Ketimpangan, Persoalan Mendasar di Pendidikan Tinggi

Sabtu, 04/05/2024 21:27 WIB
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi dan Ristek Republik Indonesia Abdul Haris. (Kompas)

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi dan Ristek Republik Indonesia Abdul Haris. (Kompas)

law-justice.co - Ada tiga persoalan mendasar di pendidikan tinggi Indonesia. Inequality of access atau ketimpangan akses pendidikan tinggi, inequality of quality atau ketimpangan dalam hal kualitas, serta kurangnya relevansi pendidikan tinggi (less relevance of higher education). Sejumlah upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menekan persoalan tersebut.

Tiga persoalan mendasar pada pendidikan tinggi di Indonesia tersebut diungkap Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi dan Ristek Republik Indonesia Abdul Haris. "Tiga hal itu adalah inequality of access atau ketimpangan akses pendidikan tinggi, inequality of quality atau ketimpangan dalam hal kualitas, serta kurangnya relevansi pendidikan tinggi (less relevance of higher education)," katanya dalam sarasehan yang dilaksanakan oleh Lembaga Pendidikan Tinggi NU (LPTNU) Jawa Timur di Universitas Wahab Hasbullah (UNWAHA) Jombang, Sabtu (4/5/2024) sebagaiman dilansir Antaranews.


Pihaknya mengungkapkan bahwa pemerintah mendorong peningkatan nilai angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi dan juga memperluas akses pendidikan tinggi yang berkualitas dalam mengatasi berbagai persoalan tersebut.  Pemerintah, kata dia, juga menemukan suatu dilema saat melihat adanya 1,2 juta pengangguran terdidik berdasarkan data BPS tahun 2022. Selain itu terjadi perubahan landscape dunia kerja bahwa ijazah dan gelar akademik tidak lagi menjadi jaminan untuk memperoleh pekerjaan. "Dengan demikian pemerintah melalui Kemendikbud Ristek secara serius dalam membenahi hal tersebut dengan meningkatkan kualitas pendidikan tinggi," kata dia.

Dirinya mengatakan, sejumlah perguruan tinggi juga terus didorong untuk meningkat pada rangking perguruan tinggi global, serta meningkatkan kualitas lulusan yang siap pada profesi tertentu.  Namun, ia menyebut ada kendala salah satunya faktor lambannya perguruan tinggi dalam beradaptasi dengan perubahan yang menjadi persoalan serius dewasa ini. Selain itu, juga munculnya model alternatif dalam pendidikan dan pelatihan yang berbasis digital karena dapat secara fleksibel dan murah dari segi operasionalnya.  "Oleh sebab itu Dirjen Dikti partisipasi dari masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi tidak bisa dinafikkan," kata dia.

Ia menyebut, dari sekitar 9,8 juta mahasiswa Indonesia, hampir 5,1 juta mahasiswa kuliah di perguruan tinggi swasta. Untuk itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Ristek juga berkolaborasi dengan pengelola perguruan tinggi swasta, termasuk perguruan tinggi di lingkungan Nahdlatul Ulama mengurangi ketimpangan akses layanan pendidikan tinggi, kualitas pendidikan tinggi, dan relevansi pendidikan tinggi tersebut.

(Bandot DM\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar