Nawaitu Redaksi,

Penuntutan Kembali Kasus `Kudatuli`, Ritual Politik yang Sudah Basi?

Senin, 31/07/2023 16:32 WIB
DPP PDI Perjuangan memperingati peristiwa 27 Juli 1996 atau yang dikenal dengan Tragedi Kudatuli dengan menggelar diskusi bertajuk Refleksi Peristiwa 27 Juli 1996 Gerbang Demokratisasi Indonesia di Jalan Diponegoro Nomor 58, Jakarta, Kamis (27/7/2023). Hadir sebagai pembicara aktivis HAM atau Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, sejarawan Bonnie Triyana dan  politikus PDI Perjuangan Ribka Tjiptaning dan moderator Hasto Kristiyanto Sekjen PDI Perjuangan. Hasto menyampaikan Ketua

DPP PDI Perjuangan memperingati peristiwa 27 Juli 1996 atau yang dikenal dengan Tragedi Kudatuli dengan menggelar diskusi bertajuk Refleksi Peristiwa 27 Juli 1996 Gerbang Demokratisasi Indonesia di Jalan Diponegoro Nomor 58, Jakarta, Kamis (27/7/2023). Hadir sebagai pembicara aktivis HAM atau Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, sejarawan Bonnie Triyana dan politikus PDI Perjuangan Ribka Tjiptaning dan moderator Hasto Kristiyanto Sekjen PDI Perjuangan. Hasto menyampaikan Ketua

Jakarta, law-justice.co - Bersamaan dengan peringatan peristiwa Kudeta Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli) tanggal 27 Juli yang lalu, Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) telah meminta kepada DPR dan Presiden Jokowi agar menetapkan peristiwa itu sebagai pelanggaran berat HAM (Hak Azasi Manusia).

Bukan hanya itu, PDIP juga akan membentuk tim hukum untuk membuktikan adanya pelanggaran HAM berat peristiwa Kudatuli yang dinilai sebagai salah satu insiden pelanggaran HAM yang paling brutal di Indonesia

Seperti apa gambaran terjadinya peristiwa Kudatuli ini sehingga sangat penting untuk bisa dicarikan segera jalan keluarnya?,  Benarkah tuntutan untuk mengusut kembali kasus Kudatuli saat ini sebenarnya hanya merupakan agenda politik semata ?

Sejarah Kudatuli

Peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996 merupakan salah satu peristiwa kelam yang tidak dapat dilupakan dalam sejarah politik di Indonesia. Peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996 itu sering disebut juga dengan peristiwa Sabtu Kelabu karena terjadi pada hari Satu saat sebagian besar warga masyarakat sedang menikmati liburan akhir pekannya.

Dikutip dari laman resmi Komnas HAM, peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996 adalah peristiwa kekerasan yang terjadi di kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada tanggal 1996 tepatnya tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996 itu terjadi di Kantor Sekretariat DPP PDI Perjuangan, Jalan Diponegoro Nomor 58, Menteng, Jakarta.

Penyebab peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996 itu diduga disebabkan oleh perebutan kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) antara kubu Megawati Soekarnoputri dengan kubu Soerjadi yang didukung oleh penguasa orde baru (Orba) .

Kalau di hitung dari peringatan yang sekarang, peristiwa Kudatuli itu sudah terjadi 27 tahun silam ketika rezim Suharto berada di puncak kekuasaannya. Sebagaimana diketahui, peristiwa kerusuhan tersebut telah memakan sejumlah korban tewas, luka-luka, bahkan hilang tak diketahui dimana keberadaannya.

Berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM, disebutkan korban Kudatuli 27 Juli 1996 antara lain: lima orang tewas, 149 orang luka, dan 23 orang hilang dan 149 orang luka luka. Adapun kerugian materiil akibat tragedi Kudatuli 27 Juli 1996 diperkirakan mencapai Rp 100 miliar nilainya.

Komnas HAM juga menilai terjadi 6 bentuk pelanggaran HAM dalam peristiwa Kudatuli diantaranya : Pelanggaran asas kebebasan berkumpul dan berserikat, Pelanggaran asas kebebasan dari rasa takut, Pelanggaran asas kebebasan dari perlakuan keji, Pelanggaran asas kebebasan dari perlakuan tidak manusiawi, Pelanggaran perlindungan terhadap jiwa manusia dan Pelanggaran asas perlindungan atas harta benda.

Tidak hanya itu, penyair dan aktivis HAM Widji Tukul sampai sekarang belum jelas keberadaan dan siapa yang menculiknya. Widji Tukul hilang meski sempat menghadiri 1 tahun Kudatuli dan membacakan puisinya.

Penting Di usut Kembali

Seperti diakui oleh Komnas HAM,  penyelesaian kasus pelanggaran HAM dalam peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996 itu bukanlah suatu hal yang mudah penanganannya. Komnas HAM menyebutkan, butuh dukungan politik dari semua pihak agartidak ada pihak pihak tertentu yang menghambat  proses penyelesaiannya.

Untuk diketahui, hingga saat ini, kasus Kudatuli 27 Juli 1996 itu masih belum terungkap siapa dalang atau apa penyebabnya. Sementara itu, keluarga korban Tragedi 27 Juli 1996 (Kudatuli) sampai saat ini masih terus menuntut adanya keadilan akan peristiwa yang menimpa keluarganya.

Harapan agar supaya kasus Kudatuli di usut tuntas memang banyak disampaikan oleh banyak pihak bukan saja PDI-P yang menjadi korbannya tetapi juga elemen bangsa lainnya khususnya kalangan aktifisi hak azasi manusia.

Sebagai contoh Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid telah meminta Komnas HAM dan pemerintah agar mengusut tuntas kasus Kudatuli dengan cara membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.

"Kasus ini harus dibongkar, kalau tidak dibongkar ini bisa berulang," ujar Usman dalam Refleksi Peristiwa 27 Juli 1996 Gerbang Demokratisasi Indonesia di Kantor DPP PDIP, Jakarta seperti dikutip media.

Menurut dia, kasus tersebut harus dibongkar supaya tak kembali berulang pada partai-partai lain di di Indonesia.Pasalnya, Usman menilai peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996 merupakan insiden pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang paling brutal di Indonesia.

"Peristiwa 27 Juli kalau kita melihat sebenarnya ini satu bentuk pelanggaran HAM yang paling brutal di tahun 90-an," jelasnya.

Untuk itu, ia meminta seluruh partai politik (parpol) di Parlemen untuk mendukung penyelesaian kasus ini segera. Parpol Parlemen juga harusnya meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menerbitkan Keppres tentang Pengadilan HAM Ad Hoc peristiwa 27 Juli itu sebagai wujud keseriusannya.

Apa yang disampaikan oleh Usman Hamid kiranya sangat relevan dengan situasi sekarang ini dimana konflik dan pengambil alihan partai politik disertai campur tangan  penguasa sudah sering terjadi sehingga mengganggu kehidupan demokrasi di Indonesia.

Sebagai contoh partai Demokrat sempat di coba untuk “dicopet” oleh pihak istana melalui Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko meskipun akhir gagal alias tidak mencapai tujuannya. 

Seperti diketaui, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko sempat menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Hotel The Hill, Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat malam 5 Maret 2021 yang lalu telah mencoba untuk mengambil alih partai Demokrat guna menetapkan dirinya sebagai ketua umumnya.

Drama politik KLB Demokrat  itu memang telah membuat gempar jagad perpolitikan di Indonesia. Terutama pengurus Partai Demokrat hasil Kongres 2020 di bawah pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang mau diambil alih partainya.

Meski sudah mengetahui rencana kudeta yang disebut dengan Gerakan Pengambilalihan Kepemimpinan Partai Demokrat (GPK PD), banyak yang tidak menyangka kelompok ini nekat melakoninya.

Kasus yang terjadi di Demokrat itu hanya sebagian saja. Karena banyak juga partai lain yang berkonflik dan diduga ada peran dari penguasa disana. Seperti misalnya konflik yang terjadi di partai PDI pada zaman Orba berkuasa.

Saat itu dualism PDI dimulai ketika Kongres PDI di Medan pada 1993, dimenangkan petahana Soerjadi. Calon kalah adalah Budi Hardjono yang disokong rezim Soeharto berusaha menduduki arena kongres yang kemudian membuat kongres gagal mencapai hasilnya

Di tahun itu pula  PDI menggelar kongres luar biasa di Surabaya. Tepatnya pada Desember 1993. Secara mengejutkan, Megawati Soekarnoputri menjadi pemenang dengan meraih 256 dari 305 suara cabang mengalahkan Budi Hardjono yang disokong penguasa Orba.

Kubu Budi Hardjono lagi-lagi menolak kekalahan itu sehingga membuat KLB berujung deadlock.  Akhirnya Megawati mengumumkan dirinya secara de facto sebagai Ketua Umum PDI.

Namun kubu yang kalah merasa tidak terima kemudian secara sepihak, menggelar Kongres IV PDI di Medan, pada bulan Mei 1996 dimana dalam konggres ini Soerjadi dipakai sebagai `boneka` oleh rezim untuk mendongkel Megawati dari kursinya.

Konflik antara Megawati Soekarnoputri dan Soerjadi, berakhir dengan kekerasan berdarah menewaskan lima orang dan ratusan terluka. Kejadian pada 27 Juli 1996 yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Kudatuli,

Partai Golkar juga tidak luput dari konflik dualisme. Momen itu muncul usai Munas 2014 di Bali. Dimana kubu Agung Laksono merasa tidak puas dengan terpilihnya kembali Ketua Umum Aburizal Bakrie (Ical) yang memimpin sejak 2009. Akhirnya kubu Agung Laksono menggelar Munaslub di Ancol, Jakarta. Dua kubu saling mengklaim kepengurusan.

Maret 2015, Kemenkum HAM mengesahkan Golkar yang dipimpin Agung Laksono. Namun pada April 2015, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengeluarkan putusan sela menunda SK pengesahan itu. Kubu Agung Banding, dan PTTUN menolak gugatan kubu Ical terkait dualisme kepengurusan partai. Oktober 2015, Mahkamah Agung justru mengabulkan kasasi kubu Aburizal Bakrie dan mengesahkan kepengurusan Ical.

Atas peran Jusuf Kalla selaku wakil presiden kala itu, sekaligus mantan ketua umum Golkar, kedua kubu berdamai dengan menggelar Munaslub tahun 2016. Kubu Ical dan Agung kemudian tidak mengikuti pencalonan. Hasilnya nama Setya Novanto terpilih menjadi ketum Golkar yang baru

Selain partai partai yang disebutkan diatas, sejauh ini ada empat partai lain mengalami perebutan kekuasaan di internal partainya. Di antaranya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hanura dan Partai Berkarya. Beragam konflik kepentingan melatarbelakangi masalah dualisme di dalamnya.

Terkait dengan hal tersebut, Peneliti Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiarti mengatakan, persoalan paling mendasar terjadinya perpecahan internal partai politik di Indonesia adalah karena  tidak adanya faktor ideologi dan platform yang mengikat kuat antar anggotanya. Karena hampir semua parpol mendasarkan loyalitas anggotanya terhadap ketokohan dan pragmatism semata

Selain itu konflik di partai semakin menghangat dengan adanya campur tangan penguasa baik secara halus maupun terang terangan demi untuk kepentingan kekuasaannya.

Campur tangan penguas ini akhir akhir ini demikian terasa dengan adanya gejolak yang terjadi di partai Demokrat dan partai Golkar yang mana Airlangga sebagai Ketua Umumnya berusaha didongkel dari kursinya.

Berangkat dari fenomena tersebut maka menjadi penting untuk mengusut tuntas kasus Kudatuli agar supaya kasus kasus seperti  itu tidak tidak terulang lagi nantinya. Agar tidak ada lagi upaya menggunakan aparat negara untuk melakukan tindakan yang bersifat kekerasan kepada rakyatnya sendiri hanya demi kepentingan kekuasaan belaka.

Selain itu agar supaya kasus dimasa lalu itu tidak hanya sekadar menjadi kenangan pahit, khususnya bagi keluarga yang menjadi korbannya. Agar jangan pula kasus itu menjadi beban dan permainan di masa selanjutnya.

Karena kasus yang tak tuntas kadang dimanfaatkan untuk kepentingan politik semata yang jauh dari upaya untuk menuntaskan inti permasalahnnya.

Sekadar Basa Basi ?

Tentu kita semua sepakat dengan PDI-P yang menuntut agar kasus Kudatuli bisa ditetapkan sebagai pelanggara HAM berat dan kasusnya dapat di buka kembali untuk  diselesaikan segera.  Permintaan PDI-P ini sebenarnya bukan hanya kali ini saja. Jauh sebelumnya sudah ada upaya agar kasus ini bisa dicarikan jalan penyelesaiannya

Berdasarkan catatan, pada tahun 2018 yang lalu, Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto pernah meminta Ketua Umum Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono agar mau mengungkap informasi peristiwa Kudatuli ini bahkan  Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto saat itu pernah mengadukan peristiwa ini ke Komnas HAM, Kamis (26/7/2018).

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah permintaan dan harapan untuk penyelesaian kasus ini oleh PDI-P benar benar serius demi kepentingan bersama khususnya mereka yang menjadi korbannya atau hanya sekadar basa basi untuk kepentingan politis semata ?

Kalau kita lihat sejarah penyelesaian kasus ini memang sudah berlangsung cukup lama bahkan sejak Megawati berkuasa menjadi presiden Indonesia. Seperti diketahui Pasca-insiden Kudatuli, Megawati menyerukan pendukungnya untuk tenang sembari menunggu hasil gugatan terhadap pemerintah dan Soerjadi di pengadilan.

Megawati akhirnya kalah dalam gugatan itu dimana akibat kekalahannya justru menguatkan posisinya dalam kontestasi politik di Indonesia.PDI-P yang dibentuknya menang pemilu dan ia menjadi wakil presiden bagi Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Di era pemerintahan Gus Dur, penyelidikan Kudatuli kembali dibuka. Saat itu, tekanan publik terutama dari keluarga korban begitu kuatnya. Ini ditambah sikap politik baru polisi terhadap militer pasca-pemisahan Polri dari ABRI (Angkatan bersenjata Republik Indonesia).Penyelidikan Peristiwa Kudatuli yang mengarah ke sejumlah petinggi militer secara tak langsung telah memperlancar proses pemisahan Polri dari tentara.

Saat itu para penyidik yang ingin mengusut kasus Kudatuli diteror untuk tidak melanjutkan pengusutannya. Nyatanya, masalah teknis pembuktian yang rumit telah membuat penyelidikan 27 Juli 1996 sangat lambat prosesnya.

Dalam pengusutan kasus tersebut, Soerjadi dan sejumlah orang lainnya sempat dijadikan tersangka dan ditahan, tetapi kasusnya menggantung tak kunjung dilempar ke kejaksaan sampai akhirnya Gus Dur lengser dari kursi kekuasaannya.

Pada tahun 2001, Megawati diangkat menjadi Presiden RI menggantikan Gus Dur yang sudah dilengserkan dari kursinya. Di era Megawati ada harapan besar kasus Kudatuli bisa tuntas karena kebetulan pihaknyalah yang paling dirugikan dengan kasus ini karena para pendukungnya yang menjadi korbannya.

Namun apa yang terjadi ? DI era Megawati justru pengusutan kasus Kudatuli tidak berjalan sebagaimana dugaan banyak orang pada umumnya. Disinyalir ada pertentangan kepentingan yang dihadapi Mega menyangkut insiden Kudatuli ini sehingga tidak bisa diselesaikan sebagaimana mestinya.

Saat itu sesungguhnya Megawati sebagai Presiden RI bisa menggunakan pengaruhnya untuk melakukan investigasi dan mendorong DPR untuk menyatakan kasus Kudatuli sebagai pelanggaran HAM berat dan minta supaya ada penuntasan kasusnya.

Namun nyatanya hal itu tidak dilakukan bahkan menurut keterangan dari Wakil Sekjen Partai Demokrat Rachland Nashidik sebagaimana dikutip media pada Jumat (27/7/2018) menyatakan bahwa  Megawati justru menghalangi penyidikan Tim Koneksitas Polri atas kasus Kudatuli dengan alasan pemilu sudah dekat.

Yangg lebih aneh lagi menurut Rachland, Fraksi PDI-P sejak Megawati menjabat Presiden bukan saja tidak pernah mendukung, tetapi paling keras menolak hadirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang di usulkan Koalisi Masyarakat Sipil  saat itu.

Sebagai Ketua Umum PDI-P, Megawati tidak memerintahkan fraksinya menyetujui inisiatif  pembentukannya. Padahal bila komisi itu terbentuk, menurut Rachland, Megawati mendapat alat yang kuat untuk mengungkap kasus Kudatuli.

"Begitulah, saat para korban 27 Juli masih keras berteriak, Megawati memilih berkompromi demi melindungi kekuasaan politiknya," imbuhnya.

Bahkan yang lebih aneh dan ajaibnya, pada waktu Presidem Megawati berkuasa ia berkenan untuk mengangkat Sutiyoso, Pangdam Jaya saat kejadian, menjadi Gubernur DKI Jakarta. Fenomena ini menjadi suatu yang cukup ganjil kelihatannya karena berarti ia berkompromi dengan pihak pihak yang selama ini diyakini menjadi bagian dari pelaku Kudatuli yang seyogyanya menjadi tersangka.

Alhasil, Pengadilan Koneksitas yang digelar di era Megawati hanya mampu membuktikan seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke Kantor PDI.

Ia dihukum dua bulan sepuluh hari. Sementara dua perwira militer yang disidang, Kol CZI Budi Purnama (mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Letnan Satu (Inf) Suharto (mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya) divonis bebas.

Kini setelah PDIP kembali berkuasa melalui petugas partainya yaitu Presiden Jokowi,tuntutan PDI-P agar kasus Kudatuli dijadikan sebagai peristiwan pelanggaran HAM berat dan agar segera di usut, kembali mengemuka.

Sesungguhnya dengan konstelasi politik yang ada saat ini di DPR, yang hampir semuanya pro pemerintah dan pemerintah Jokowi yang sangat “berkuasa” tidaklah sulit untuk merealisasikannya. Apalagi saat ini sebenarnya apapun yang dikehendaki oleh pemerintah, pihak DPR akan dengan mudah merestuinya. Bukankah sekarang yang namanya partai “oposisi” sudah tidak berdaya?

Sehingga berangkat dari keganjilan keganjilan tersebut diatas dimana kemudian ada manuver PDI-P melalui Sekretaris Jenderalnya Hasto Kristiyanto, yang meminta supaya kasus Kudatuli dijadikan peristiwa pelanggaran HAM berat dan di usut tuntas, nampaknya memang lebih tepat hanya basa basi politik belaka.

Sepertinya ada tujuan dan agenda tertentu dibalik upaya mendorong penetapan peristiwa Kudatuli menjadi pelanggaran HAM berat dan pengusutannya. Agenda itu misalnya untuk mengalihkan perhatian orang dari kasus kasus aktual yang saat ini mencuat misalnya kasus korupsi BTS yang tidak jelas kemana arahnya

Bisa juga bertujuan untuk mendeskreditkan calon presiden lain diluar calon presiden yang tidak didukung oleh PDI-P. Dalam hal ini calon presiden Prabowo Subianto yang di identikkan berasal dari unsur militer dan menjadi bagian dari pemerintah Orba.

Atau untuk mendeskreditkan calon Presiden Anies Baswedan yang di dukung oleh Partai Demokrat karena  Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto pernah meminta mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar mengungkap tabir kasus Kudatuli.

Hasto menilai bahwa SBY memiliki informasi penting dalam kasus Kudatuli itu mengingat saat kejadian, SBY masih aktif di tentara.

Di ungkitnya kembali kasus Kudatuli bisa jadi juga dimaksudkan untuk membangkitkan kembali rasa simpati masyarakat atas nasib PDI-P yang dimasa lalu pernah dizalimi oleh penguasa Orba sehingga menjelang Pilpres 2024 nanti hal hal yang berbau Orba perlu dijadikan sebagai “musuh” bersama.Kira kira begitu harapannya ?

Kalau memang benar demikian maksud dan tujuannya maka upaya untuk menyelesaikan kasus Kudatuli bukan demi kepentingan mereka yang menjadi korbannya atau demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Tetapi demi tujuan politis semata, yang sebenarnya sudah basi karena selalu di gaungkan setiap tahunnnya. Benarkah demikian faktualnya?

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar