Surya Mukti Pratama, S.H, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Analisis Hukum Prinsip Non-Ultra Petita dalam Konteks Putusan PTUN

Sabtu, 15/07/2023 00:01 WIB
Ilustrasi Putusan Hakim Ultra Petita (Hukum Expert)

Ilustrasi Putusan Hakim Ultra Petita (Hukum Expert)

[INTRO]

Pengadilan tata usaha negara (PTUN) sebagai peradilan administrasi di Indonesia merupakan perwujudan salah satu pilar negara hukum (rechtstaat), yang bertujuan menyediakan sarana perlindungan bagi warga masyarakat dari tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat atau penguasa.

Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, PTUN memiliki kompetensi absolut untuk memutus sengketa tata usaha negara seperti yang diatribusikan dalam Pasal 47 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Secara struktur keorganisasian, berdasarkan Pasal 24 UUD 1945 jo. Undang-Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pada Pasal 18 menenetukan bahwa PTUN berada dalam sistem kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung.

Tentunya sebagai satu bagian dari sistem kekuasaan kehakiman yang ada dibawah Mahkamah Agung, PTUN terikat oleh berbagai asas-asas dan prinsip-prinsip peradilan pada umumnya, seperti yang dimuat dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, disamping terikat pula oleh asas-asas khusus yang berbasis pada hukum administrasi seperti asas praduga sah keputusan (vermoeden van rechtmategheid), putusan erga omnes dan sebagainya. (Martitah: 2014)

Salah satu asas hukum umum yang dikenal kaitannya dengan hukum acara adalah putusan hakim bersifat non-ultra petita, yang artinya putusan hakim tidak boleh melebihi yang dimintakan oleh penggugat.

Asas ini telah dipegang secara strict oleh hakim-hakim perdata karena telah ditegaskan dalam Pasal 178 (3) HIR yang berbunyi “ia tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih daripada yang digugat” dan Pasal 189 (3) Rbg yang merupakan sumber utama hukum acara perdata.

Menurut Yahya Harahap, hakim yang mengabulkan tuntutan melebihi posita maupun petitum gugatan, dianggap telah melampaui wewenang atau ultra vires, yakni bertindak melampaui wewenangnya. Apabila putusan mengandung ultra petita, maka putusan tersebut harus dinyatakan cacat meskipun hal itu dilakukan hakim dengan itikad baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public interest) (Yahya Harahap :2008).

Akan tetapi dalam hukum acara pidana asas ini nampaknya tidak berlaku sama, Prof. Bagir Manan menyatakan bahwa Putusan Ultra Petita boleh dilakukan, dengan syarat dalam petitum subsidair harus tercantum permohonan Ex aequo et bono atau “Jika Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (atau kalimat yang senada dengan itu). (Yagie Sagita Putra, 2017).

Pertanyaan kemudian, apakah asas non-ultra petita ini menjadi asas yang mutlak harus diikuti, artinya tidak boleh disimpangi oleh hakim pada pengadilan tata usaha negara atau diperbolehkan?  Pertanyaan itulah yang hendak dijawab oleh penulis pada uraian berikut.

Kemungkinan Ultra Petita pada Putusan PTUN

Jika merujuk pada Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah terkahir dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA), terdapat aturan yang jika ditafsirkan, maka secara tidak langsung telah menunjukan larangan putusan pengadilan yang bersifat ultra petita. Pasal itu adalah Pasal 67 UU MA yang memuat alasan mengajukan Peninjauan Kembali, dimana rumusannya menyebut:

“Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:

  1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
  2. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
  3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
  4. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
  5. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain’
  6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata”

Namun demikian, perlu diketengahkan bahwa dalam UU PTUN 1986 dan UU perubahannya tidak terdapat aturan secara tegas mengenai larangan putusan TUN yang berifat ultra petita, begitupun tidak ada aturan yang secara tegas membolehkan putusan demikian.

Dalam UU PTUN yang justru ditegaskan adalah hakim TUN menganut asas keaktifan hakim atau dominus litis (vide Penjelasan Umum angka 5 UU PTUN). Prinsip hakim aktif ini dipergunkan untuk mencari kebenaran materil mulai dari tahap pemeriksaan persidangan sampai pembuktian. Maksud dari keberadaan asas ini selain untuk mencari kebenaran materil, juga guna untuk menyeimbangkan kedudukan posisi penggugat dan tergugat.

Menurut pendapat S.F Marbun asas ini menjadi celah penerapan putusan ultra petita, begitupun pendapat dari Paulus Effendie Lotulung yang mengemukakan bahwa penerapan asas hakim aktif dapat membawa konsekuensi putusan melebihi apa yang dimohonkan. (Aju Putrijanti: 2013)

Sejalan dengan kedua pendapat ahli hukum administrasi diatas, ahli hukum administrasi negara lainnya, Prof. Philpus M. Hadjon juga memiliki pendapat yang sama. Menurut Philpus pada masa awal beroperasinya PTUN yang menganggap bahwa meskipun larangan ultra petita adalah prinsip yang melekat bagi hakim TUN, akan tetapi sebagai konsekuensi dari asas hakim aktif dapatkah administrasi melakukan ultra petita? Adakah reformatia in peius? Mengubah vonis yang merugikan pihak pembanding. (Philpus M Hadjon: 1997)

Lalu bagimana dengan larangan putusan ultra petita yang ditafsirkan dari Pasal 67 yang mengatur alasan mengajukan peninajuan kembali dalam UU MA? Menurut hemat penulis ketentuan tersebut hendaknya dimakanai hanya berlaku bagi perkara diluar sengketa TUN (dalam hal ini hanya berlaku an sich bagi perkara perdata) mengingat adanya asas khusus dalam PTUN yaitu keaktifan hakim. 

Pendapat penulis diatas, didasarkan juga karena Mahkamah Agung sendiri dalam Putusan MA-RI No 5/KTUN/1992, yang diputus tanggal 9 Februari 1993, telah membuat kaidah hukum baru kaitannya dengan putusan ultra petita pada sengketa TUN, berikut bunyi kaidahnya. ”bahwa walaupun Penggugat asal tidak mengajukan dalam petitum, MA dapat mempertimbangkan dan mengadili semua  keputusan atau penetapan-penetapan yang bertentangan dengan tatanan yang ada.

Adalah tidak pada tempatnya bila hak menguji hakim hanya pada objek sengketa yang diajukan oleh para pihak karena sering objek sengketa tersebut harus dinilai dan dipertimbangkan dalam kaitannya dengan bagian-bagian penetapan-penetapan atau keputusan Badan atau Pejabat TUN yang tidak dipersengketakan antara kedua belah pihak (ultra petita)”.

Berdasarkan hal diatas, maka menurut penulis prinsip non-ultra petita tidak merupakan prinsip/asas yang mutlak berlaku dalam konteks putusan PTUN, sehingga tidak mengikat mutlak pula bagi hakim TUN. Dengan demikian, dalam putusan-putusan PTUN sangatlah dimungkinkan adanya putusan TUN yang bersifat ultra petita, bahkan, keberadaan putusan ultra petita tersebut sangat mungkin dalam kondisi tertentu diperlukan untuk mencapai tujuan keadilan hukum dan perlindungan hukum bagi masyarakat. 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar