China Gunakan Pasukan Hacker untuk Hadapi Ancaman Asing

Jum'at, 19/01/2024 16:45 WIB
Bendera China. (Foto: Antara/Wikimedia Commons)

Bendera China. (Foto: Antara/Wikimedia Commons)

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah China merekrut para hacker terbaik untuk membentengi sistem pertahanan negaranya sekaligus mengintip kelemahan lawan. Langkah ini diambil menyusul naiknya eskalasi konflik baik di tingkat regional maupun global.

Rekrutmen pasukan hacker secara massif ini menyusul pengesahan undang-undang keamanan siber baru di China.

Melansir Newsweek, Jumat 18 Januari 2024, para ahli di perusahaan swasta kini dicomot untuk dijadikan hacker. Mereka diberi tugas menganalisa dan melaporkan celah pada perangkat lunak atau produk yang digunakan dalam waktu 48 jam setelah ditemukan adanya kerentanan.

Pemerintah China juga akan memberikan imbalan besar kepada para hacker jika berhasil menemukan kerentanan keamanan siber dalam perangkat lunak milik asing. Pada saat yang sama, China juga mengerahkan para insinyur keamanan siber untuk fokus menyelidiki kelemahan sistem asing yang dapat dieksploitasi.

Menurut analis keamanan siber Dakota Cary, kini setiap unit bisnis yang beroperasi di wilayah China harus melaporkan kelemahan pengkodean kepada pemerintah. Hal ini untuk mengambil langkah lebih lanjut mengatasi kerentanan yang ada.

Dakota Cary meyakini persyaratan tersebut telah mendorong kolaborasi dan persaingan di antara lembaga-lembaga tersebut, menghasilkan upaya untuk saling melampaui.

Celah dalam kode perangkat lunak atau situs web dapat membuka peluang peretas mengakses sistem komputer secara remote. Raksasa teknologi seperti Google dan Facebook membayar peretas topi putih untuk menemukan titik-titik ini, yang berpotensi merusak perangkat lunak.

Menurut Cary, sebelum diberlakukannya undang-undang tahun 2021, peneliti China aktif berpartisipasi dalam ekosistem global keamanan perangkat lunak. Mereka berinteraksi dengan perusahaan seperti Microsoft dan Apple melalui sejumlah program dan berkontribusi pada identifikasi serta penyelesaian kerentanan perangkat lunak.

Namun, legislasi keamanan siber yang lebih ketat telah menempatkan pemerintah China di garis depan proses ini, mencerminkan strategi lebih luas Beijing untuk memusatkan kontrol terhadap catatan keamanan siber dan jenis data teknologi informasi lainnya.

Industri keamanan siber China yang berkembang sendiri berarti Beijing harus melindungi sistemnya sendiri dari serangan asing. Tetapi implikasi dari hal ini sangat beragam. Hacker China yang dapat mengidentifikasi kerentanan sistem juga dapat diarahkan pada jaringan luar negeri, menjadikannya pasukan pribadi peretas yang melayani tujuan ganda.

China memiliki lebih dari 170.000 hacker pada tahun 2021. Sebagian besar adalah pria muda yang lahir antara 1990 dan 2009. Data ini berdasarkan hasil penelitian forum keamanan siber China FreeBuf dan perusahaan keamanan internet 360 dan QAX.

(Tim Liputan News\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar