Jalan Politik Dinasti Putra Sulung Presiden Jokowi

Minggu, 29/10/2023 10:01 WIB
Gibran Rakabuming Raka. (Foto: Kompas.com)

Gibran Rakabuming Raka. (Foto: Kompas.com)

law-justice.co - Putra sulung Presiden Jokowi yang juga dikenal dengan nama Gobran Rakabuming Raka ini menjadi populer setelah mampu mencalonkan diri sebagai runner-up Prabowo Subianto. Naik daunnya Gibran tak lepas dari dukungan orang pertama di Indonesia saat ini.

Kehadiran Joko Widodo dalam kontestasi politik nasional awalnya dianggap dapat melemahkan sistem politik Indonesia. Namun satu per satu anggota keluarga mulai bermunculan yang berkuasa, mulai dari Wali Kota Solo, hingga Ketua Umum Partai, hingga Wali Kota Medan, bahkan hingga Wakil Presiden. Mengutip BBC Indonesia, Direktur Eksekutif Persatuan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Angraini, menilai hal tersebut menjadi awal terungkapnya sistem politik baru keluarga Jokowi.
 
“Dalam praktiknya, hal ini disesalkan bagi banyak tim. Karena sepertinya kekuasaan itu menggiurkan dan di sekitar Jokowi sulit untuk menahan godaan itu, kata Titi Direktur Eksekutif Perludem tentang dinasti terkait putra sulung Presdien Jokowi.
 
Meski begitu, putra sulung Presiden Jokowi ini mengaku tidak mendapat tekanan atau instruksi apa pun dari ayahnya saat hendak mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo saat itu. “Pada dasarnya, Anda tidak pernah memaksakan apa pun, Anda tidak pernah memerintahkan diri Anda untuk pergi ke sini, ke sana atau tidak. Semuanya gratis. Semuanya, yang penting mandiri,” kata Gibran.
 
Presiden Jokowi bukan berasal dari keluarga politisi dan juga bukan anak pemimpin Banteng Moncong Putih, Megawati Soekarnoputri. Namun karier politiknya menanjak sejak menjabat Wali Kota Solo dua periode (2005 dan 2010), yang tampaknya juga turut diikuti oleh putra sulungnya.
 
Gibran sebagai putra sulung Presiden Jokowi sepertinya paham betul dengan kehidupan politik ayahnya, saat ia berangkat dari Solo ke Jakarta 1, dan setelah menjadi orang pertama di Jakarta, putra sulung Presiden Jokowi ini bertahan selama dua tahun dan akhirnya mencoba peruntungan menjadi Calon Wakil Presiden pada Pilpres 2024.
 
Mirip jejak sang ayah, oleh karena itu, catatan penggalan setiap peristiwa dan langkah-langkah yang diambil untuk menentukan keputusan dan “gaya” politik yang tidak lagi berbeda, ditransfer dan dikomunikasikan dengan cara yang tidak mungkin jauh berbeda dari ayahnya.
 
Dan kemenangan pada Pilpres 2014 merupakan sebuah langkah penting dimana kesuksesan telah diraih, yang berarti tindakan-tindakan Jokowi saat itu akan diperhitungkan. "Kelihatannya dia orang yang lugu, tapi dia politisi yang sukses. Padahal, dalam wujudnya (yang sederhana), dia adalah politisi yang sukses," kata Hurriyah, Wakil Presiden Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia.

Menurut Hurriyah, kehebatan politik Presiden Jokowi adalah ia mempersiapkan jalan kebangkitan, padahal Jokowi sendiri dianggap sebagai penghambat segala keburukan sistem baru, termasuk sistem politik saat ini meliputi proses politik Presiden Jokowi terhadap persiapan jalan politik anak sulungnya.
 
Sementara itu, Pakar Komunikasi Politik Penanggung Jawab Kepresidenan (KSP), Ali Mochtar Ngabalin mengatakan, tak ada yang salah dengan kemunculan puta sulung Presiden Jokowi yaitu Gibran dan Bobby sebagai mantunya yang dekat dengan Presiden Jokowi di dunia politik.

Dia mengatakan, "Tidak ada seorang pun yang mempunyai wewenang untuk memutuskan bahwa proses Gibran atau Bobby adalah fondasi yang dibangun untuk mendukung dinasti baru dengan kekerasan."

Politik Dinasti Putra Sulung Presiden Jokowi

Persoalan tata kelola politik jelang Pemilu 2024 masih menjadi perhatian masyarakat. Salah satunya adalah terpilihnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon presiden dari Koalisi Maju Indonesia. Putra sulung Presiden Jokowi ini diketahui sempat dikait-kaitkan dengan calon presiden Prabowo Subianto untuk menjadi calon presiden 2024.
 
Salah satu respondennya adalah PDI Perjuangan. Sekretaris PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, sebaiknya persoalan politik diutamakan di atas etika, moral, dan bukan kepentingan keluarga.
 
Meski tak menyebut siapa dirinya, pernyataan Hasto kepada Gibran juga senada dengan pernyataan Hasto yang disuarakan Direktur Jenderal Lingkaran Pemuda Indonesia (LPI) Muda Saleh.

“Memang benar Mas Hasto tidak menyebutkan siapa yang dia ucapkan, tapi semua orang paham kepada siapa pesan itu disampaikan. Tapi kita juga harus memperhatikan fakta bahwa ada orang yang terpilih karena kebutuhan masyarakat akan perubahan.” dikatakan. ucapnya mengutip RMOL.id, Minggu (29/10/2023). Menurut Ketua LPI, tak bisa dipungkiri terpilihnya Gibran Rakabuming Raka didasarkan pada banyak pendapat dari banyak pendukung.
 
“Jadi bukan karena anak presiden terpilih. Masing-masing kelompok mempunyai kelompok penelitian yang memperhatikan keinginan yayasan hingga mencapai suatu kesimpulan yang akhirnya menunjuk Mas Gibran sebagai peneliti,” jelas direktur LPI tersebut.
 
Kini, lanjutnya, ada PNS yang tidak sukses tapi menjadi pemimpin di perusahaan karena orang tuanya adalah pimpinan partai atau PNS. Lanjutnya, mantan presiden juga ada yang orang tuanya berkepribadian atau semacamnya.
 
Namun yang dihasilkan justru sampah. “Jadi, boleh dikatakan, kalau ada sekelompok orang yang menurut pendapatnya ‘rasa percaya diri tinggi, tapi IP (Indeks Prestasi) rendah’, jangan tampilkan mereka seolah-olah mereka adalah salah satu yang terbaik,” tegas Muda Saleh, Direktur LPI.
 
Ia menambahkan, kini posisi putra sulung Presiden Jokowi sangat sulit jika dikatakan menggunakan politik untuk memerintah. Kalau proses seleksi, proses pemilu, dan proses yang berdasarkan konstitusi, kalaupun orang tuanya pegawai negeri, mereka dukung rakyat, menurut saya itu salah satu hal yang benar.

Belajar dari Kegagalan Rezim Soeharto

Politik pasca Orde Baru ibarat jamur di musim hujan, tumbuh di berbagai daerah, dari satu daerah ke daerah/kota lainnya.
 
Suku Banten yang mengusung Atut Chosiyah di Provinsi Banten misalnya menjadi tempat perlindungan rezim politik di daerah lain, kata Hurriyah, Wakil Presiden Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia.

“Kekuasaan itu sangat menggiurkan, ibarat buah manis yang harus dikejar orang, ketika melihat kisah suksesnya, memberi peluang bagi orang untuk merebut harta karun itu. “Nah, itulah yang pada akhirnya memberi peluang bagi banyak politisi,” katanya seperti dikutip BBC Indonesia.
 
Di sisi lain, kegagalan sistem pemerintahan harus diperhitungkan. Hurriyah melihat sistem politik pada akhirnya akan runtuh karena masalah korupsi. Hal inilah yang terjadi pada keluarga Soeharto pada masa Orde Baru. Awal mula kehancuran Soeharto dan transformasi Soeharto menjadi rezim diktator dan korup dimulai ketika ia melibatkan keluarganya dalam bisnis dan politik, ujarnya.

Korupsi Itu Mudah

Pasca Reformasi, sistem politik berkembang di wilayah administratif dengan ruang kompetisi pemilu daerah yang besar, terutama yang berkaitan dengan keluarga. Oleh karena itu, muncul keluarga Atut Chosiyah di Banten, keluarga Noerdin di Sumsel, keluarga Asrun di Kendari, keluarga Zainuddin Abdul Madjid di Nusa Tenggara Barat, keluarga Cornelis di Nusa Barat, keluarga Kasuba di Nusa Tenggara Barat. Limpo keluarga di Sulawesi Selatan dan lain-lain.
 
Kepemimpinan politik yang menarik perhatian publik adalah Wali Kota Bontang Neni Moerniaeni yang memenangkan Pilkada 2016. Putranya, Andi Faisal Sofyan Hasdam terpilih menjadi Ketua DPRD Bontang, Kalimantan Timur.
 
Oleh karena itu, para ibu dan anak memanfaatkan kekuasaan para pemimpin dan anggota legislatif di Bontang. Sebelumnya, suami Neni, Sofyan Hasdam, menjabat Wali Kota Bontang selama dua periode (1999-2011).
 
Pekan lalu, Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara ditangkap Komisi Pemberantasan (KPK) karena diduga terlibat suap di bidang pekerjaan Dinas PUPR dan Bidang Pemasaran. Agung merupakan kepala daerah ke-47 yang ditangkap di dinas rahasia KPK. Ia juga merupakan Bupati 119 yang diduga terlibat kasus korupsi.

“Keuntungan seperti korupsi dan penjualan barang dan jasa dapat merugikan aparat dan upaya pemerataan pembangunan infrastruktur di seluruh Indonesia,” kata Basaria Panjaitan.
 
Dulu, sebagian besar kasus korupsi yang melibatkan pejabat daerah berasal dari sistem birokrasi. Atut Chosiyah yang melibatkan kerabatnya di pemerintahan dan legislatif Banten ditangkap terkait kasus korupsi pejabat daerah.
 
Kemudian mantan Gubernur Kutai Kertanegara Rita Widyasari ditangkap dalam kasus korupsi terkait hak menanam kelapa sawit. Ayahnya, Syaukani Hassan Rais yang menjabat Bupati Kutai Kertanegara (2001 - 2005), terlibat beberapa kasus korupsi dengan pendapatan operasional Rp 93,2 miliar.
 
Dari Jawa Barat, Wali Kota Cimahi (2012 - 2017), Atty Suhari dan suaminya Itoc Tochija menjadi tersangka proyek pembangunan pasar senilai Rp 57 miliar. Itoc menjabat Wali Kota Cimahi dua periode sebelum Atty.
 
Fuad Amin Imron, mantan penguasa Bangkalan, memerintah wilayah tersebut selama dua periode (2003 - 2013). Ia pun mendorong putranya, Makmun Ibnu Fuad, untuk menjadi gubernur periode 2013 - 2018. Setelah itu, Fuad terpilih sebagai Ketua DPRD Bangkalan yang dipilih oleh putranya. Pada akhir tahun 2014, Fuad Amin Imron ditangkap KPK. Saat menjabat sebagai Bupati dan Ketua DPRD Bangkalan, ia diduga menerima suap sebesar Rp 18,05 miliar terkait jual beli gas bumi.

Di Klaten, Jawa Tengah, terbentuk sistem politik yang berakhir dengan ditangkapnya penguasa Sri Hartini. Sri ditangkap atas tuduhan jual beli jabatan di pemerintahan Klaten pada Desember 2016. Beliau merupakan istri dari Haryanto Wibowo (Bupati Klaten 2000 - 2005).
 
Kekuasaan politik tidak melanggar hukum. Namun mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Basria Panjaitan mengingatkan para pemimpin daerah, terutama yang berada di kalangan penguasa, untuk tidak mempermainkan jabatannya, apalagi uang rakyat.

(Tim Liputan News\Bandot DM)

Share:




Berita Terkait

Komentar