesannya tidak dapat dijamin tanpa mempertimbangkan berbagai aspek yang lebih luas.

Sebagai penutup, apakah politik gentong babi akan diulang dalam Pilkada 2024 masih menjadi tanda tanya besar. Meskipun indikasi penggunaannya kembali nampak masih besar karena ambisi berkuasa pemerintah yang terlihat vulgar.

Namun, yang pasti, fenomena ini menegaskan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi dan mengkritisi praktik politik demi menjaga integritas demokrasi Indonesia.

Walaupun hal ini kurang bisa begitu diharapkan karena pengetahuan politik rerata masyarakat yang mayoritas masih dibawah standar. Tabik.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar