Nawaitu Redaksi

Relasi Jokowi-Megawati, Diantara Dendam & Penghianatan

Minggu, 20/08/2023 08:03 WIB
Ketika Prabowo Dipakai Jokowi sebagai Alat Negosiasi ke Megawati. (Bisnis/Yusran Yunus).

Ketika Prabowo Dipakai Jokowi sebagai Alat Negosiasi ke Megawati. (Bisnis/Yusran Yunus).

Jakarta, law-justice.co - Akhir akhir ini ramai dibicarakan isu keretakan hubungan antara Presiden Jokowi dengan Megawati Soekarnoputri terutama terkait dengan calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) yang akan di usung oleh keduanya.

Megawati sudah melalui partainya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) telah mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai jagoannya. Tetapi Jokowi yang merupakan kader PDIP sekaligus petugas partai, nampak cenderung lebih memilih Prabowo Subianto dari partai Gerindra sebagai Capres yang di endorsnya.

Mengapa hubungan antara Presiden Jokowi dengan Megawati akhir akhir ini terlihat tidak sedang baik baik saja ?. Apakah Jokowi sebagai seorang Presiden yang juga sebagai petugas partai itu telah berkhianat terhadap Megawati yang telah berjasa kepadanya ?.

Tidak Sedang Baik Baik Saja

Seperti diberitakan oleh media, hubungan antara Presiden Jokowi dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, dikabarkan memang sedang tidak baik baik saja. Isu keretakan hubungan antara Jokowi dan Ibu Mega sebenarnya sudah cukup lama bahkan sempat diberitakan oleh The Straits Times, media asal Singapura.

Berita keretakan hubungan itu dimuat dalam artikel media tersebut dibawah judul, “Relations sour between Indonesia’s two most influential leaders in ruling party, say sources” atau “Hubungan antara dua pemimpin paling berpengaruh di partai yang berkuasa di Indonesia memburuk”, begitu The Straits Times memberitakannya.

Keretakan ini dilaporkan terjadi gara garanya deklarasi Ganjar Pranowo sebagai calon presiden dari PDI Perjuangan pada 21 April 2023. Sumber The Straits Times yang menolak disebut namanya menyatakan, Jokowi sangat kecewa karena tidak dilibatkan Megawati dalam keputusan memilih Ganjar sebagai capres yang di usung oleh partainya.

Bahkan Jokowi sangat terkejut dan tidak menyangka deklarasi pencapresan Ganjar dilakukan pada 21 April 2023.Untuk diketahui, pada saat itu, Jokowi sedang berlibur bersama keluarganya di Solo. Jokowi pun akhirnya harus terbang ke Batu Tulis, Bogor untuk hadir dalam deklarasi Ganjar Pranowo.

Sumber The Straits Times lainnya yang menolak disebut namanya mengungkapkan, Jokowi juga marah dengan Megawati gara gara menolak dua nama yang disodorkan untuk mendampingi Ganjar sebagai Cawapresnya. Dua cawapres yang disodorkan Jokowi adalah Menparekraf Sandiaga Uno dan Menteri BUMN Erick Thohir. Mereka adalah dua sosok yang juga berjasa bagi Jokowi dan keluarganya.

Sumber tersebut pun juga menyatakan, bahwa Jokowi kini kecewa dan berpikir untuk mendukung Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebagai penerusnya pada Pilpres 2023. Menurut pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, kecenderungan Presiden Joko Widodo lebih dekat dengan bakal calon presiden dari Gerindra Prabowo Subianto karena ruang gerak terkait pencapresan lebih cair dan terbuka. Kondisi ini berbeda dengan keterlibatan Jokowi terkait pencapresan di partainya sendiri PDIP yang sepenuhnya dikendalikan oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

"Makanya tidak mengherankan kalau Jokowi belakangan relatif lebih dekat dengan Prabowo karena dengan Prabowo mungkin komunikasi agak lebih cair dan lebih terbuka," ujar Adi seperti dikutip koran Republika.co.id, Selasa (6/6/2023).

Tak hanya Jokowi, kedekatan dengan Prabowo juga ditampilkan oleh kedua putra Jokowi yakni Kaesang Pangarep dan Gibran Rakabuming Raka. Bahkan kedua anak itu tak canggung memakai kaos yang bergambar Prabowo sebagai simbol dukungannya

Awalnya Jokowi memang sebelumnya lebih nampak dekat dengan bacapres dari PDIP Ganjar Pranowo sebelum Gubernur Jawa Tengah itu dideklarasikan oleh partainya. Namun, setelah dideklarasikan justru orkestrasi pencapresan Ganjar sepenuhnya dikendalikan PDIP dalam hal ini Ibu Mega. Segala sesuatu yang terkait dengan Ganjar saat ini sangat ditentukan oleh PDIP, sementara Jokowi  tidak punya peran dan andil yang cukup signifikan untuk ikut menentukannya.  Sehingga, peran dan kedekatan Jokowi dengan Ganjar tidak lagi terlihat seperti sebelumnya.

Sebenarnya keretakan hubungan Jokowi dan Megawati bukan sekali dua kali ini saja terjadinya, tetapi sudah cukup lama.  Sebagai contoh pada sekitar awal bulan April 2024 Presiden Joko Widodo bertemu dengan lima ketua umum partai politik (parpol) di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional (PAN) di kawasan Warung Buncit, Jakarta, Minggu (02/04/23).

Pertemuan yang dihadiri oleh  Prabowo Subianto (Gerindra), Muhaimin Iskandar (PKB), Airlangga Hartarto (Golkar), Zulkifli Hasan (PAN), dan Mardiono (PPP) itu  tanpa kehadiran Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, dan Ketua Umum NasDem, Surya Paloh yang sesungguhnya masih menjadi bagian dari unsur pemegang kekuasaan pemerintahan di Indonesia.

Tidak diajaknya Megawati Soekarno Putri sebagai Ketua Umum PDIP dalam pertemuan tersebut mengindikasikan bahwa Jokowi sedang menjaga jarak atau mungkin sedang bermanuver dengan PDIP untuk menentukan jalan politiknya yang berbeda dengan arahan Megawati sebagai Ketua Umumnya.

Terbukti kemudian dua partai yang ikut bergabung dalam pertemuan tersebut yaitu Golkar dan PAN merapat ke Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presidennya. Merapatnya dua partai ini menurut pengamat sangat mungkin terjadi karena ada pengaruh Jokowi disana. Karena dia sebagai salah satu king makernya.

Situasi tersebut telah menyebabkan PDIP menjadi tidak nyaman karena Ganjar yang menjadi satu satunya calon yang di usung PDIP ternyata terkesan “dicueki” oleh Jokowi yang sebenarnya harus tegak lurus untuk terus mendukungnya.

Menurut penilaian pengamat politik Rocky Gerung perseteruan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri terjadi karena Jokowi sering dipermalukan dihadapan kader PDIP dengan mengatakan bahwa Jokowi hanyalah petugas partai saja. Megawati sering mengklaim jika tidak ada PDI Perjuangan nasib Jokowi belum tentu menjadi presiden republik Indonesia.

Oleh sebab itu, Rocky Gerung menilai jika sekedar dikatakan seperti itu kepada Jokowi tidak menjadi soal, namun setelah merasa direndahkan terus-terusan keluarga besar Jokowi akhirnya tidak terima dan terluka oleh perlakuan Megawati yang dinilai semena-mena.

"Ini bukan sekedar kalkulasi politik Pak Jokowi tentang masa depan dia siapa yang bisa menjamin, kan ini soal yang lebih personal sebetulnya raja yang terluka, raja yang terhina, raja yang dipermalukan," ujar Rocky Gerung, dikutip Alowarta.com dari akun Youtube Rocky Gerung Official, Kamis, 25 Mei 2023.

Rocky Gerung membayangkan perlakukan dan ucapan Megawati yang menyakitkan itu menjadi pembahasan keluarga Jokowi ketika makan malam bersama."Semua itu membekas pada publik bahwa Pak Jokowi memang direndahkan oleh Megawati itu dan itu masuk di dalam pasti masuk dalam percakapan makan malam keluarga Jokowi ," ucapnya.

Apa yang dikatakan oleh Rocky Gerung itu sepertinya masuk akal juga. Jokowi sebagai keluarga Jawa yang karakternya terbiasa menyimpan amarah ketika marah akhirnya sudah tidak dapat terbendung sehingga berimbas pada keretakan hubungan dengan Mega yang menjadi Ketua Umumnya.

Diam diam sebagai orang Jawa, Jokowi bisa saja menyimpan dendam meskipun tidak langsung di perlihatkannya. Perihal sifat pendendamnya ini barangkali kita bisa memutar kembali pernyataan politikus senior PDIP Panda Nababan dalam acara ILC yang dipandu Karni Ilyas beberapa waktu yang lalu. Dalam talkshow itu, Panda Nababan mengurai cerita soal sikap Presiden Jokowi terkait pencopotan Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI.

Awal kisah dimulai saat Jokowi hadir dalam perayaan HUT TNI tahun 2017 di Cilegon. Presiden Jokowi terpaksa harus berjalan kaki sejauh 2 kilometer menuju lokasi acara karena kepadatan arus lalu lintas di sekitar lokasi yang dikunjunginya. Selain itu juga karena tidak ada penyambutan khusus agar akses presiden bisa lancar jalannya. Jokowi, dalam cerita Panda, seolah menandai perlakuan Gatot Nurmantyo terhadap presidennya.

Diam-diam Jokowi membalas perlakuan Gatot itu pada saat acara pernikahan Kahiyang Ayu di Solo. Gatot diperlakukan sebagai warga biasa dan tidak ada keistimewaan yang didapatnya. Berbeda dengan para koleganya yang mendapat peran khusus sebagai tuan rumah dan memakai bunga merah di pakaian mereka. Gatot bahkan terpaksa harus antre dan berdesak-desakan seperti tamu biasa untuk bisa menyalami Jokowi yang menjadi atasannya. Puncaknya, kata Panda, 5 bulan setelah peristiwa itu, Gatot dicopot dari jabatannya sebagai panglima.

Kisah ini seolah ingin memberi gambaran bahwa Jokowi merupakan seorang pendendam dan dendam tersebut bisa saja akan diwujudkan dalam bentuk langkah langkah politik yang diambilnya. Apakah langkah Jokowi untuk mengendors Prabowo dengan mengabaikan Ganjar Pranowo ( yang saat ini “dikuasai” oleh Megawati) merupakan bentuk balas dendamnya ?

Sementara di mata tokoh senior DR. Rizal Ramli, Jokowi adalah orang yang biasa melancarkan jurus “nabok nyilih tangan”. Modusnya, Jokowi akan pura-pura tidak beraksi atas apa yang menimpanya. Tapi diam-diam dia menyiapkan “Seseorang” untuk bisa menggebuk orang yang bertentangan dengannya.

RR, sapaan akrab Rizal Ramli, mencontohkan apa yang terjadi di Jakarta. Di mana Jokowi menggunakan mantan ajudan terpercayanya untuk “merusak “apa yang sudah dilakukan Anies Baswedan saat jadi gubernur DKI Jakarta.

Hal yang sama juga terjadi pada kasus Rocky Gerung yang dinilai telah menghinanya. Meskipun Jokowi menyatakan bahwa penghinaan itu hanya hal kecil saja dan dia cukup bekerja saja tapi orang orang disekitarnya yang menjadi pendukungnya dibiarkan marah marah bahkan mengancam Rocky Gerung sehingga mengancam keselamatannya.

Apakah langkah politik yang saat ini sedang dilancarkan oleh Jokowi untuk atasannya yang bernama Megawati Soekarno Putri itu sebagai perwujudan balas dendam sebagai akibat pelakuan yang selama ini diterimanya ?

Dendam dan Pengkhianatan

Siapapun orangnya kalau sering di rendah rendahkan di hadapan publik atau orang banyak pasti akan kesel juga. Bukan hanya kesal tapi bisa memunculkan dendam dihati yang tidak mudah untuk bisa dihilangkan karena menyangkut harga dirinya.

Sebagai seorang presiden sepertinya Jokowi memang sering mendapatkan perlakuan yang bernuansa merendahkan kredibilitasnya meskipun secara formal ia telah menduduki posisi mentereng sebagai presiden republik Indonesia. Tetapi karena ia naik menjadi orang pertama Indonesia melalui partai PDIP maka mau tidak mau ia harus rela untuk sering disebut sebagai petugas partai oleh Ketua Umumnya.

Istilah petugas partai yang dikumandangkan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, dihadapan ribuan  kader PDIP memang bisa membuat Presiden Jokowi merasa tidak nyaman bekerja.

Bukan hanya itu saja, dalam memperingati HUT ke -50 PDIP di JIExpo Kemayoran, Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri sempat menyebut Presiden Jokowi : “kasihan jika tanpa PDIP”. Yang mengandung makna seolah olah tanpa PDIP Jokowi bukan siapa siapa dan tidak menjadi apa apa.

Meskipun pernyataan tersebut mungkin ada benarnya tapi rasanya tidak elok kalau harus di ungkapkan dalam suatu forum terbuka yang dihadiri oleh ribuan kader PDIP dalam posisi Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia.

Ekspresi wajah Jokowi selama mendengarkan pidato Megawati memang tampak tidak nyaman alias kurang bisa menerima. Hal tersebut terlihat dari senyum yang tidak lepas dari Jokowi saat Megawati melempar candaan, khususnya candaan yang menyerempet namanya. Terlebih, candaan Megawati mendapat tepukan dari kader-kader inti PDIP yang notabene sebagian menjadi anak buahnya

Candaan tersebut disinyalir telah memunculkan luka bahkan dendam dalam hatinya. Karena bagaimanapun Jokowi saat ini adalah seorang presiden, yang perlu dihormati oleh siapapun termasuk ketua umum partai politik yang telah mengusungnya.

Bagi seorang yang berasal dari Jawa, tentu Jokowi tidak akan terima dengan kalimat yang disampaikan di hadapan ribuan orang tersebut. Seolah, seorang Jokowi tidak bisa berdiri sendiri dan sangat tergantung pada pihak lain sehingga  seolah olah ia tidak berdaya.

Karena itu sangat wajar kalau dendam itu kemudian bakal diwujudkan melalui langkah langkah politik yang kemudian diambilnya. Ini semua dilakukan untuk menunjukkan bahwa dia  berada di atas segalanya. Bisa saja dia berkeinginan menjadi kingmaker Pilpres 2024 menyaingi Megawati yang menjadi Ketua Umumnya.

Untuk itu salah satu langkah politiknya adalah, Jokowi berusaha mendorong calon yang dikehendaki untuk bisa berlaga dan menang sebagai bentuk pembuktiannya.  Ia kemudian meng endorse Prabowo dengan koalisi besarnya serta kemungkinan akan mendorong Gibran Rakabuming sebagai  Cawapres pendampingnya.  Langkah ini bisa jadi menjadi salah cara untuk membalas dendamnya.

Kalau memang benar pada akhirnya nanti secara resmi Jokowi memilih untuk menjagokan Prabowo dan kemudian menyorong Gibran menjadi calon wakil Presiden Prabowo maka tidak terbayangkan betapa sakit hatinya Ibu Mega. Karena orang yang selama ini di perjuangkannya mulai menjadi Walikota Solo, menjadi Gubernur DKI kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia akhirnya mengkhianati dia.

Jokowi akan menjadi seperti Malin Kundang yang melupakan jasa Megawati yang telah berjuang sampai ia menjadi orang pertama di Indonesia. Tak hanya Megawati, sikap Jokowi itu dinilai juga akan menyakiti jutaan simpatisan PDIP di seluruh Indonesia.

Tapi yang paling ngeri adalah seumur hidup Jokowi dan keluarga akan mendapat cap pengkhianat yang tidak akan pernah dilupakan oleh orang itu dan kader PDIP yang jutaan jumlahnya. Seperti luka yang terus menerus akan jadi dendam politik sepanjang masa.

Apa yang dilakukan oleh Jokowi ini bila memang benar benar terjadi, berarti dia telah melakukan nomadisme politik, meminjam istilah Selamat Ginting, Analis politik Universitas Nasional (Unas) dalam sebuah tulisannya seperti dimuat di law-justice, 15/08/23.

Menurut Ginting, nomadisme politik sangat erat dengan psikis aktor politik, sehingga rela mengorbankan identitas bahkan ideologi politiknya. Kondisi psikis itu membuat aktor politik dalam hal ini Jokowi melakukan perlawanan politik untuk memenuhi hasrat berkuasa termasuk balas dendamnya.

Nomadisme politik yang dilakukan Jokowi bagi PDIP merupakan pengkhianatan politik. Tindakan ini tentu saja tidak dikehendaki Megawati Sukarnoputri dan partai bisa mengambil tindakan tegas terhadap Jokowi, seperti pemecatan misalnya.

Tetapi apakah PDIP melalui Ketua umumnya yaitu Megawati berani mengambil tindakan tegas terhadap kadernya yang saat ini berposisi sebagai Presiden Republik Indonesia dengan alasan ia telah mengkhianati partainya ?

Hari hari ke depan menjelang pemilu tiba, nampaknya suhu politik akan semakin memanas dan memuculkan kejadian kejadian yang tidak terduga. Dugaan keretakan hubungan antara Jokowi dan Mega nampaknya akan terjawab setelah masing masing partai koalisi menentukan siapa yang di usung menjadi wakil presidennya. Kita tunggu saja tanggal mainnya !

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar