Jokowi-Prabowo Harus Tanggung Jawab soal Isu Jual Senjata ke Myanmar

Kamis, 12/10/2023 10:13 WIB
Ilustrasi: Suasana jalanan di Myanmar. (Wenews)

Ilustrasi: Suasana jalanan di Myanmar. (Wenews)

Jakarta, law-justice.co - Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto, hingga Menteri BUMN Erick Thohir dinyatakan bahwa sebagai pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas dugaan jual-beli senjata ilegal ke Myanmar yang dilakukan oleh tiga BUMN, yaitu PT PINDAD, PT PAL, dan PT. Dirgantara Indonesia (Persero).

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Nasional, Julius Ibrani menegaskan bahwa pertanggungjawaban ketiga penyelenggara negara itu berkaitan dengan jabatannya di Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP).

Kata dia, hal ini karena Ketua KKIP adalah Presiden Jokowi, Ketua Harian adalah Menhan Prabowo Subianto, dan Wakil Ketua KKIP adalah Menteri Erick Thohir.

Julius menjelaskan bahwa berdasarkan Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Produk Industri Pertahanan Kontrak Jangka Panjang, alur pengadaan atau penjualan diawali usulan dari Menhan, yang kemudian diajukan kepada KKIP, yang mana Menhan juga berposisi sebagai ketua harian.

"Dalam konteks ini tentu minim akuntabilitas karena regulator, pengusul, dan eksekutor adalah menteri pertahanan itu sendiri," ujar Julius, dalam Diskusi Publik "Junta Myanmar, Pelanggaran HAM dan Problematika Supply Senjata dari Indonesia" di Café Sadjoe, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.

Dia menuturkan, publik tidak bisa mengakses segala jenis informasi terkait proses pengadaan dan penjualan senjata tersebut.

Lebih lanjut dia mendukung pelaporan dugaan kasus jual-beli senjata ilegal itu ke Komnas HAM pada Senin, 2 Oktober 2023.

Pelapornya adalah organisasi HAM non-pemerintah yang berafiliasi dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Myanmar Accountability Project; Wakil Direktur Eksekutif Chin Human Rights Organization, Za Uk; dan mantan Jaksa Agung Indonesia sekaligus eks pelapor khusus hak asasi manusia untuk PBB, Marzuki Darusman.

Di Myanmar telah terjadi pembunuhan, penculikan terhadap aktivis, pembakaran desa-desa, pemerkosaan, pengusiran, dan seterusnya.

"Sementara itu BUMN kita menjadi game keeper supply senjata dari Indonesia kepada junta militer Myanmar. Pertangggung jawaban pelanggar HAM adalah berada pada negara," kata Julius.

Sementara, Ketua Badan Pengurus CENTRA Initiative Al Araf sepakat bahwa Presiden dan Menhan harus bertanggung jawab.

Dia menambahkan Komisi I DPR pun tak bisa diam saja melihat kasus tersebut.

"Dalam bisnis persenjataan tidak bisa dilakukan secara business as usual, mereka yang menyuplai persenjataan, harus juga ikut bertanggung jawab. Tidak cukup hanya direktur Pindad, tetapi Menteri Pertahanan juga harus bertanggung jawab," kata Al Araf.

Sebelumnya, 

Tiga Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia dituding masih menjual persenjataan ke pemerintah Myanmar yang tengah dikecam atas tuduhan menindas warga sipil pascakudeta pada Februari 2022.

Meski begitu, induk usaha BUMN yang menaungi ketiga perusahaan tersebut mengaku "tidak ada kerja sama" dengan Myanmar.

Tiga perusahaan pelat merah Indonesia yang bergerak di industri pertahanan itu mencakup PT PINDAD, PT PAL, dan PT. Dirgantara Indonesia (Persero), dilaporkan ke Komnas HAM, Senin (02/10), dengan dugaan melanggar regulasi Indonesia serta perjanjian internasional.

Seperti melansir bbcindonesia.com, pihak yang melaporkan tiga produsen alutsista itu adalah organisasi HAM non-pemerintah yang berafiliasi dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Myanmar Accountability Project; Wakil Direktur Eksekutif Chin Human Rights Organization, Za Uk; dan mantan Jaksa Agung Indonesia sekaligus eks pelapor khusus hak asasi manusia untuk PBB, Marzuki Darusman.

Mereka mendasarkan laporan mereka, antara lain, pada temuan Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar, Tom Andrews, yang menyebut tiga BUMN tersebut memiliki hubungan dagang persenjataan dengan Myanmar sebelum kudeta tahun 2022.

Mereka menduga, jual-beli itu terus berlanjut ketika pemerintah junta militer Myanmar kembali berkuasa.

Perusahaan holding BUMN Defend ID, menyatakan tidak pernah menjual senjata atau alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpahankam) ke junta militer Myanmar.

Defend ID merupakan induk perusahaan, menaungi PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia yang dilaporkan ke Komnas HAM karena disebut menjual menjual senjata ke Myanmar.

"Dapat kami sampaikan bahwa tidak ada kerja sama maupun penjualan produk alpahankam dari perusahaan tersebut ke Myanmar," kata Direktur Utama PT Len Industri (Persero) Holding Defend ID, Bobby Rasyidin, dalam keterangan pers, Rabu (04/10).

Bobby melanjutkan, Defend ID tidak pernah memasok atau mengekspor senjata ke Myanmar sejak 1 Februari 2021. Hal itu sejalan dengan Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) nomor 75/287 yang melarang suplai senjata ke Myanmar.

Bobby mengatakan, Defend ID mendukung penuh resolusi PBB dalam upaya menghentikan kekerasan di Myanmar yang saat ini dikuasai rezim junta militer.

"Defend ID selalu patuh dan berpegang teguh pada regulasi yang berlaku termasuk kebijakan politik luar negeri Indonesia," ujar Bobby.

Sebelumnya, Presiden Direktur PT. PINDAD, Abraham Mose, membantah perusahaannya masih menjual persenjataan ke Myanmar. Dia berkata pihaknya hanya satu kali menjual amunisi ke negara itu pada 2016, yang dia klaim untuk keperluan kompetisi.

Abraham berkata, tahun 2023 Myanmar pernah menjajaki pembelian lain kepada PT. PINDAD, tapi jual-beli akhirnya tidak terjadi.

"Mereka membatalkan permintaan," ujarnya.

Adapun PT. PAL membantah memiliki kerja sama maupun kontrak jual-beli dengan pemerintah junta militer maupun entitas bisnis di Myanmar.

"Kami senantiasa mendorong kerja sama bisnis yang sehat, berpegang teguh pada tata kelola perusahaan (GCG)," kata Corporate Secretary PT. PAL, Edi Rianto.

Dia menuturkan, PT. PAL selalu mempertimbangkan kajian risiko bisnis dalam merencanakan dan menjalankan kerja sama strategis. Prinsip utamanya, kata dia, adalah "dengan tidak mencampuri urusan masing-masing negara".

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar