Tjahja Gunawan, Wartawan Senior

Ketika Jokowi dan Megawati Saling Berebut Pengaruh

Selasa, 13/06/2023 13:38 WIB
Joko Widodo dan Megawati (Telegraf)

Joko Widodo dan Megawati (Telegraf)

Jakarta, law-justice.co - Konten terbaru akun Youtube Kaesang Pangarep berisi kesiapan anak Presiden Jokowi ini untuk maju sebagai calon walikota Depok. Dia menyatakan bahwa dirinya sudah mendapat ijin dan restu dari keluarga untuk maju sebagai calon Wali Kota Depok, Jawa Barat.

Dalam tayangan itu, juga diperlihatkan sepintas baliho besar foto Kaesang dengan latar belakang logo Partai Sosialis Indonesia (PSI). Menurut teman-teman yang tinggal di Depok, baliho dan spanduk berbagai ukuran sudah massif ditebar di Kota Depok sebagai bukti dukungan pada Kaesang Pangarep.

Menjadi kepala daerah atau mencalonkan diri sebagai presiden adalah hak semua warga Indonesia. Hanya saja yang mengherankan, Jokowi yang baru menjabat 10 tahun sebagai Presiden sudah mampu menciptakan dinasti politik.

Betapa tidak, anaknya Jokowi Gibran Rakabumi tiba-tiba bisa loncat dari pengusaha martabak menjadi Wali Kota Solo. Demikian pula, mantu Presiden Jokowi, Boby Nasution bisa dengan mudah menjadi Wali Kota Medan. Anak dan mantu Presiden Jokowi tersebut maju dalam pilkada dengan menggunakan PDIP sebagai kendaraan politiknya.

Sekarang giliran Kaesang Pangarep yang mau bertanding dalam kontestasi Pilkada Kota Depok. Bukan hanya PSI, Partai Gerindra melalui Wakil Ketuanya Muzani juga telah menyatakan dukungannya pada Kaesang untuk maju dalam Pilkada Depok.

Namun hingga kini justru belum ada dukungan resmi dari PDIP terhadap rencana Kaesang tersebut. Ketua DPP PDIP Puan Maharani menyatakan, sampai saat ini belum ada pertemuan dan pembicaraan dengan Kaesang tentang rencananya maju dalam Pilkada Depok.

Puan Maharani mengajak putra bungsu Presiden Jokowi Kaesang Pangarep untuk segera bergabung dengan PDIP jika memang telah berniat untuk mengikuti kontestasi politik di ajang Pilkada) Kota Depok 2024. (Tempo.co,10 Juni 2023).

Matinya etika politik

Dalam pemahaman keluarga Jokowi dan PDIP, mungkin bukan sesuatu yang salah kalau anak mantu jadi kepala daerah (dinasti politik). Malah mungkin mereka mempunyai pembenaran sendiri: “Nah kan keluarga pengusaha mebel seperti saya bisa terjun ke dunia politik, anak mantu bisa jadi kepala daerah,”.

Ironi memang, masyarakat menganggap praktek seperti itu sebagai bentuk otoriterisme gaya baru. Sementara penguasa menganggap hal seperti itu sah-sah saja. Etika dan moral politik tidak berlaku lagi dalam mindset penguasa seperti itu.

Padahal, masyarakat pun sudah mahfum bahwa proses kontestasi politik saat ini sarat dengan transaksi politik uang dan campur tangan oligarki. Yang membuat spanduk, baliho dan bagi-bagi sembako kepada penduduk siapa lagi kalau bukan pemilik modal.

Mereka para pengusaha berani investasi mengeluarkan sejumlah uang di depan karena mereka yakin akan mendapat cash back berupa kompensasi kebijakan dari kepala daerah yang didukung oligarki tersebut.

Namun kalau kita melihat manuver politik Kaesang yang sejak awal sudah didukung penuh PSI tanpa melibatkan PDIP, hal ini menunjukkan Jokowi sedang mengatur langkah politik anaknya. Jokowi tidak ingin kasus hostile take over Ganjar Pranowo oleh PDIP untuk Capres 2024 terjadi dalam Pilkada Kota Depok.

Seperti kita ketahui, walaupun PSI mendukung pencalonan Ganjar sebagai Capres 2024 namun PDIP menolak berkoalisi dengan PSI. Justru PDIP hanya mau menerima dukungan politik dari PPP dan terakhir dari Perindo.

Nah, di Pilkada Kota Depok, Jokowi terlihat ingin memaksa PDIP agar mau berkoalisi dengan PSI untuk mencalonkan anaknya Kaesang sebagai Calon Wali Kota Depok.

Dalam konteks pencapresan Ganjar Pranowo oleh PDIP, Jokowi boleh dikatakan kecolongan karena tidak bisa cawe-cawe terlalu jauh. Sebab, sebagaimana ditulis dalam laporan Majalah Tempo, PDIP sudah membuat kontrak politik dengan Ganjar Pranowo.

Garis besarnya, Ganjar adalah kader dan petugas partai yang ditugaskan menjadi Capres PDIP untuk Pilpres 2024. Oleh karena itu, penentuan calon wakil presiden dan penyusunan para menteri nanti harus sepengetahuan dan disetujui oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Kontrak politik itu sengaja dibuat untuk mencegah orang-orang yang tidak direstui Ketua Umum PDIP bisa lolos menjadi Cawapres atau menteri. Megawati melakukan itu agar orang-orang yang duduk di pemerintahan bisa dikontrol oleh PDIP.

Pada tahun 2014, saat Jokowi hendak menyusun kabinet pada jabatan pertamanya sebagai presiden, terpaksa membatalkan melantik Maruarar Sirait (Ara) di Istana Negara Jakarta.

Padahal, dia adalah kader PDIP namun karena Ara tidak disukai Megawati akhirnya posisi Menkominfo dijabat oleh Rudiantara. Pada Pilpres 2019, Jokowi juga sudah menggadang-gadang Mahfud MD sebagai Cawapres waktu itu, namun last minute Ketua Umum Megawati mengintervensi dan menggantinya dengan Ma’ruf Amin.

Melihat sistem dan praktek politik seperti sekarang, masyarakat hanya menjadi korban dan obyek politik semata. Hasil kekayaan alam maupun keuangan negara hanya dinikmati para pejabat dan para elite politik.

Oleh karena itu wajar kalau sekarang masyarakat menginginkan adanya perubahan. Sekarang adalah kesempatan terakhir bagi rakyat Indonesia untuk menentukan cita-citanya yakni mewujudkan negeri baldatun thoyibatun warobun ghofur. Negeri gemah ripah lohjinawi, yakni negeri yang adil dan makmur dan rakyatnya hidup sejahtera.

Sosok pemimpin yang dianggap masyarakat mampu membawa perubahan adalah Anies Baswedan yang sudah resmi didukung Partai Nasdem, PKS dan Partai Demokrat. Semoga harapan dan keinginan rakyat Indonesia bisa terwujud walaupun harus dalam perjalanannya harus menghadapi penjegalan dan pembegalan.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar