Ragil Nugroho

Senjakala PDIP

Selasa, 30/05/2023 20:20 WIB
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri (Law-Justice/Robinasar Nainggolan)

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri (Law-Justice/Robinasar Nainggolan)

Jakarta, law-justice.co - Aktivis tani era 90an yang pernah dicabut kumisnya oleh introgrator ketika tertangkap, Hari Gombloh, mengungkapkan bahwa pendukung Ganjar di tapal Kulonprogo tipis alias kecil. Padahal, beber warga Brosot ini, Kulonprogo merupakan salah satu kandang Banteng. Menurutnya, ini wajar karena Kulonprogo dekat dengan Wadas. Seperti kita tahu, selama beberapa tahun Wadas merupakan titik episentrum perlawanan terhadap Ganjar dan PDIP.

Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, ada ungkapan, "Sadumuk bathuk sanyari bumi".
Ungkapan ini bermakna bahwa satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati). Bagi orang Jawa, tanah adalah kehormatan dan harga diri. Sebagaimana sentuhan pada dahi yang menurut orang Jawa adalah penghinaan, maka penyerobotan tanah walaupun hanya seluas jari tangan akan dianggap pelecehan terhadap harga diri. Oleh karena itu, dengan taruhan apapun, termasuk nyawa, usaha penyebrotan tanah akan dilawan. Inilah yang terjadi di Wadas.

Ganjar dan PDIP seperti "kacang kehilangan lanjaran". Artinya, sebagai bagian masyarakat Jawa, ia teĺah memunggungi budaya sendiri. Atau dengan kata lain, "wong Jowo ilang Jowone" (Orang Jawa yang kehilangan Kejawaannya). Warga Wadas merasa tidak "diuwongne" (tidak dimanusiakan) oleh Ganjar dan PDIP karena telah menginjak-nginjak tanah mereka. Aksi ibu-ibu di Wadas merupakan upaya menyelamatkan tanah mereka. Ibu adalah simbol Ibu Bumi, Ibu Pertiwi. Ketika mereka melakukan aksi seperti itu maka Ibu Bumi dan Ibu Pertiwi akan menangis. Inilah yang bisa menjadi kutukan bagi Ganjar dan PDIP.

Masyarakat Jawa sebetulnya sangat tinggi toleransinya. Ketika mereka melakukan "amuk" seperti di Wadas itu artinya penindasan yang mereka terima sudah melampau batas. Gejala ini tidak ditangkap oleh Ganjar dan PDIP. Mereka memakai prinsip "anjing menggonggong kafilah berlalu." Belum lagi kasus di Pegunungan Kendeng. Sebagai penolakan terhadap penyerobotan tanah mereka, ibu-ibu melakukan aksi cor kaki. Para ibu berada di garda terdepan untuk menjadi penjaga Ibu bumi tempat Dewi Sri bersemayam. Ibu-ibu yang selama ini dikesankan hanya berada di wilayah domestik justru menjadi tulang punggung membentengi tanah mereka. Ganjar dan PDIP harus berhadapan dengan titisan Ratu Kalinyamat.

Senjakala PDIP mulai terlihat jelas di ufuk Barat. Pilkada di Blitar beberapa waktu lalu bisa digunakan sebagai teropong untuk melihat senjakala itu. Blitar dikenal sebagai basis Abangan, sejak Pemilu 1955. PNI dan PKI selalu berjaya ketika itu. Keduanya sama-sama kuat. Setelah reformasi, ketika PDI bertransformasi menjadi PDIP, banteng tak terkalahkan di Bumi Bung Karno. Namun, dalam dalam Pilkada terakhir, calon PDIP yang juga petahana, kalah telak dengan calon yang didukung PKB (jumlah kursinya di DPRD hanya setengah kursi PDIP). Ketika dibasis "merah" saja PDIP bisa ditaklukkan, apalagi di daerah-daerah lain.

Munculnya gelombang antipati terhadap PDIP memang tidak terbuka. Wong cilik dan Abangan menghukum PDIP lewat kotak suara. Inilah karakter politik masyarakat di Jawa yang menjadi basis PDIP. Mereka tak pernah ramai memberikan perlawanan. Perlawanan mereka lewat aksi "niteni", "Titenono (awas) nanti tidak saya pilih." Sepuluh tahun menjadi jawara membuat PDIP lupa daratan. PDIP menjadi partai yang ingin menang sendiri. Selalu bernafsu merecoki partai lain. Ini semakin jelas menjelang senjakala 2024. Sejak dini, Sekjen PDIP, Hasto, memasang pagar tidak mau bekerjasama dengan Partai Demokrat dan PKS. Ini menunjukkan kejumawaan PDIP. Mereka merasa besar sendiri sehingga tidak mau melakukan sekadar dialog dengan partai-partai lain. Sementara saingan terberat mereka, Prabowo Subianto dan Gerindra, dengan riang gembira berusaha melakukan rekonsiliasi dengan mendatangi orang-orang yang telah memecatnya seperti Wiranto, Agum Gumelar dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Maka peringatan Jusuf Wanandi, pendiri CSIS, di Kompas TV, cukup masuk akal. Kita tahu CSIS bukan lembaga yang asal-asalan. Mereka sudah lama makan garam dunia politik. Selama Orde Baru, mereka merupakan penasihat utama Soeharto. Buku "Akserasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun" yang disusun oleh Ali Moertopo dengan pengantar Presiden Soeharto, merupakan salah satu kajian terbaik tentang politik, ekonomi dan sosial budaya yang pernah ada hingga saat ini. Sebagaimana diulas oleh Daniel Dhakidae dalam buku "Cendikiawan dan Kekuasaan", berlandasan teori Heideggerian, buku tersebut menjadi landasan Orde Baru selama berkuasa. Konon hanya dua lembaga yang dipercaya oleh Presiden Jokowi menyangkut kajian dan survei politik, CSIS dan Kompas.

Dalam acara Rossi, Jusuf Wanandi, aktivis 66 yang pernah menjadi anak didik Pater Beek berdasarkan buku kajian M. Sembodo berjudul "Pater Beek, Freemason dan CIA", tanpa tedeng aling-aling mengkritik PDIP. Ucapan Jusuf Wanandi antara lain, "[PDIP] jangan terlalu berlebih-lebihan", "Jangan sombong", lebih lanjut lagi, "Ya, karena seolah-olah seluruh negeri tergantung pada PDIP semata, itu tidak benar", dan "Jangan berlebihan, seolah-olah seluruh negeri bergantung kepadamu," serta "Sudah mulai dirasakan oleh banyak orang, PDIP mau apa. Seakan-akan semuanya tergantung kepada PDIP." Ungkapan-ungkapan ini cukup telak dan semacam lampu merah. Apa yang disampaikan Jusuf Wanandi seolah membenarkan bisik-bisik tetangga yang sudah lama beredar bahwa, "Menitipkan kekuasaan pada PDIP seperti menitipkan dendeng pada anjing." Semuanya akan disikat habis.

Orang melihat, ke-GR-an PDIP sudah berlebihan. Tidak mengherankan, ketika PDIP mengumumkan Ganjar sebagai calon presiden, sambutannya adem ayem. Ini berkebalikan 180 derajat ketika Jokowi diumumkan sebagai calon presiden. Waktu itu, rakyat dengan antusias menyambut kabar baik tersebut, relawan-relawan bermunculan, gambar Jokowi terpajang di mana-mana sampai dusun-dusun. Sekarang, ketika Ganjar diumumkan, semesta sunyi senyap. Kabar itu kalah riuh dengan suara penjual tahu bulat lewat. Serangan pada Ganjar sebagai penikmat video porno jangan pula dianggap serangan moral yang bisa diabaikan. Ini bisa menjadi serangan politik yang mematikan jika dibiarkan. Juga sikap PDIP terhadap Gibran yang dianggap oleh publik terlalu berlebihan. Belum lagi sikap "sinis" PDIP terhadap relawan Jokowi dan partai-partai lain yang ingin bergabung dalam koalisi. Semua ini bisa menjadi kekuatan yang mampu menghantam balik PDIP.


Sementara itu, serangan dari kubu PDIP, seperti yang dilakukan oleh Adian dan para pendukung Ganjar kepada Prabowo dengan tuduhan pelanggar HAM, akan ditumpulkan sendiri oleh fakta yang ada. Tidak perlu membongkar arsip history Google untuk mengetahui bahwa selama dua kali Pilpres, Megawati dan Prabowo adalah teman duet. Keduanya mencoba debut bersama sebagai RI 1 dan RI 2. Sekarang, Prabowo adalah Menhan pemerintahan Jokowi. Dan selama ini, tidak ada serangan sama sekali terhadap Prabowo. Selama ini pula, mereka kelihatan seperti keluarga bahagia yang sakinah, mawaddah, warahmah alias damai tentrem, penuh berkat dan kasih ketika kumpul bersama. Selama menjadi Menhan, tidak ada sama sekali serangan kepada Prabowo sebagai pelanggar HAM. Pembicaraan tentang Wiji Thukul, Herman, Bimo Petrus, Suyat dan orang-orang yang hilang sengaja disisihkan dalam bunker bawah tanah bersama album kenangan buruk masa lalu, dan hanya akan dibuka sewaktu-waktu bila dibutuhkan. Misalnya, seperti menjelang Pilpres 2024 ini.

Ibarat mercon, serangan semacam itu mejen. Tidak bunyi, apalagi meletus. Orang akan melihatnya sebagai dagangan politik semata, apalagi setelah Jokowi dan Gibran akrab dengan Prabowo. Sebagai seorang borjuasi, Jokowi akan berusaha menyelamatkan jalan baru kapitalismenya dari telikungan PDIP yang teguh pada kapitalisme kroni. Dan ini ia lakukan dengan setapak demi setapak menjauh dari PDIP. Memang, masih ada yang berhalusinasi bahwa Jokowi mau bergandengan tangan dengan Mega dan mendukung Ganjar 100 persen. Namun, halusinasi akan tetap menjadi halusinasi. Ia ibarat mimpi di siang bolong.

Sepertinya, PDIP sudah kesulitan membendung arus balik politik. Kanjeng Mami semakin ditinggalkan wong cilik. Ada angin perubahan yang mulai berhembus kencang. Ada senjakala yang siap jatuh menyungkupi alam dan membawa seekor banteng yang lupa pulang ke ujung perjalanan.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar