Peneliti Ahli Utama BRIN, Prof. Dr. R. Siti Zuhro, M.A

Demokrasi Dibajak Politik Dinasti

Senin, 27/11/2023 22:51 WIB
Peneliti Ahli Utama BRIN, Siti Zuhro mengkritisi lahirnya dinasti politik Jokowi.

Peneliti Ahli Utama BRIN, Siti Zuhro mengkritisi lahirnya dinasti politik Jokowi.

Jakarta, law-justice.co - Siti Zuhro tidak habis pikir dengan situasi politik Indonesia menjelang Pemilu 2024. Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu memandang para elite politik menghalalkan segala cara untuk menang kontestasi lima tahun sekali. Puncaknya, ialah terbentuk dinasti politik yang merupakan akumulasi tindakan elite politik untuk kepentingan segelintir kelompok.

Siti menitikberatkan lahirnya dinasti politik keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang klimaksnya menjadikan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto--tak terlepas dari lemahnya partai politik pengusung. Alih-alih partai politik bisa menentukan sikap demokratisnya untuk memilih kandidat berkualitas, tetapi yang terjadi parpol justru disandera kepentingan elektoral sesaat.

“Partai politik itu kehilangan otonominya. Maka koalisinya hanya atas dasar kepentingan sesaat, bukan karena platform partai atau ideologi partai,” kata Siti kepada Law-justice, Jumat (24/11/2023).

Ia tidak menafikan bahwa konstelasi politik hari ini terbentuk karena adanya intervensi kekuasaan melalui tangan Jokowi. Tetapi secara prinsip, parpol lah yang membiarkan dan melanggengkan intervensi itu sehingga Jokowi leluasa memainkan politik dinasti yang melahirkan dinasti politik.

“Adanya persekongkolan antar elite. Jadi, mereka belum memberikan isi substansi untuk membangun pra kondisi,” ujar dia.

Pra-kondisi yang ia maksud adalah bagaimana cerminan politik jelang pemilu. Para elite parpol seharusnya membangun politik yang berkualitas, politik yang mencerminkan parpol sebagai representasi demokrasi. Namun, pra-kondisi politik mulai dari wacana tiga periode hingga penundaan Pemilu 2024 justru tidak disikapi jelas oleh para elite parpol.   

Siti lantas mewanti-wanti asas demokrasi dalam politik yang seharusnya ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’ bakal nihil pada Pemilu kali ini. Sebab, yang bakal terjadi hanya pertarungan antar elite politik. Pemenang kontestasi kelak sejatinya bukan kehendak rakyat.

“Artinya serius bahwa kita sedang menyongsong pemilu yang jauh lebih rumit dan kecenderungan segala cara menghalalkan segala cara untuk menang,” kata dia.  

Menurutnya, lahirnya dinasti politik yang dibangun Jokowi mengafirmasi watak politik yang digawangi elite parpol, setelah beberapa dinasti politik semisal dinasti politik keluarga Ratu Atut Chosiyah di pemerintah Provinsi Banten. Semestinya, dalam konteks Pilpres, masing-masing parpol melangsungkan konvensi yang sekiranya dapat merepresentasikan demokrasi internal.

“Kalau dinasti politik makin marak, artinya demokrasi kita gagal, demokrasi sedang dibajak karena ada anomali. Jadi bukan menghasilkan kelembagaan partai politik suksesi yang berkualitas. Tapi justru menambah jumlah politik dinasti yang dilakukan baik di parpol, pilkada maupun pilpres,” tuturnya.  

Ia menyoalkan dinasti politik Jokowi yang begitu problematik. Intervensi kekuasaan Jokowi berhasil menggoyangkan kekuatan partai, semisal yang dialami Golkar tatkala ketua umumnya, Airlangga Hartarto diperiksa Kejaksaan Agung dalam kasus korupsi minyak. Lalu, yang sangat fenomenal ketika intervensi kekuasaan ke Mahkamah Konstitusi ihwal gugatan perkara batas usia capres-cawapres yang menjadi titik tolak Gibran bisa maju pilpres.

“Ini bukan masalah anak muda, tapi anak muda yang anaknya presiden. Ini yang menodai kualitas demokrasi kita yang pada dasarnya memberi peluang yang sama kepada seluruh warga negara yang memiliki kualifikasi,” ucap Siti.

Di sisi lain, intervensi kekuasaan mencoba merongrong kekuatan pesaing semisal parpol yang tergabung dalam koalisi perubahan. Partai NasDem yang menjadi anggota koalisi seolah disasar kredibilitasnya, seiring beberapa kadernya terjerat kasus korupsi. Dari kalkulasi politik, upaya memanfaatkan politik-hukum ini dinilai bisa menggerus legitimasi seorang Anies Baswedan untuk bertarung dalam pilpres.

“Kita tidak mendapatkan kompetisi kontestasi yang sehat, malahan kompetisinya sangat tidak setara. Ada anak emas karena kekuatan istana, ada anak pinggiran yang rasanya dijegal melulu,” kata Siti.

Siti menegaskan Gibran belum layak untuk maju dalam kontestasi politik sekelas pilpres. Dalam hitungan karier politik, kata dia, seharusnya Gibran terlebih dahulu membuktikan mampu menjabat Wali Kota Solo secara paripurna, baik dari segi periode jabatan dan dampaknya bagi masyarakat Solo. Ia mencontohkan Gibran layaknya Jokowi yang juga melalui lompatan karier secara cepat dari level, wali kota, gubernur hingga presiden.

“Secara politik itu sangat tidak baik. Pemimpin NKRI (jangan) lompat-lompat sikap politiknya. Karena (pemimpin) butuh pengalaman, butuh pengetahuan, butuh wisdom. Enggak bisa hanya atas nama anak muda (Gibran maju cawapres). Sebab harus dilihat semangatnya, kepemimpinannya, manajerialnya dan pengetahuannya,” tutur dia.

"Secara hukum, ini diragukan keabsahannya oleh pakar hukum. Karena dianggap melanggar konstitusi. Bayangkan bagaimana kita menjalani pemilu yang akan berdampak hasilnya pada kualitas pemerintahan kita, tetapi kita abaikan proses yang tidak absah itu karena semata-mata intervensi kekuasaan," ia menambahkan. 

Kini, demokrasi kadung dibajak dan rakyat berpotensi jadi korbannya. Maka, kata Siti, perlu adanya upaya penyadaran agar rakyat bisa melihat pertarungan politik yang terjadi. Satu sisi, muncul tiga koalisi yang saling bertarung demi kekuasaan semata. Lalu, di sisi lain terbentuknya dinasti politik yang memaksakan hukum demi dapat mencalonkan Gibran sebagai cawapres.  

Pada akhirnya, dia mewanti-wanti, rakyat harus sadar menggunakan hak politiknya secara tepat. Jika pakar hukum kebanyakan menilai tak adanya legitimasi Gibran sebagai cawapres, maka publik harus mengetahui hal tersebut. “Partisipasi genuine dari masyarakat itu harus dalam tingkat kesadaran yang tinggi. Maka rakyat lah yang harus diliterasi politiknya. Jadi bukan karena digerakkan karena vote buying. Ini harus diperangi dan ini peran media,” kata dia.

“Dan seharusnya lembaga survei itu menyempurnakan media sebagai pilar kelima dalam demokrasi itu dalam menjalankan tugasnya. Bukan lalu lembaga survei itu jadi corongnya pemodal,” imbuhnya.

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar