Faisal Basri Ungkap `Kiamat` Hantui Nikel Indonesia 13 Tahun Lagi

Selasa, 29/08/2023 09:28 WIB
Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri (Monitor.id)

Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri (Monitor.id)

Jakarta, law-justice.co - Pakar Ekonomi Senior INDEF, Faisal Basri memperkirakan cadangan nikel Indonesia akan habis dalam 13 tahun lagi.

Prediksi dia dasarkan pada data cadangan nikel yang dimiliki Indonesia saat ini dan kecepatan eksplorasi yang dilakukan pemerintah saat ini.

Mengutip data United States Geological Survey (USGS), ia menyebut Indonesia memiliki cadangan nikel 21 juta metrik ton.

Cadangan tersebut sejatinya sama dengan Australia.

Tepat di bawah Indonesia dan Australia, ada Brasil dengan 16 juta metrik ton, Rusia 7,5 juta metrik ton, New Caledonia 7,1 juta metrik ton, dan Filipina 4,8 juta metrik ton.

Lalu, Kanada punya 2,2 juta metrik ton, China 2,1 juta metrik ton, serta Amerika Serikat 0,37 juta metrik ton.

Namun katanya, meskipun terbanyak, umur cadangan nikel Indonesia paling singkat dibandingkan negara-negara lain. Faisal mengatakan ini disebabkan ganasnya pengerukan nikel di tanah air.

Data yang dimilikinya, pengerukan nikel di Indonesia menembus 1,6 juta metrik ton per tahun.

"Indonesia paling gila, cuma 13 tahun (umur cadangan nikel), kalau seperti yang sekarang. Ini kan smelter nambah terus, jadi bisa lebih cepat (habis). Pak Jokowi enggak peduli sama itu, dapat Rp510 triliun dengan mengeruk semakin dalam kekayaan kita. Enggak dihitung sebagai ongkos, dampak lingkungannya enggak dihitung, enggak benar," tuturnya seperti melansir cnnindonesia.com.

Faisal mengatakan pengerukan itu berbeda dengan Australia. Negeri Kanguru itu sama-sama punya cadangan 21 juta metrik ton nikel.

Tetapi produksinya hanya 160 ribu metrik ton per tahun. Dengan begitu, umur cadangan nikel Australia masih bisa bertahan 131 tahun, sehingga manfaatnya masih bisa dicicipi generasi-generasi selanjutnya.

Atas masalah itu, Faisal Basri meminta kepada pemerintahan Presiden Jokowi untuk memperbaiki tata kelola pengerukan nikel dan juga hilirisasinya. Pasalnya, untuk hilirisasi nikel, Indonesia hanya mendapatkan keuntungan kecil.

Dia mengakui sejak pemerintah melakukan hilirisasi nikel, nilai ekspor bijih nikel yang 2014 lalu hanya Rp1 triliun melesat jadi Rp413,9 triliun.

Namun, Faisal menilai uang hasil ekspor itu tidak seutuhnya mengalir ke Indonesia. Menurutnya, 90 persen keuntungan program itu justru dinikmati China.

Pasalnya, hampir seluruh perusahaan smelter pengolah bijih nikel dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas.

Dengan begitu, perusahaan China berhak untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.

Ditambah lagi, ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya.

"Jadi, penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," terangnya.

Faisal menyebut perusahaan smelter nikel bebas pajak karena mereka menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih. Insentif pajak itu diberikan oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan BKPM.

Tak hanya itu, sambung Faisal, perusahaan nikel China di Indonesia juga tidak membayar royalti. Pasalnya, yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional. Ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor.

Faisal mengatakan ada beberapa hal yang bisa dilakukan Presiden Jokowi untuk menjaga nikel dan hilirisasinya tetap menguntungkan Indonesia. Salah satunya, melibatkan BUMN dalam setiap gerak hilirisasi.

Menurutnya, hilirisasi beda dengan tambang yang punya masa kontrak. Oleh karena itu, Faisal mendesak negara harus benar-benar hadir dengan menyandingkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di setiap gerak hilirisasi.

"Enggak ada istilah divestasi, seperti tambang Freeport, jadi negara tuh enggak bisa masuknya di mana. Kalau betul-betul strategis buat industri masa depan dan sebagainya, tolong dibuka celah agar publik ini ada di situ (hilirisasi)," saran Faisal.

Perbaikan lain, lakukan audit ke perusahaan hilirisasi nikel di tanah air. Faisal cukup yakin pemain di hilirisasi nikel tanah air saat ini tak memenuhi berbagai syarat untuk mendapatkan sederet fasilitas dari pemerintah.

"Supaya semua terbuka dan baik, audit saja. Audit tax holiday dan pekerja. Kalau mereka banyak melanggar, cabut, di situlah kita masuk. That`s the only way, karena ini bukan tambang tidak ada program divestasi. Ini bisa seumur-umur mereka di situ karena statusnya industri," tegasnya.

"Itu yang bisa mengubah nasib kita dan ini harus cepat karena 13 tahun lagi habis (cadangan nikel).Sudah jelas begini, jangan lagi buat kebijakan merembet ke bauksit dan ke mana-mana dengan cara kontroversial seperti ini, cukup nikel," tutup Faisal.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar