Hasil Pilpres 2024 Dituding Telah Dibajak Rezim Jokowi

Sabtu, 17/02/2024 17:31 WIB
Jokowi dan Prabowo Subianto (Dok.Setkab)

Jokowi dan Prabowo Subianto (Dok.Setkab)

Jakarta, law-justice.co - Pemilu 2024 dinilai telah dibajak rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan segala instrumen kekuasaannya, seiring hasil sementara penghitungan suara Pilpres yang menunjukkan paslon capres dan cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming unggul jauh dbanding dua paslon pesaing. Koalisi masyarakat sipil berpendapat demikian dengan bersandar pada sejumlah peristiwa dalam proses Pemilu yang manipulatif akibat intervensi kekuasaan Jokowi dan kroninya.

“Pemungutan suara Pemilu 2024 mengonfirmasi bahwa pemerintahan Joko Widodo telah memobilisasi sumber daya negara untuk memenangkan Prabowo Subianto yang didampingi oleh anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka,” kata Direktur Setara Institute, Halili Hasan yang termasuk bagian koalisi dalam keterangannya, dikutip Sabtu (17/2/2024).

Sejak awal, kata Halili, koalisi menilai bahwa Prabowo dan Gibran adalah paslon yang bermasalah. Prabowo merupakan pelanggar HAM karena telah melakukan penculikan aktivis HAM pada 1997-1998 yang telah diakuinya dan membuatnya dicopot dari dinas kemiliteran oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP) pada 3 Agustus 1998. “Sedangkan majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden Prabowo Subianto nyata-nyata mengabaikan agenda reformasi 1998. Pencalonan Gibran sarat dengan praktik KKN, serta melanggar etika Konstitusi,” kata Halili.

Halili menekankan bahwa tidak ada kepentingan rakyat yang diwakili paslon nomor urut 2 itu. Sebab, kepentingan utamanya adalah untuk mengamankan dan melanggengkan kekuasaan pribadi, keluarga, dan kroni-kroni Jokowi.

Dia mengingatkan kembali soal peristiwa dalam tahun politik, mulai dari pencalonan Gibran yang membajak Mahkamah Konstitusi (MK) melalui pamannya, Anwar Usman, Ketua Majelis Hakim dalam persidangan MK saat itu. Putusan Mahkamah Kehormatan MK (MKMK) jelas menyatakan terjadi pelanggaran etik berat dalam Putusan 90/2023 yang membuka jalan pencawapresan Gibran.

Pencawapresan Gibran di KPU, ujar dia, juga bermasalah karena seharusnya Pencawapresan itu ditolak oleh KPU karena tidak sesuai dengan Peraturan KPU (PKPU) sendiri. PKPU baru diubah kemudian setelah Pendaftaran Pasangan Capres-Cawapres 02 diterima. Adapun putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan bahwa Ketua dan Komisioner KPU melanggar etik berat dan diberikan sanksi peringatan keras terakhir terhadap ketua KPU Hasyim Asy’ari karena telah meloloskan pencalonan Gibran. “Hal ini sesungguhnya menunjukkan bagaimana kekuasaan Jokowi, keluarga dan kroni-kroninya benar-benar telah membajak lembaga negara, seperti MK dan KPU. Mereka tidak lagi memperdulikan etika, Konstitusi Negara, demokrasi, dan tata pemerintahan yang bersih dari KKN,” tutur Halili.

“Selain melanggar etika, konstitusi, hukum, dan keadaban politik demokratis, Jokowi telah menyalahgunakan dan memobilisasi sumber daya negara, baik aparat, program, dan anggaran negara, bahkan otoritas yang dimilikinya untuk memenangkan Paslon 02,” ia menambahkan.

Halili mewanti-wanti kejahatan Pemilu sudah bersifat terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) sebelum hari pencoblosan. Dari catata koalisi, jumlah kasus pelanggaran sejak penetapan Paslon pada 18 November 2023 hingga Masa Tenang terjadi lonjakan hampir 300 persen dibandingkan jumlah kasus pada periode pemantauan Mei-Oktober 2023.

Bahkan, katanya, sehari sebelum Presiden mengeluarkan kebijakan ‘politik gentong babi’ dengan menaikkan tunjangan Bawaslu. Kebijakan tersebut patut dipersoalkan karena nyata-nyata merupakan upaya untuk menaklukkan Bawaslu.

Dia menegaskan pelanggaran massif yang terjadi pada hari pencoblosan dan pasca itu menunjukkan bahwa kejahatan sebelum hari pencoblosan berlanjut. Kejahatan Pemilu mulai dari bentuk intimidasi sebagaimana diakui Bawaslu untuk mendukung Paslon 02, salah input sebagaimana diakui KPU dan pencurian suara serta penggelembungan suara untuk Paslon 02 pada Sistem Rekap KPU. Ditambah, adanya pencoblosan Paslon 02 oleh KPPS dan orang-orang tidak bertanggungjawab atas perintah KPPS atau aparat desa.

“(Ini) menunjukkan bahwa Pemilu 2024, khususnya Pilpres, tidak legitimate serta meruntuhkan kedaulatan rakyat dan demokrasi,” kata Halili.

Menurutnya, melaporkan pelanggaran Pemilu kepada Bawaslu dan MK, sebagaimana disampaikan Jokowi adalah tindakan sia-sia sebab MK dan Bawaslu hanyalah kelembagaan negara yang tidak terbukti tunduk pada kebaikan bersama rakyat dan tunduk pada kehendak politik Jokowi dan kroni-kroninya. “Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan Pemilu 2024 sudah dibajak Rezim dan saatnya demokrasi diselamatkan. Sudah saatnya kelompok masyarakat Sipil merapatkan barisan dan bergerak menyelamatkan demokrasi Indonesia,” pungkasnya. 

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar