Muhammad Sutisna, Direktur Maritime Strategic Center, Analis Pertahanan & Maritim Indonesia

Ganjar Pranowo dan Konsep Pembangunan Kekuatan TNI AL

Selasa, 16/01/2024 16:30 WIB
Kapal Cepat Rudal Buatan PT.PAL pesanan TNI AL (Dok.TNI)

Kapal Cepat Rudal Buatan PT.PAL pesanan TNI AL (Dok.TNI)

Jakarta, law-justice.co - Pembangunan kekuatan TNI, pada umumnya dilakukan berdasarkan rencana strategis (renstra) yang dibuat oleh Pengguna kekuatan, misalnya TNI AL. Capres Nomor Urut 3 Ganjar Pranowo telah menyusun konsep tersebut berdasarkan kebutuhan dan tingkat ancaman.

Hal itu tertuang dalam debat capres ketiga beberapa waktu lalu. Secara mekanisme, konsep Renstra yang telah disusun selanjutnya diajukan ke Panglima TNI, dan Panglima TNI meneruskan usulan dari TNI AD, TNI AL, TNI AU ke Menteri Pertahanan.

Sementara, Menteri Pertahanan akan meneruskan usulan pengadaan alutsista ini ke Menteri Keuangan. Selanjutnya usulan tersebut akan dibawa ke Rapat Kabinet untuk persetujuan Presiden. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa pengadaan alutsista TNI tersebut bersifat bottom up, artinya pengadaan atau pembelian alutsista tersebut berdasarkan usulan dari bawah, dari pengguna alutsista.

Komando Armada RI (Koarmada) sebagai Komando Utama Operasional beserta jajarannya sebagai pengguna alutsista Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT), yang terdiri dari Kapal, Pesawat Udara, Pasukan Marinir, Pasukan Khusus, dan Pangkalan, dalam menyiapkan kebutuhan alut sistanya, diperhitungkan berdasarkan perkembangan lingkungan strategis, dan kemungkinan ancaman yang akan dihadapi.

Jadi Indonesia membangun kekuatan militer didasarkan pada threat assessment terkait dengan ancaman, siapa pelakunya, dari negara mana, bagaimana bentuk dan komposisinya, dan sebagainya. Hal itu kemudian dikaji untuk ditentukan solusinya.

Kotama Operasional akan mengajukan kebutuhan alutsista berdasarkan spesifikasi teknis (spektek), dan spesifikasi operasi (spekops) alutsista yang akan digunakan. Setelah itu Koarmada akan menyusun Program Pembangunan Kekuatan (probangkuat) TNI AL, Bersama dengan Mabes TNI AL. Probangkuat TNI AL, Bersama TNI AD, dan TNI AU, dipadukan di Mabes TNI. Setelah itu Mabes TNI, mengajukan kebutuhan 3 matra tersebut ke Kementerian Pertahanan, dan berlanjut hingga pengajuan dalam rapat kabinet yang dipimpin presiden.

Pengadaan alutsista seperti kapal perang, membutuhkan waktu cukup lama. Satu fregat dari mulai membangun keel laying sampai kapal siap diuji coba di laut (sea trial), membutuhkan waktu sekitar 3,5 tahun, dengan rincian 3 tahun diproduksi, 6 bulan dites semua peralatan, jika sudah bagus, baru diserahkan ke pengguna. Jadi, membeli kapal baru tidak akan bisa dalam kurun waktu cepat. Sebagai contoh; Laksamana TNI (Purn) Bernard Kent Sondakh (Kasal periode 2002-2005) pernah membeli kapal Fregat Sigma Class dari Belanda pada bulan Desember tahun 2004. Kapal tersebut kemudian baru diterima TNI AL pada tahun 2007.

Indonesia sebaiknya memproduksi sendiri alutsistanya, dengan memberdayakan industri pertahanan dalam negeri. Dengan demikian Indonesia memiliki nilai lebih, kita punya deterrent value yang absolut. TNI AL memiliki daya gentar, sehingga membuat negara lain takut sama Angkatan Laut Indonesia.

Pembuatan 6 kapal Fregat dari Belanda tersebut, yang dilanjutkan dengan pembuatan di dalam negeri (PT. PAL), sarat dengan daya gentar tersebut. Demikian juga dengan pengadaan 3 Kapal Selam buatan Korea Selatan, yang pengerjaannya juga secara Transfer of Technology (TOT) dengan memberdayakan industri pertahanan (PT. PAL). Kedua jenis kapal fregat dan kapal selam tersebut merupakan hasil rencana strategis TNI AL yang sedang berjalan, namun terhenti ditengah jalan karena adanya kebijakan baru, berupa pembelian kapal dari luar negeri.

Rencana Kementerian Pertahanan di bawah komando Prabowo Subianto membeli 8 kapal fregat dari Italia yang tidak pernah ada Renstra TNI AL, membuat Bernard Kent Sondakh bertanya-tanya. Pasalnya pembelian kapal (bekas) dari negara asing, seperti Fregat Tribal Class dari Inggris, Fregat Van Speijk dari Belanda, dan 39 kapal PFK dari Jerman, memiliki resiko tinggi dalam pengoperasian dan perawatannya. Di samping dibatasi dalam penggunaan sistem senjatanya, juga rawan terhadap embargo dan pembatasan operasionalnya. Bernard mengatakan, cara pembelian yang dilakukan Kemenhan dengan membeli 8 kapal sekaligus merupakan perintah dari atas (top-down), dan tidak melalui kajian yang komprehensif, sebagaimana mestinya dalam pembuatan/pembelian kapal.

Pembelian kapal semacam ini dapat diartikan sama dengan membeli barang bekas. Walaupun kita punya value, tapi tidak absolute. Kedua, kita tidak bisa menghentikan akselerasi dari perubahan teknologi sistem senjata, yang sangat cepat. Misalnya; kita kontrak 2021, tahun 2026 mungkin sudah berubah, menjadi lebih modern.

Dalam pengadaan alutsista TNI AL, selalu direncanakan dalam beberapa tahapan; Jangka Panjang (20 tahun), Jangka Menengah (5 tahun), dan Jangka Pendek (1 tahun), yang umumnya dikenal dengan konsep Minimum Essential Forces (MEF). Sebelum konsep MEF lahir, berpuluh tahun Angkatan Laut dipasung dengan konsepsi KEE (Kecil Efektif Efisien).

Konsep ini kemudian dirubah menjadi BKP (Besar Kuat Profesional), dan akhirnya berubah lagi menjadi MEF. Dalam perkembangannya konsep employment dan deployment dengan MEF dirasakan kurang maksimal, karena ALRI harus dibangun dengan konsep Besar, Kuat dan Profesional. Dengan demikian, kita harus membangun dan mengembangkan kekuatan ALRI secara Optimum, sehingga pada Renstra TA 2020-2024, konsepsi MEF ini dirubah menjadi ROF/Ready Operational Force.

Bagaimana konsep pembangunan kekuatan TNI AL setelah tahun 2024, atau setelah pergantian presiden RI? Pembangunan alutsista TNI AL harus menghilangkan pengadaan yang bersifat top-down, dalam situasi damai sebaiknya pengadaan alutsista bersifat bottom-up. Dalam pengadaan kapal, jangan membeli kapal bekas, mengingat karakteristiknya tidak sesuai dengan kebutuhan operasi di Indonesia, dan sulit dalam urusan maintenancenya.

Budaya membangun kapal di dalam negeri harus dihidupkan kembali, berdayakan industri jasa maritim dengan Kembali ke konsep pemberdayaan industri pertahanan, dengan membangun kapal produksi dalam negeri. Terakhir, mempersiapkan pembangunan kekuatan TNI AL Tahun 2045 menuju Indonesia maju, dengan menggunakan konsep Optimum Essential Forces, yang dilakukan dengan 2 Tahapan Perencanaan 2025-2035, dan 2035-2045.***

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar