Pengawas Pemilu dan Aparat Penegak Hukum Diam Seribu Bahasa

Para Penikmat Uang Haram Dana Kampanye Pemilu

Sabtu, 20/01/2024 17:01 WIB
Ilustrasi: karikatur untuk mengajak bertanding dengan jujur di PEMILU 2024. (bing)

Ilustrasi: karikatur untuk mengajak bertanding dengan jujur di PEMILU 2024. (bing)

law-justice.co - Legitimasi Pemilu 2024 semakin meragukan justru setelah tahapan mulai dijalankan. Koalisi Masyarakat Sipil menjulukinya sebagai Pemilu terburuk sepanjang masa pasca reformasi karena sejumlah alasan. Terkini, penggunaan dan pelaporan dana kampanye Pemilu yang serampangan pun ternyata tak menjadi perhatian penyelenggara.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti menyebut proses penyelenggaraan Pemilu 2024 mengalami persoalan berat. Dari empat tahapan besar Pemilu, yaitu pendaftaran, kampanye, pencoblosan, dan penghitungan suara, dua di antaranya sudah terbukti mengalami persoalan serius yang melibatkan penyelenggara Pemilu dan aparatur pemerintah.

"Di samping itu terjadi tiga dosa Pemilu yang tidak bisa dimaafkan di dalam demokrasi, yaitu intimidasi dan kekerasan, mobilisasi politik uang, dan manipulasi suara. Dua dari tiga dosa tersebut sudah terjadi saat ini, dari masuknya dana ilegal untuk kepentingan pemilu hingga intimidasi dan kekerasan," paparnya, Minggu (14/1/2024).

Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti (Tribun)

Laporan awal dana kampanye perbaikan 18 partai politik peserta Pemilu 2024 dinilai belum mencerminkan kondisi riil di lapangan. Bahkan, masih ada tiga parpol yang status penerimaan LADK perbaikan dinyatakan tidak lengkap dan atau belum sesuai ketentuan. Situasi ini menunjukkan laporan dana kampanye masih menjadi formalitas sehingga parpol tidak mempersiapkan manajemen pelaporan.

Berdasarkan data laporan awal dana kampanye (LADK) perbaikan yang disampaikan Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebanyak 18 parpol peserta Pemilu 2024 telah menyampaikan LADK perbaikan. Sebanyak lima parpol mengubah total penerimaan dan pengeluaran yang dilaporkan. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menambah total penerimaan dan pengeluaran, Partai Golkar mengurangi total penerimaan dan pengeluaran, Partai Keadilan Sejahtera menambah total pengeluaran, serta Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengurangi total pemasukan.

Hasil pencermatan terhadap kelengkapan dokumen dan cakupan informasi LADK perbaikan, masih ada tiga parpol yang status penerimaannya dinyatakan belum lengkap dan atau belum sesuai ketentuan. Status penerimaan LADK perbaikan PSI dinyatakan belum lengkap dan belum sesuai, sedangkan Partai Gelombang Rakyat dan PPP sudah lengkap, tetapi belum sesuai ketentuan. Adapun saat penyampaian LADK, tidak ada satu pun LADK dari 18 parpol yang status penerimaannya dinyatakan lengkap dan sesuai ketentuan.

Anggota KPU, Idham Holik, mengatakan, KPU tidak akan memberikan sanksi kepada PSI, Gelora, dan PPP yang status penerimaan LADK belum lengkap dan atau belum sesuai. Sebab pada dasarnya, ketiga parpol telah menyampaikan LADK meskipun data yang disampaikan ada yang belum lengkap dan belum sesuai. Ketiga parpol juga tidak perlu menyampaikan perbaikan LADK lagi dan bisa mempersiapkan laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK) serta laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK).

Terkait dengan dana kampanye Pemilu tersebut, Bawaslu RI mengakui ada kesulitan dalam melakukan pengawasan terhadap penyampaian Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK) dan Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) peserta Pemilu 2024.

Anggota Bawaslu RI Puadi menyebut bila akses pengawasan Bawaslu terhadap RKDK dan LADK dibatasi oleh KPU. "(Kami) Dibatasi dalam mengakses pembacaan data Laporan Dana Kampanye yang ada pada Sistem Informasi Kampanye dan Dana Kampanye (Sikadeka) oleh KPU," kata Puadi dalam keterangannya, Rabu (17/01/2024).

Puadi mengatakan KPU telah memberikan akses pembacaan laporan dana kampanye di Sikadeka. Namun, kata dia, pembacaan laporan dana kampanye itu tidak dapat dilakukan oleh Bawaslu di seluruh tingkatan. "(Ini) Menyebabkan tugas pengawasan tidak dapat dilaksanakan secara maksimal," ucap Puadi.

Padahal, Puadi menyebut Bawaslu telah mengikuti prosedur yang ditentukan dalam Pasal 109 Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2023 tentang dana kampanye Pemilu. Menurutnya, dengan aturan itu, Bawaslu pun telah melakukan pengajuan permohonan akses Sikadeka kepada KPU.

"Namun pada faktanya, Bawaslu di seluruh tingkatan tidak mendapatkan akses pembacaan data Laporan Dana Kampanye pada Sikadeka meskipun telah menempuh prosedur yang ditentukan," ujarnya.

Anggota KPU RI Idham Holik. (Kompas)

Puadi mengatakan Bawaslu mendapati KPU mengeluarkan surat nomor 1395/PL.01.7-SD/05/2023 tertanggal 25 November 2023 terkait Persetujuan Akses Laporan dana Kampanye Calon Anggota DPD. Menurutnya, dalam surat itu terdapat informasi yang dikecualikan dalam laporan dana kampanye, sehingga membutuhkan persetujuan secara tertulis dari calon anggota DPD agar informasi dapat diakses oleh Bawaslu.

Namun, kata Puadi, Bawaslu menilai informasi yang dikecualikan dalam tahapan kampanye dan dana kampanye itu menyangkut informasi hak-hak pribadi warga negara telah diberikan persetujuan oleh calon anggota DPD berdasarkan dokumen persetujuan akses laporan dana kampanye kepada Bawaslu.

"Dokumen persetujuan akses laporan dana kampanye kepada Bawaslu beserta seluruh informasi di dalamnya seharusnya menjadi informasi yang dikuasai oleh Bawaslu. Sebab, dokumen tersebut diwajibkan untuk disampaikan kepada Bawaslu secara tertulis oleh calon anggota DPD," katanya.

"Akan tetapi pada faktanya hingga saat ini dokumen terkait hal tersebut belum disampaikan kepada Bawaslu," sambungnya.

Sementara itu, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia, menyoroti Sistem Informasi Kampanye dan Dana Kampanye (Sikadeka) KPU.  Menurutnya, keberadaan Sikadeka justru merumitkan partai politik peserta pemilu 2024. "Maksud saya kita membangun sistem, kan, tujuannya memudahkan kita, sebagai alat bantu, bukan malah menyulitkan," kata Doli saat diwawancara di Gedung DPR, Selasa (16/01/2024).

Menurut Doli, lucunya sanksi bagi yang tidak lapor dana kampanye bisa tidak dilantik menjadi anggota DPR. "Ini alat bantu, tapi merepotkan," tuturnya.

Ahmad Doly Kurnia, Ketua Komisi II DPR RI. (Ghivary) 

Dia menyarankan agar Sikadeka hanya ditujukan bagi mereka yang berlatar belakang pengusaha dan partai yang jumlah dana kampanyenya besar. "Maksudnya mungkin itu penting buat pengusaha, atau yang latar belakang jumlah (dana kampanyenya) cukup besar," ujarnya.

Doli menyarankan kepada KPU agar penggunaan Sikadeka kembali ke hakikatnya sebagai alat bantu.  "Maksud saya, sistem-sistem ini harus kembali ke hakikatnya, ke filosofisnya, mereka ini alat bantu yang memudahkan kita. Jangan tambah membuat kita rumit," ucapnya.

Doli juga menegaskan sangat penting bagi KPU dan Bawaslu untuk terus berkoordinasi terkait laporan dana kampanye peserta Pemilu 2024. Hal tersebut, ujar Doli sangat penting karena bila terdapat miss didalamnya bisa langsung untuk dirumuskan permasalahan dari temuan dana kampanye tersebut. "Ya penting untuk berkoordinasi dari KPU dan Bawaslu supaya tidak ada miss nantinya," ujarnya.

Ramai Indikasi Kecurangan Dana Kampanye, Sepi Penindakan

Terdapat indikasi kecurangan dalam laporan dana awal kampanye (LADK) peserta Pemilu 2024 lantaran dalam laporannya ke KPU tidak mencerminkan kesesuaian antara penerimaan maupun pengeluaran dana dengan realitas akitivitas kampanye. Patokannya, bisa dijumpai bagaimana banyaknya baliho dan alat peraga kampanye lain yang bertebaran di jalanan atau kampanye melalui media sosial yang tentu menelan biaya tidak sedikit. 

Dimulai dari kejanggalan LADK paslon capres-cawapres, Perludem dan ICW menemukan adanya aliran dana lain kampanye yang tidak dilaporkan seluruh paslon. Yang paling mencolok adalah paslon 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang melaporkan sumber penerimaan dana nihil alias Rp0 dalam LADK-nya. Namun setelah ditelusuri, ditemukan sejumlah dana kampanye yang sebenarnya termasuk sumbangan hingga ratusan juta. 

Ratusan juta dana kampanye Anies-Muhaimin itu ditemukan dalam aktivitas kampanye di media sosial. Berdasar penelusuran di platform META dalam kurun waktu 16 November hingga 15 Desember 2023, ditemukan sebanyak 15 akun yang terafiliasi dengan paslon Anies-Muhaimin. Di antaranya ada dua akun yang cukup masif kampanyenya seiring anggaran besar yang dikeluarkan, yakni akun ‘Unboxing Anies’ dengan dana Rp171 juta lebih dan akun ‘Aksi Tanggap Anies’ yang berbiaya Rp98 juta lebih. 

Di kubu lain, iklan kampanye media sosial paslon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka berjumlah lebih besar. Sedikitnya ditemukan 22 akun yang menggarap kampanye paslon 02 itu dengan estimasi anggaran sebanyak Rp778 juta lebih. Terdapat dua akun dengan porsi dana ratusan juta, semisal akun ‘Indonesia Adil Makmur’ yang mengeluarkan Rp438 juta dan infobox media Indonesia sebesar Rp151 juta. Untuk nama yang terakhir disebut merujuk perusahaan periklanan yang langganan menggarap proyek soal kampanye politik. 

Adapun yang paling banyak iklan di media sosial adalah paslon Ganjar Pranowo dan Mahfud Md dengan nilai sebesar Rp829 juta. Ada 21 akun yang menggarap iklan kampanye paslon 03 ini dan terdapat 4 akun dengan nilai iklan sampai ratusan juta. Terbesar adalah akun ‘Ganjar Gaspol’ dengan dana Rp208 juta. 

Mayoritas iklan kampanye di medsos tersebut berasal dari akun pendukung atau relawan. Jika iklan di media sosial tersebut murni dari inisiatif pendukung atau relawan, maka seharusnya dimasukan dalam kategori sumbangan dana kampanye dalam bentuk barang yang berasal dari pihak lain: perseorangan, kelompok, atau badan usaha. Namun, seluruh paslon tidak sama sekali memasukkan dana iklan kampanye kategori itu dalam LADK. 

Kejanggalan yang sama terjadi pada LADK partai politik. Berdasarkan rilis KPU RI per 9 Januari 2024, penerimaan LADK dari semua partai masih berstatus belum lengkap dan belum sesuai. Ditambah, total penerimaan dan pengeluaran beberapa partai juga tidak sesuai dengan yang terlihat di lapangan. 

Semisal PSI yang melaporkan pengeluaran tercatat hanya Rp180.000 dan penerimaan Rp2 miliar lebih pada tenggat waktu pelaporan LADK, 7 Januari lalu. Dana pengeluaran ratusan ribu dalam laporan diklaim sudah menghitung laporan dari seluruh caleg sebanyak 580 orang. KPU sempat merespons LADK partai besutan Kaesang Pangarep ini sebagai laporan yang tidak logis. Adapun jika merujuk harga pembikinan baliho berukuran 3x4 di salah satu jasa percetakan kenamaan di Jakarta, satu baliho dibanderol Rp180 ribu. Itu belum ditambah biaya pemasangan yang ditaksir lebih dari Rp200 ribu. 

Belakangan, PSI mengoreksi pengeluaran dan penerimaan partainya, menyusul ada mekanisme perbaikan dari KPU. Total pengeluaran lantas naik drastis menjadi Rp24 miliar lebih dan penerimaan dana mencapai Rp33 miliar. 

Peneliti Perludem, Kahfi Adlan Hafiz mensinyalir ada ketidakjujuaran PSI dalam melaporkan LADK, baik yang dilaporkan saat awal maupun revisinya. Kejanggalan yang dirasakannya merujuk pada data bahwa seluruh caleg sudah melaporkan dana kampanyenya. “Itu kan aneh. Di pasca perbaikan, jumlah calegnya yang melaporkan sama dengan sebelumnya yaitu 100 persen. Tapi angkanya berubah signifikan (pengeluaran dan penerimaan). Nah ini apakah ada indikasi kecurangan,” kata Kahfi kepada Law-justice, Rabu (17/1/2024). 

Penerimaan dan Pengeluaran Laporan Awal Dana Kampanye/LADK Partai Politik dalam Pemilu 2024 (14 Januari 2024). (Databoks)

Kahfi menduga indikasi kecurangan bukan hanya dilakukan PSI, tetapi hampir setiap partai memiliki pola yang sama dalam pelaporannya. Sebab, dari segi penerimaan dana kampanye, terdapat beberapa partai politik yang dalam LADK perbaikan berubah besaran angka penerimaan dan pengeluaran dana kampanyenya. 

Seperti Partai Golkar yang dalam LADK perbaikannya melaporkan perubahan besaran penerimaan menjadi Rp 10.018.314.565 atau lebih besar dibanding penerimaan sebelumnya sebesar Rp. 10.197.613.902. Namun, besaran jumlah pengeluaran Partai Golkar sama sekali tidak berubah. Kedua, ada PKS yang mengoreksi besaran pengeluaran dana kampanyenya yang semula Rp 7.833.307.791 pada LADK awal, menjadi Rp8.243.335.838 setelah perbaikan. Juga, PAN yang mengubah jumlah penerimaan menjadi Rp29.821.500.000 dari yang sebelumnya Rp29.822.500.000. 

Kata Kahfi, ditemukan pula partai politik yang jumlah penerimaan dan pengeluarannya tidak berubah, tetapi jumlah calon anggota DPR yang menyampaikan LADK-nya bertambah ataupun berkurang. Semisal Partai Buruh yang pada LADK sebelum perbaikan menyisakan 2 caleg yang belum melaporkan dana kampanye. Namun, saat 2 caleg itu melaporkan dana kampanyenya, jumlah penerimaan dan pengeluaran tidak berubah di angka sebesar Rp4,21 miliar (penerimaan) dan Rp3,74 miliar (pengeluaran).

Sedangkan, Partai Garuda dan Partai Demokrat yang pada LADK awal tidak ada satupun calon anggota DPR yang tidak menyampaikan LADK, dalam LADK perbaikan berubah dengan adanya satu orang calon yang tidak melaporkan tetapi tidak mengurangi jumlah penerimaan maupun pengeluaran dana kampanye yang tertera dalam LADK perbaikan. 

Yang cukup mencolok selain PSI, kata Kahfi adalah Partai Gelora. Soalnya, melaporkan dana kampanye dari 110 orang yang sebelumnya nihil pelaporan, tetapi lagi-lagi tidak ada perubahan nominal penerimaan dan pengeluaran. “Ini kan aneh karena 110 orang ini kan signifikan yang harusnya pun berubah jumlah dananya. Nah ini inidikasi ketidakjujuran,” tutur Kahfi.  

Menurut Kahfi, Bawaslu mesti menindaklanjuti kejanggalan LADK sejumlah parpol ini. Di sisi lain, KPU sebenarnya bisa mengenakan sanksi diskualifikasi kepada peserta pemilu jika tidak kunjung bisa melengkapi LADK sesuai tenggat waktu sesuai UU Pemilu. Dalam beleid hukum itu diatur bahwa tenggat pelaporan LADK adalah 14 hari sebelum rapat umum KPU, yakni pada 7 Januari lalu. Saat tenggat waktu tersebut, tercatat 18 partai atau seluruhnya berstatus tidak lengkap dan tidak seuai LADK-nya. 

Namun, KPU menerbitkan PKPU 18/2023 tentang Dana Kampanye yang memberikan mekanisme perbaikan selama 5 hari dari tenggat waktu awal, yakni terakhir pada 12 Januari lalu. Hasilnya mayoritas partai melengkapi LADK-nya, tetapi ada juga beberapa partai seperti Gelora, PPP dan PSI yang laporan dana kampanyenya  bermasalah. 

Kahfi menekankan PKPU tersebut bertentangan dengan UU Pemilu yang berdampak pada sulitnya pengenaan sanksi diskualifikasi pada perserta pemilu yang sebenarnya melanggar peraturan perundang-undangan. Menurutnya, PKPU yang mengatur klausul ‘perbaikan’ LADK itu semacam penyelundupan hukum. Semestinya KPU bisa saja membatalkan kepersetaan pemilu bagi seluruh parpol sejak awal lantaran belum melengkapi LADK.

“Kalau masih belum lengkap atau belum sesuai, artinya itu tidak bisa dianggap sebagai sudah menyerahkan laporan awal dana kampanye. Kalau dianggap tidak melaporkan dana awal kampanye karena belum lengkap, maka peserta pemilu harus dapat sanksi diskualifikasi. Artinya KPU melanggar regulasi yang mereka bikin,” kata Kahfi. 

Sedangkan, KPU tetap dalam posisi bahwa seluruh parpol dinyatakan lanjut sebagai peserta pemilu, kendati bermasalah LADK-nya. “Kalau diskualifikasi artinya tidak melaporkan LADK, tapi kan seluruh partai sudah melaporkan,” kata Idham saat dihubungi Law-justice, Kamis (18/1/2024).

Menurut Kahfi, alasan KPU tidak bisa tegas bertindak bisa dilihat dari rekam jejak kinerja KPU selama ini. Penyelenggara pemilu dinilai sudah tidak besar komitmennya menyelenggarakan pemilu yang sesuai aturan perundangan. “KPU ini kan banyak problem seperti verifikasi faktual partai politik, itu ada kecurangan. Kemudian soal ketentuan keterwakilan 30 persen caleg perempuan, juga didegradasi dengan permainan angka yang sampai hari ini meski sudah ada putusan MA dan komisioner KPU sudah di sidang etik, tapi tetap saja bahwa ada dapil masih belum 30 persen keterwakilan caleg perempuan, tapi justru diloloskan partai-partai politik di dapil itu,” ujar Kahfi.

Selain itu, Kahfi juga menyoroti preseden buruk soal sikap KPU seperti wacana penghapusan dana sumbangan kampanye. Menurutnya, mekanisme pelaporan melalui Sikadeka sebagai siasat dalam pengaburan dana sumbangan kampanye yang sarat permainan. Sebab, tetap muncul indikasi kecurangan pelaporan, termasuk dana sumbangan dalam mekanisme Sikadeka.

“Nah ini kan kejadian ketika LADK-nya dibiarkan saja oleh KPU ketika ada permasalahan belum lengkap dan belum sesuai. Sehingga partai politik nanti akan anggap enteng, kalau mereka tidak lapor pun ya tidak masalah berpikirnya karena enggak akan dihukum,” katanya. 

Dia mewanti-wanti adanya rekayasa dalam LADK melalui Sikadeka layaknya sistem Sipol saat verifikasi partai politik beberapa waktu lalu. Sebab, KPU lah yang memegang sistem dan teknologinya sehingga potensi penyelewengan terbuka lebar. “Apalagi KPU sudah statement bahwa tidak akan berikan akses yang luas kepada Bawaslu untuk mengawasi pendanaan kampanye melalui Sikadeka. Itu yang jadi lubang untuk melakukan ketidakjujuran,” tutur dia. 

Peneliti Divisi Korupsi Politik ICW Seira Tamara menekankan semestinya pelaporan LADK berjalan secara transparan dan akuntabel. Soalnya, dana kampanye rentan berasal dari sumber dana terlarang. Akan tetapi, penyelenggara pemilu justru tidak mengarahkan pelaporan LADK sesuai nilai keterbukaan, tetapi sebaliknya--sarat manipulasi. 

“Rincian laporan itu harusnya ada karena dengan itu kita akan mengetahui tidak sekedar angka saja, namun kita bisa mengetahui pihak mana yang mendominasi pendanaan kampanye. Hal itu penting untuk membuat keputusan berdasarkan informasi lengkap yang sudah didapat,” tutur Seira saat dihubungi Law-justice, Rabu.

Menjelang Pemilu 2024, sejumlah partai politik (parpol) melaporkan sejumlah dana kampanye yang beragam dengan PDIP menjadi partai yang memiliki dana kampanye tertinggi.

Beberapa waktu lalu, dana kampanye dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sempat menjadi perbincangan karena jumlah dana kampanye PSI yang semula berjumlah Rp 180.000 namun dana politik tersebut kemudian direvisi oleh PSI dengan dalih salah input. 

Setelah direvisi dana kampanye PSI mengalami peningkatan menjadi Rp 24 Miliar, hal tersebut membuat publik banyak yang mencibir PSI terkait dana kampanye tersebut.

Anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera. (PKS)

Sementara itu, Anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera menyebut selain dana kampanye ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh KPU pada Pemilu 2024. Mardani mengatakan terdapat dua aplikasi yang perlu menjadi perhatian KPU yakni SIKADEKA dan SIREKAP, untuk perlu ditelusuri secara lebih jauh.

Politisi PKS itu menyatakan sangat penting untuk dilakukan audit terhadap proses simulasi didalamnya supaya rangkaian dan pelaksanaan Pemilu 2024 bisa berjalan lancar.

"Saya mengkritik penggunaan aplikasi yang digunakan pada Pemilu 2024 nanti. Mengapa? Aplikasi tsb hingga sekarang belum dilakukan audit serta simulasi terhadap proses didalamnya," kata Mardani saat dikonfirmasi, Kamis (18/01/2024). 

Mardani menyatakan bila hal tersebut penting untuk dilakukan karena khawatir Pemilu 2024 dapat terjadi manipulasi dan hal tersebut perlu untuk diantisipasi.

Menurutnya, pengawasan tersebut penting dilakukan dengan melakukan peninjauan kembali pada aplikasi-aplikasi yang dipakai KPU dalam pelaksanaan Pemilu 2024. "Jika pengawasan terhadap aplikasi tersebut minim, bisa muncul kekhawatiran tersendiri akan manipulasi dalam Pemilu. Saya mendorong harus dilakukan peninjauan kembali," urainya.

Satgas Gakumdu Mandul?

Satgas Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) menerima 21 laporan dugaan tindak pidana pemilu. Laporan yang diterima Bawaslu itu diteruskan ke Polri untuk ditindak lanjuti.

"Dari 114 ini ada 21 yang diduga sebagai tindak pidana Pemilu, selanjutnya diteruskan kepolisian," kata Ketua Satgas Gakkumdu dari Polri Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro kepada wartawan, Jumat (19/1/2024).

Dari 21 kasus itu, ada 13 yang masih dilakukan penyidikan. Sementara dua kasus dihentikan dan enam kasus lainnya telah divonis. Kasus dugaan pidana pemilu terbanyak ialah soal pemalsuan saat proses pendaftaran, yakni sebanyak delapan kasus.

"Sementara money politics ada enam kasus, kemudian membuat tindakan keputusan yang merugikan peserta pemilu dua kasus," tuturnya.

Kasus lainnya yakni soal kampanye di tempat ibadah atau pendidikan sebanyak 1 kasus, pihak yang dilarang kampanye atau tim kampanye 1 kasus, kampanye melibatkan yang dilarang 2 kasus, dan 1 kasus perusakan alat peraga kampanye.

"Tindak pidana pemilu laporannya ke Bawaslu ataupun temuan dari Bawaslu manakala polisi, jaksa untuk bersama melaksanakan pembahasan itu dinyatakan tindak pidana pemilu, baru Bawaslu meneruskan menjadi laporan polisi kepolisian untuk proses lebih lanjut. Ada tenggang waktu dan batasan waktu terkait beberapa tindak pidana pemilu," ujarnya.

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti. (Kompas)

Ahli Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Bivitri Susanti berdasarkan aturan hukum pemilu, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) hanya dapat memberikan sanksi pada peserta pemilu, sementara netralitas ASN sudah diatur dalam aturan hukum masing-masing lembaga. Namun ia memandang saat ini hukum sering dijadikan sebagai alat politik ketakutan oleh pihak tertentu. Padahal dampaknya dalam kepemiluan berkepanjangan, karena setelah pemilu terdapat sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), dalam proses itu MK hanya mengecek pelanggaran pemilu yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

“Jadi kalau teman-teman melihat kecurangan harus segera rekam, catat, dan laporkan, tidak usah menunggu hasil pemilu. Karena siapapun yang menang, jika terlalu banyak kecurangan berarti pemilunya tidak punya legitimasi,” terangnya.

Padahal menurut Bivitri esensi politik dari pemilu adalah legitimasinya. Ia juga mengingatkan untuk terus melakukan pengawasan terhadap pemerintah, karena setelah proses pemilu selesai sampai digantinya presiden pada 20 Oktober mendatang terdapat jeda pemerintahan dalam masa transisi (Lame Duck). Rentang waktu itu pemerintahan tidak boleh membuat kebijakan yang berpengaruh bagi negara.

“Jadi masih banyak peristiwa hukum yang akan terjadi antara Juni sampai Oktober. Akan ada sengketa-sengketa susulan dengan menggunakan segala cara,” ujarnya.

Dampak besar dari banyaknya aspek hukum yang tidak jelas menurut Bivitri adalah terciptanya pemerintahan yang rapuh. Untuk itu ia mengajak masyarakat untuk mengawasi proses pemilu secara langsung, melalui platform pengawasan pemilu yang sudah banyak disediakan oleh masyarakat sipil.

Ancaman delegitimasi Pemilu akibat perilaku penyelenggara yang tidak mampu tegas dalam menindak kecurangan tidak bisa diabaikan. masih ada waktu untuk memperbaiki kinerja. Penyelenggara Pemilu, Pemerintah dan penegak hukum harus bisa memastika independensi dan kenetralan di hadapan rakyat. 

ratusan triliun uang rakyat yang digelontorkan untuk penyelenggaraan Pemilu terancam sia-sia, jika akibat kinerja penyelenggara yang mengecewakan lantas hasilnya tidak legitimate. Pemilu harus bisa diselenggarakan sebagai satu-satunya mekanisme demokrasi untuk suksesi kepemimpinan nasional. 

Rohman Wibowo

Ghivary Apriman

 

 

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar