Eks Ka BAIS: Selesaikan Kasus Basarnas Lewat Koneksitas

Minggu, 30/07/2023 23:07 WIB
Mantan Ka BAIS TNI, Laksda TNI (PURN) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH. (Tirto)

Mantan Ka BAIS TNI, Laksda TNI (PURN) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH. (Tirto)

law-justice.co - Drama penetapan Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus merebak. Polemik pun mengemuka, apalagi setelah KPK mengakui ada kekeliruan dan meminta maaf. Menyikapi polemik ini, mantan Ka BAIS TNI, Laksda TNI (PURN) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, menegaskan ada jalan tengah untuk itu.

Dia menegaskan KPK tidak berhak menetapkan secara sepihak status tersangka kasus korpus Marsdya TNI, Hendry Alfiandi. Penetapan status tersangka kasus korupsi adalah hasil koordinasi paling kurang dengan POM TNI. “Pengadilan Marsdya TNI Hendry Alfiandi dapat dilaksanakan pada pengadilan Koneksitas,” ujar Soleman, Minggu (30/7/2023) sebagaimana dilansir Bergelora.

Menurut Sulaiman, peradilan koneksitas bisa diterapkan dalam penanganan kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI bersama kalangan sipil, KPK dan POM TNI dapat menangani perkara ini secara bersama-sama. Peradilan koneksitas menangani kasus pidana yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada kekuasaan peradilan umum dan militer. Proses penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh tim yang terdiri atas jaksa, polisi militer, dan oditur militer.

Adapun proses pemeriksaan di pengadilan dilakukan oleh lima hakim yang berasal dari unsur hakim peradilan umum dan peradilan militer. “Lihat saja contohnya penanganan Kasus Dugaan Korupsi yang terjadi di Bakamla,” ujar Soleman.

Peristiwa ini terjadi pada tahun 2016, yakni kasus dugaan suap dalam proyek pengadaan satelit pemantau di Badan Keamanan Laut (Bakamla) senilai Rp 200 miliar. Dari lima orang yang ditangkap saat OTT, empat orang langsung ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Mereka adalah Deputi Bidang Informasi Hukum dan Kerja Sama Eko Susilo Hadi dan Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia, Fahmi Darmawansyah, serta dua pegawainya, Hardy Stefanus dan Muhammad Adami.

Adapun Danang Radityo, yang diduga sebagai anggota TNI, akhirnya dilepas dan KPK hanya bisa berkoordinasi dengan Pusat Polisi Militer (POM) TNI. Bambang Udoyo didakwa menerima uang suap senilai SGD 105 ribu atau setara dengan kurang-lebih Rp 1 miliar dari PT Melati Technofo. Uang tersebut diterima sebagai hadiah karena telah memenangkan lelang terkait proyek pengadaan satelit monitoring Bakamla.

Sidang putusan kasus suap terkait proyek satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) dengan terdakwa Laksma TNI Bambang Udoyo digelar di Pengadilan Tinggi Militer Jakarta. Laksma Bambang didakwa menerima suap senilai SGD 105 ribu atau setara dengan kurang-lebih Rp 1 miliar dalam kasus ini.

Bambang menerima uang tersebut dari Fahmi Darmawansyah (terdakwa lain yang telah divonis di Pengadilan Tipikor Jakarta) melalui anak buah senilai SGD 100 ribu. Uang tersebut diberikan di ruangan Bambang di kantor Bakamla pada 6 Desember 2016.

“Dari Uraian diatas, terlihat bahwa TNI tidak kebal hukum. Dalam kasus korupsi sudah ada TNI yang juga dihukum,” pungkasnya.

 

 

 

 

 

 

(Bandot DM\Bandot DM)

Share:




Berita Terkait

Komentar