Analisis Hukum Batasan Usia Capres-Cawapres, Ujian Bagi Marwah MK

Sabtu, 30/09/2023 12:35 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi (Detik)

Gedung Mahkamah Konstitusi (Detik)

Jakarta, law-justice.co - Menjelang pemilu 2024, banyak keanehan muncul yang semula tidak diduga-duga. Kemunculan peristiwa peristiwa aneh sepertinya tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan suasana politik nasional yang saat ini memang tidak sedang baik baik saja.

Salah satu keanehan adalah adanya gugatan yang tiba tiba saja mucul dari beberapa elemen bangsa terhadap ketentuan tentang batasan umur calon presiden (Capres) dan calon wakil Presiden (Cawapres) yang akan berlaga dalam pemilu 2024.

Batasan usia capres dan cawapres yang telah ditetapkan minimal usia 40 tahun itu saat ini sedang digugat antara lain oleh partai solidaritas Indonesia (PSI) dan partai Garuda. Sementara batasan usia maksimal capres dan cawapres yang berusia 70 tahun digugat pula oleh sekelompok pengacara.

Karuan saja gugatan terkait batasan umur capres dan cawapres itu dinilai sangat kental aroma politiknya. Mereka yang menggugat usia capres cawapres minimal 40 tahun kemudian ingin diturunkan menjadi minimal 35 tahun diduga mempunyai agenda untuk mengajukan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka. Karena usia Gibran saat ini belum sampai 40 tahun sehingga syarat usia akan jadi kendala manakala ia akan dicalonkan sebagai cawapres  nantinya.

Sementara itu mereka yang mengajukan gugatan usia capres dan usia cawapres maksimal tidak boleh lebih dari 70 tahun diduga untuk menjegal salah satu kandidat kuat capres yang maju saat ini yaitu Prabowo Subianto dari Partai Gerindra. Pasalnya, Ketua Umum Partai Gerindra tersebut telah berusia 71 tahun dan akan menginjak 72 tahun pada Oktober mendatang sehingga kalau gugatan itu dikabulkan, Prabowo tak lagi bisa ikut berlaga.

Bagaimana sebenarnya ketentuan yang mengatur soal batasan umur capres dan cawapres ini dalam ketentuan yang ada ?, Apakah Mahkamah Konstitusi (MK) dalam hal ini memang berwenang untuk mengadili atau memutus perkaranya ?, Benarkah pengajuan batasan umur capres -cawapres ini memang sangat kental nuansa politisnya, apa indikatornya ?

ANALISIS HUKUM

Secara yuridis formal, UUD 1945 sama sekali tidak menyebutkan batas usia minimal calon pemimpin negara. Tidak ada juga aturan yang mengatur tentang batas maksimal seorang warga negara boleh menjadi presiden Indonesia. Ketentuan tentang batas usia capres dan cawapres diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dimana dalam Pasal 169 huruf q dinyatakan bahwa persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden berusia paling rendah 40 tahun.

Tidak ada argumentasi yang kuat untuk membatasi usia mengapa harus minimal 40 tahun bukan 35 tahun atau 25 tahun misalnya. Batasan usia 40 tahun semata-mata berdasarkan kesepakatan subjektif para pembuat undang-undang yang saat itu merumuskannya. Dokumen pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Pemilu hanya memuat usulan orang per orangan dari fraksi-fraksi di DPR yang menyebutkan pemimpin yang ideal itu matang pada usia 40 tahun.

Pemimpin ideal sebelumnya berusia minimal 35 tahun. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, kedua undang-undang itu mengenai pemilihan umum presiden dan wakil presiden, menyebutkan persyaratan calon presiden dan wakil presiden berusia sekurang-kurangnya 35 tahun.

Dengan demikian, batas minimal usia capres dan cawapres bisa diubah-ubah berdasarkan kesepakatan pembuatan undang-undang yang merumuskannya. Ia dianggap sebagai  masalah teknis tergantung pada perkembangan situasi politik di suatu negara.

Barangkali karena soal batasan umur capres dan cawapres ini dinilai sangat relatif sebagian orang tidak mempedulikannya. Mereka berpendapat bahwa soal  umur itu hanyalah deretan angka. Pernyataan bijak itu sebagai motivasi bahwa sejatinya tidak ada batas umur untuk menoreh prestasi karena yang muda atau tua punya peluang yang sama.

Jika jabatan presiden dianggap sebagai puncak prestasi, sejarah mencatat bahwa tidak sedikit pemimpin dunia berusia muda. Jean-Claude Duvalier, misalnya, menjadi Presiden Haiti pada usia 19 tahun tatkala ia pada 22 April 1971,mengambil alih kekuasaan di negaranya.

Ada juga pemimpin dunia yang berusia tua sebutlah  misalnya Joe Biden yang dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat pada usia 78 tahun, sudah sangat manula. Untuk Indonesia, Presiden BJ Habibie dilantik menjadi presiden pada usia 62 tahun, sudah tua juga.

Tetapi rupanya batasan usia minimal capres dan cawapres yang telah diatur dalam Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu tersebut digugat oleh PSI dan Partai Garuda. Selain itu sejumlah perseorangan warga negara, yaitu Anthony Winza Probowo, Danik Eka Rahmaningtyas, Dedek Prayudi, dan Mikhail Gorbachev. Wali Kota Bukit Tinggi Erman Safar dan Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa ikut pula mengajukan gugatan yang sama

Intinya mereka itu menghendaki agar MK agar batas usia minimal usia capres dan cawapres dapat diatur 35 tahun dengan asumsi pemimpin-pemimpin muda telah memiliki bekal pengalaman untuk maju sebagai capres dan cawapres Indonesia. Sehingga norma yang diatur dalam pasal 169 huruf q UU No. 7/2017 tentang Pemilu yang membatasi usia capres dan cawapres minimal 40 tahun menurut para Pemohon bertentangan dengan moralitas dan rasionalitas karena menimbulkan bibit-bibit diskriminasi sebagaimana termuat dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.

Kalau usia minimal capres dan cawapres digugat, maka usia maksimal capres cawapres yang saat ini berdasarkan ketentuan yang ada belum ada batasannya juga minta untuk dibuat batasannya. Mengenai batasan maksimal usia capres- cawapres ini dilayangkan puluhan advokat yang mengatasnamakan diri sebagai Aliansi `98 Pengacara Pengawal Demokrasi dan HAM. Rio Saputro terdaftar sebagai pemohon I, Wiwit Ariyanto sebagai pemohon II, dan Rahayu Fatika Sari sebagai pemohon III.

Mereka juga mengajukan uji materi Pasal 169 huruf d dan q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terhadap UUD 1945. Dalam permohonannya, mereka meminta syarat usia capres-cawapres dibatasi hingga 70 tahun saja. Advokat yang mengatasnamakan Aliansi `98 itu menilai, presiden dan wakill presiden terpilih mestinya adalah sosok pemimpin yang produktif dalam menjalankan kinerjanya. Artinya, presiden terpilih seharusnya mempunyai kemampuan secara fisik, psikologis, serta moral yang stabil selama memimpin bangsa.

Dengan kata lain kalau seorang sudah berusia lebih dari 70 tahun dinilai sudah tidak lagi mempunyai kemampuan fisik, psikologis serta moral yang stabil untuk memimpin bangsa. Sehingga harus dibatasi maksimal usia berapa seseorang boleh memimpin bangsa.

Memang beragam alasan bisa dikemukakan untuk menguatkan argumentasi soal batasan usia capres dan cawapres ini baik batasa minimal atau batasan maksimalnya. Sehingga gugatan soal umur capres dan cawapres mau tidak mau memang menimbulkan pro dan kontra karena masing masing melihat dari sudut pandang yang berbeda.

Yang menjadi persoalan adalah ketika gugagan soal usia capres dan cawapres ini diajukan ke MK,apakah Lembaga ini memang berwenang untuk memutus perkaranya ?. Berdasarkan bunyi Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi (“MK”) berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Dari kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tersebut, MK merupakan lembaga negara yang berada pada cabang kekuasaan yudikatif. Pengujian Undang-Undang (“UU”) terhadap UUD 1945 atau judicial review sebagai salah satu kewenangan MK yang bertujuan untuk menguji UU secara formil dan materiil.

Secara formil, MK dapat menyatakan bahwa proses pembentukan UU telah sesuai atau tidak sesuai ketentuan pembentukan UU sebagaimana dimaksud UUD 1945. Sedangkan secara materiil, pengujian ditujukan terhadap materi muatan dalam pasal, ayat, dan/atau bagian dari UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Berdasarkan kewenangan untuk menyatakan UU bertentangan dengan UUD 1945 tersebut, MK juga disebut sebagai negative legislator.Dalam kaitan ini, Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa kewenangan MK hanya terbatas pada membatalkan norma di mana MK sebagai negative legislator, bukan positive legislator.

Negatif legislator merupakan kewenangan bertindak untuk menyatakan bahwa suatu norma bertentangan dengan konstitusi atau membiarkan suatu norma yang dibentuk oleh lembaga legislatif yang memiliki tolok ukur berupa original intens.

Sehingga pada dasarnya, MK merupakan lembaga yudikatif yang hanya memiliki kewenangan untuk membatalkan atau membiarkan norma yang dibentuk atau hanya memodifikasi norma yang sudah dibentuk oleh DPR bersama Presiden. Selain itu, norma yang dibentuk oleh MK sifat keberlakuannya sementara hingga direvisi kembali oleh pembentuk UU.

Berlandaskan pada pemahaman sebagaimana dikemukakan diatas maka terkait dengan batasan usia capres dan cawapres sesungguhnya bukanlah urusan konstitusionalitas sehingga MK seharusnya tidak berwenang untuk mengadilinya.

Urusan usia capres dan cawapres  adalah urusan teknis yang bukan merupakan kewenangan MK untuk menguji dan/atau menafsirnya sehingga MK tidak berwenang mengabulkan permohonan tersebut dengan alasan-alasan di luar konstitusionalitas, kecuali terdapat unsur diskriminasi.

Batas usia capres dan cawapres sama sekali tidak terdapat unsur diskriminasi. Jika MK memutus batas usia sebagaimana dimaksud karena berdimensi diskriminatif, lantas apakah 35 tahun dan/atau di bawah 35 tahun tidak berimplikasi mengandung makna diskriminatif? Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa `Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang`.

Dengan demikian, perumus UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa urusan usia capres dan cawapres merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, yaitu Presiden dan DPR sebagai positif legislation. Dengan demikian, norma tersebut jelas bukan urusan konstitusionalitas, melainkan urusan pembentuk UU atau open legal policy.

Menelaah UUD 1945, terkait dengan usia jabatan-jabatan kenegaraan diserahkan kepada lembaga pembentuk UU. Para perumus UUD 1945 berkeyakinan bahwa batas usia jabatan kenegaraan bersifat dinamis. Jika dirumuskan dalam UUD 1945, akan menjadi statis dan tidak mudah menyesuaikan dengan dinamika perkembangan sosial-politik kenegaraan.

Karakter dinamis juga dapat dilihat dari syarat usia hakim konstitusi semula minimal 47 tahun berubah menjadi 55 tahun, bahkan akan diubah lagi dalam UU MK menjadi 60 tahun. Demikian juga dengan syarat kelembagaan negara lain tidak diatur dalam konstitusi, seperti DPR, DPD, dan DPRD ialah 21 tahun, Komisi Yudisial ialah 40 tahun, hakim agung ialah 45 tahun, dan BPK ialah 35 tahun.

Adalah berbahaya jika konstitusi mengatur syarat minimal dan maksimal usia jabatan kenegaraan karena jika terjadi perkembangan dinamika kenegaraan, harus mengubah konstitusi. Padahal perubahan UUD 1945 berdasarkan Pasal 37 UUD 1945 termasuk dalam kategori rigid dan tidak mudah. Konstitusi tidak mengatur hal-hal yang bersifat teknis, bahkan termasuk hal yang bersifat penting, melainkan hanya hal-hal pokok dan mendasar.

Jika MK memutus batas usia capres dan cawapres, terkunci sudah dinamika perkembangan ketatanegaraan termasuk dinamika kebangsaan. Memperhatikan perkembangan keterangan DPR dan pemerintah sesungguhnya tersirat bahwa perubahan batas minimal usia capres dan cawapres ialah sebuah kewajaran. Oleh karena itu batas usia minimal capres dan cawapres bukanlah masalah konstitusionalitas, melainkan merupakan open legal policy berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945.

Karena itu pula MK tidak berwenang memutus hal-hal yang bersifat teknis apalagi tidak menyangkut urusan konstitusionalitas. Jika MK memutus, norma batas usia minimal capres dan cawapres menjadi stagnan, dan bahkan bisa menabrak konstitusi.

Bahwa MK sesungguhnya tidak berwenang untuk memutus perkara yang sifatnya open legal policy seperti soal batasan  usia capres atau cawapres, disuarakan oleh banyak pakar hukum seperti Mahfud MD, ahli hukum tata negara, Feri Amsari Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Bivitri Susanti, ahli hukum tata negara dan Peneliti Hukum tata negara serta salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dan yang lain lainnya.

Bahkan Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi, I Dewa Gede Palguna menegaskan gugatan batas usia minimal capres cawapres ke MK salah alamat dan hakim MK semestinya menolaknya. "Saya tegaskan, urusan umur itu nggak ada urusan dengan konstitusi. Itu bukan isu pengujian konstitusionalitas. Itu wilayahnya legislatif review. Itu legal policy pembuat undang-undang," kata Dewa dalam keterangan, Rabu (27/9/2023) seperti dikutip media.

Selain MK harus menolak karena memang bukan menjadi wewenangnya, MK juga harus menolak pengujian permohonan soal batasan usia capres cawapres karena pemohon harus mempunyai legal standing, yaitu harus perorangan yang ingin mencalonkan dirinya sebagai presiden atau wakil presiden, tetapi tidak bisa sehingga hak konstitusinya dirugikan.

Dalam hal ini, partai politik tidak mempunyai legal standing, karena bukan perorangan yang bisa menjadi calon presiden atau wakil presiden. Sebagai konsekuensi, partai politik tidak bisa mengajukan permohonan judicial review terkait batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden. Karena itu, permohonan harus ditolak.

Selain itu seandainya atas nama perorangan yang mengajukan judicial review, yang bersangkutan harus di antara usia 35-40 tahun dan ada partai politik yang sudah bersedia mengusulkannya sebagai calon presiden atau wakil presiden. Kalau kedua kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka yang bersangkutan tidak ada legal standing, dan MK harus menolak permohonan judicial review tersebut, karena tidak memenuhi syarat legal standing.

Meskipun banyak alasan untuk supaya MK menolak permohona,  namun anehnya, MK menerimanya untuk kemudian menyidangkannya. Seperti diketahui, MK) kembali menggelar sidang pengujian Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) seperti yang baru saja dilaksanakan pada Selasa (26/9/2023).

Dengan terus disidangkannya soal batasan usia capres cawapres oleh MK pada hal sebenarnya tidak ada kewenangan untuk menyidangkannya, tentu memunculkan tanda tanya ada agenda apa dibaliknya ?. Dugaan adanya kepentingan politik rasa rasanya sulit untuk dihindarkan karena adanya kejanggalan kejanggalan dalam proses penanganan kasusnya.

Berdasarkan catatan, MK pernah mengadili kasus kasus kontroversial yang sarat kepentingan politik seperti proses pelemahan KPK dan transformasi KPK menjadi alat politik Presiden Jokowi melalui Putusan MK yang menempatkan KPK sebagai Lembaga eksekutif di bawah kekuasaan Presiden.

Kemudian dilanjutkan dengan perubahan syarat usia minimal Komisioner KPK dari 50 tahun ke 40 tahun (Pasal 29 Huruf e UU No.19 tahun 2019 tentang KPK), berbasis pertimbangan soal frasa "atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK" yang tidak pernah ada pada seleksi pimpinan lembaga negara dan tidak ada juga dalam Konstitusi, UUD 1945 maupun UU KPK.

Saat ini sepertinya MK telah dikooptasi oleh Pemerintah yang berkuasa. Hal  ini memang tidak dapat dilepaskan dari kedekatan personal Presiden Jokowi dengan Ketua MK Anwar Usman yang merupakan adik iparnya sendiri meski melanggar Pasal 17 ayat (4) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; dan Penerapan Prinsip Ketidakberpihakan dalam Peraturan MK Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.“Ditambah sebelumnya, Hakim MK diberikan penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana oleh Presiden Jokowi.

Terkait dengan gugatan batas minimal usia capres dan cawapres terutama yang diajukan oleh PSI ke MK, bisa ditelusuri pesan yang ada dibaliknya. Seperti diketahui PSI adalah “partainya pak Jokowi” setelah anaknya menjadi Ketum PSI. Sehingga bisa dibaca maksud gugatan itu sangat kentara untuk memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres Ganjar atau Prabowo.

Sejauh ini pendiktean MK juga terlihat jelas dari preseden buruk Gugatan Nurul Ghufron yang sangat mirip dengan ambang batas usia capres-cawapres yang diajukan oleh PSI yakni terkait batas usia Komisioner KPK. Usia diturunkan, lalu diberi embel-embel “berpengalaman sebagai pimpinan lembaga”. Jangan sampai pendiktean putusan MK, seperti copy paste putusan Nurul Ghufron untuk PSI yakni “Ambang batas usia capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun dengan syarat berpengalaman sebagai pimpinan pemerintahan (baca: kepala daerah)”.

Selain berusaha memuluskan pencalonan Gibran Rakabuming Raka, gugatan soal batas minimal usia capres cawapres diduga ada motif yang lainnya. Salah satu motif yang dicurigai diantaranya adalah upaya untuk menunda pemilu yang ujung ujungnya agar supaya incumbent tetap bisa berkuasa.  Mengapa demikian? Karena kalau sampai MK mengabulkan permohonan batasan usia capres dan cawapres itu bisa berpotensi terjadinya bencana kelembagaan khususnya pada KPU dan Bawaslu sebagai Lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu nantinya.

Sebab dengan berubahnya batasan usia capres dan cawapres, maka KPU dan Bawaslu harus menyesuaikan peraturan teknisnya pada hal  seperti diketahui jadwal pendaftaran capres dan cawapres ke KPU sudah dekat yaitu 19-25 Oktober 2023. Mungkinkah gugatan usia capres cawapres ini ada indikasi mengarah ke sana  juga ?.

Kalau memang benar mengarah kesana maka sangat wajar kalau sekarang ini berkembang akronim yang sangat memprihatinkan tentang MK. Karena MK sering diplesetkan sebagai Mahkamah Kalkulator, Mahkamah Kompromi dan juga sering disebut sebagai Mahkamah Keluarga. Sementara itu pemerintah yang sekarang berkuasa dinilai lebih parah dari perilaku pemerintah orde baru (Orba). Sebab kalau Orba hanya menempatkan legislative dibawah kekuasaan politik praktisnya tapi pemerintah yang sekarang berkuasa lebih parah lagi yaitu menempatkan Lembaga yudikatif dibawah kekuasaannya.

Agar jangan sampai MK semakin tenggelam kedalam jurang ketidakpercayaan rakyat, kiranya masih ada waktu bagi hakim hakim MK untuk musahabah merenungkan eksistensi dirinya. Ingatlah bahwa  masa jabatan sebagai hakim itu terbatas, dan nasibnya pun bisa berubah-ubah tergantung rezim yang berkuasa. Jangan sampai kembali terulang dimana dua hakim konstitusi yang dicokok KPK sampai masuk penjara. Tidak ada jaminan ‘kebebasan dan keselamatan’ hakim konstitusi pasca selesai masa jabatannya.

Sebab itu hakim konstitusi harus menjaga nama-nama baik yang melekat sejak berdirinya MK yakni Penjaga Konstitusi (the guardian of the constitution), pelindung demokrasi, (the protector of democracy), pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights), penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen`s constitutional rights), pengawal ideologi negara (the guardian of state ideology).

Semua nama baik tersebut akan terwujudkan jika Mahkamah Konstitusi tetap berpegang pada konstitusi dan menegaskan ambang batas usia capres-cawapres bukanlah diskriminasi, melainkan kualifikasi, dan menolak despotisme  pemerintah yang saat ini berkuasa.  Oleh karena itu sudah sepantasnya kalau MK menyerahkan keputusan kepada para legislatif dan eksekutif, yang harus berdiskusi dengan publik sebelum memutuskan soal batasan usia capres cawapres yang saat ini sedang disidang di MK

Untuk itu, berhubung  sidang terkait batasan usia capres dan cawapres sudah digelar di MK, maka MK diharapkan  tidak mengabulkan permohonan para pihak yang mengarah pada keinginan untuk menggagalkan pencapresan Prabowo ataupun ingin meloloskan Gibran Rakabuming Raka.

Tapi semuanya memang tergantung pada hakim hakim MK, apakah ingin di catat sebagai pengkhianat bangsa atau mau dicatat sebagai negarawan yang memperhitungkan segala keputusannya demi kepentingan bangsa dan negara dan bukan kepentingan rejim yang sekarang berkuasa.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar